Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Kata ibu, gugurkan saja
"Katakan pada ayah, siapa ayah dari bayi itu? Apakah Bumi?"
Mina pusing, lemas, terkejut, semua perasaan campur aduk sedang ia rasakan saat ini. Disaat Anton masih memiliki tenaga bertanya tentang siapa ayah dari bayi yang Rania kandung, Mina tidak sanggup lagi.
Rasanya masih lemas semenjak dokter memberitahu kalau Rania sedang mengandung dan usia kandungannya sudah satu setengah bulan. Mina seperti akan pingsan saja saat ini juga.
Rania duduk dikursi samping kemudi, ia menatap lurus pada jalanan dengan wajah biasa saja tanpa beban walau baru saja mendapat kabar kalau dirinya sedang mengandung.
"Bukan Bumi," Jawab Rania pada akhirnya. Mengundang helaan napas panjang dari kubu Anton.
"Lalu siapa? Apa kamu memiliki kekasih lain selain Bumi?"
"Tidak."
Mendesah lirih. Anton merasa setengah jiwanya hilang entah kemana, dua anak perempuannya sama-sama hamil diluar nikah, entah apa kurangnya Anton sebagai seorang ayah untuk mereka sampai berakhir seperti ini setelah dewasa.
"Lalu katakan siapa orangnya? Biar ayah mencarinya."
"Tidak usah dicari, yah."
Anton melirik Mina dari kaca. "Apa maksud ibu? Ibu ingin Rania merawat anaknya sendiri dan membiarkan laki-laki itu lepas dari tanggung jawab?"
Mina menegakkan tubuhnya. Mau tidak mau Mina harus menghadapi masalah ini, ia tidak mungkin membiarkan Anton menghadapinya sendirian.
"Kita gugurkan saja janin itu. Toh, masih kecil dan belum terbentuk sempurna. Jadi tidak masalah kalau kita segera menggugurkannya."
Tangan Rania langsung mengepal diatas paha usai mendengar penuturan sepihak dari ibunya. Belah bibir Rania terbuka dan bersiap mengeluarkan kata, tapi urung karena suara Anton lebih dulu yang terdengar.
"Ibu jangan gila. Menggugurkan janin bisa berdampak besar untuk anak kita. Selain nyawa Rania dipertaruhkan, kondisi rahimnya bisa saja memburuk dimasa depan."
"Ayah tidak usah lebay, deh. Dulu Salma juga pernah menggugurkan janin nya karena ayah dari janin itu tidak mau bertanggung jawab. Lihat sekarang, kondisinya masih baik-baik saja, 'kan? Bahkan sekarang sudah menikah dengan orang lain."
"Ya, tapi sampai sekarang belum punya anak, 'kan? Itu semua karena dia pernah menggugurkan janinnya. Apa ibu mau Rania sulit memiliki momongan dimasa depan?"
"Tidak mungkin. Nasib dan kesuburan orang itu berbeda-beda. Bisa jadi yang tidak subur adalah suami Salma, 'kan? Makannya belum memiliki anak sampai sekarang."
"Ayah tetap tidak setuju."
Mina menatap jengkel suaminya yang sedang menyetir, melalui kaca. Kenapa susah sekali diajak kerja sama, sih? Padahal kalau Anton setuju untuk menggugurkan janin milik Rania, masalah akan selesai.
Manik Mina bergulir pada putri sulungnya. "Kamu setuju 'kan, Ra?"
"Setuju untuk apa?"
"Untuk menggugurkan janin itu tentu saja. Setelah janin itu tidak ada, masalah akan selesai dengan cepat dan kamu bisa melanjutkan hidup normal seperti biasa."
"Bu—,"
"Ayah diam saja, deh! Ibu sedang berbicara dengan Rania," Mina kembali menatap Rania dengan senyuman penuh harap. "Kamu setuju 'kan, Ra?"
"Tidak, aku tidak setuju."
Senyuman Mina langsung menghilang detik selanjutnya. Ia berdecak keras dan memandang sebal ke arah putrinya.
"Apa maksudmu? Kamu ingin mempermalukan ibu dan ayah karena kehamilan itu?"
Rahangnya mengetat. Detik selanjutnya, Rania memutar setengah badannya untuk membalas tatapan sang ibu.
"Kenapa ibu bilang seperti itu padaku? Seharusnya ibu lebih malu saat Ambar hamil diluar nikah dengan calon suamiku!"
"Kenapa kamu terus mengungkit hal itu? Apa karena kamu masih menyukai suami adikmu sendiri? Iya?"
"Sudah!" Anton berteriak menengahi. "Kenapa malah ribut dan membahas hal diluar topik? Ibu juga! Seharusnya ibu bisa membimbing Rania karena dia salah, bukan malah memberi saran sialan itu. Sama saja ibu mengajarkan Rania lari dari tanggung jawab setelah berbuat kesalahan."
"Tapi, yah. Apa ayah tidak malu?"
"Ayah sudah menelan malu saat Ambar menikahi calon suami kakaknya sendiri karena hamil diluar nikah. Jadi, untuk Rania ayah tidak akan malu, ayah sudah kebal. Yang terpenting sekarang adalah anak-anak ayah tidak melakukan kesalahan untuk ke-dua kalinya. Aborsi bukan keputusan yang tepat."
Manik Rania memanas, kepalanya bergerak menoleh menatap ayah. Ia tak menyangka ayah akan berkata seperti itu. Berada dipihaknya. Rania pikir, ayah akan mendukung keputusan sepihak Mina.
...----------------...
[Bumi: Temani aku minum.]
[Kai: Minum air putih? Kenapa harus ditemani? Apa air galon di rumahmu berhantu?]
[Sandy: Hei! Jangan becanda, sob. Sepertinya Bumi sedang patah hati lagi. Jadi kenapa? Apa karena Rania sudah menemukan pria kaya raya seperti cerita dinovel?]
[Bumi: Diam dan datang saja jika diantara kalian memiliki waktu luang.]
[Gio: Aku akan datang segera. Mana tega aku membiarkanmu minum sendiri.]
[Kai: Alasan! Btw, aku juga akan datang.]
...----------------...
Kai dan Gio saling melempar pandang melihat bagaimana rakusnya Bumi menegak minuman alkohol tanpa henti. Saat Bumi meraih gelas entah ke berapa, Kai menahannya lebih dulu dan menjauhkan gelas itu dari jangkauan Bumi.
"Kau ingin mati karena hal konyol? Yang benar saja! Kami datang menemani bukan untuk melihatmu bunuh diri."
Berbeda dengan Kai yang sibuk menahan pergerakan Bumi, justru Gio bersikap santai meneguk minuman miliknya sambil mengamati dua temannya.
"Kali ini apa masalahmu? Kenapa akhir-akhir ini selalu lari pada minuman? Tidak seperti dirimu sekali."
Walau sudah meneguk banyak minuman, Bumi masih sedikit sadar kali ini. Hanya saja rasa pusing membuat Bumi menyandar penuh pada sofa sambil memijat pangkal hidung.
"Aku ... Rasanya seperti ingin bunuh diri saja."
Manik Kai dan Gio melebar. "Hei! Jangan gila. Kau ingin masuk neraka, ha?"
"Kau ini. Memangnya menurutmu orang yang minum-minum seperti kita akan masuk surga?" Melirik Kai singkat, lalu kembali meneguk minuman.
"Ya ... Belum tentu, sih. Tapi yang penting tidak mati karena bunuh diri. Itu tidak baik," Mengalihkan fokus pada Bumi yang sudah memejamkan ke-dua matanya. "Jadi, apa masalahmu? Ceritakan padaku, siapa tahu aku bisa memberikan saran cemerlang untukmu."
"Bisakah aku bercerita tentang hal ini? Sebenarnya sedikit pribadi."
"Kenapa tidak? Membeli celana dalam baru saja kau selalu cerita padaku."
Mengabaikan tentang celana dalam, Bumi membuka matanya secara perlahan. "Menurut kalian, bagaimana kalau Rania hamil?"
"APA?!"
Kai dan Gio berteriak dalam waktu yang sama. Detik selanjutnya, mereka beringsut mendekati Bumi. Siapa yang tidak terkejut coba? Tiba-tiba sekali melempar tanya seperti itu.
"Kau menghamilinya?"
"Jadi, kau akan punya dua istri yang sedang mengandung? Dan akan memiliki dua orang anak sekaligus?"
Andai Bumi tidak merasa lemas, sudah pasti pukulan akan ia layangkan pada Kai dan Gio satu-satu. Kenapa ia harus memiliki teman menyebalkan. Seperti mereka.
"Ryan."
"Maksudmu?"
"Dia yang meniduri Rania untuk pertama kali, jadi otomatis Rania hamil karena pria brengsek itu."
"Memang sudah positif kalau dia hamil?"
"Dokter menduga Rania hamil. Tadi, dokter menyarankan untuk membawanya ke dokter kandungan. Tapi aku tidak tahu hasilnya karena aku langsung pergi setelah membawanya ke rumah sakit."
Gio menepuk bahu Bumi beberapa kali. "Masih dugaan, tapi kau sudah frustasi seperti ini. Bagaimana kalau benar?" Meringis sakit sambil mengusap-usap kepala bagian belakangnya yang beru saja dipukul oleh Kai.
"Jangan membuat suasana semakin panas, sialan!"
"Apa? Aku 'kan hanya bertanya."
"Ya, tapi pertanyaan bodoh mu itu akan memperburuk pikiran bumi."
"Maaf. Tapi aku serius. Kalau Rania pernah tidur dengan Ryan, bisa jadi dia memang sedang hamil sekarang."
"Jaga mulutmu," Bumi mendesis tajam. Terdapat nada tak terima disana.
Kai yang awalnya tidak setuju dengan ucapan Gio, sekarang malah berpikiran sama dengannya. Tangan kiri Kai bergerak merangkul bahu Bumi.
"Tapi, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Gio. Kau harus ingat, kalau kau juga hanya tidur sekali dengan Ambar. Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya mengingatkanmu saja."
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....