NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Malam Penyatuan

Punggung Elena menempel di dinding samping pintu apartemennya. Napasnya memburu, menyatu dengan napas Damian yang juga sama beratnya. Tangannya terangkat ke atas, tertahan oleh genggaman Damian yang kuat namun terasa hangat. Tatapan mereka saling mengikat, seolah tidak ada lagi ruang di antara mereka berdua.

Sejak pintu lift tertutup, suasana sudah berubah. Tidak ada percakapan berarti, mereka saling mendekat dan melumat bibir satu sama lain. Awalnya perlahan, lalu berubah menjadi lebih dalam dan lebih berani.

Di samping pintu apartemen itu, Damian menarik pinggang Elena, memeluknya erat seakan takut kehilangan. Sementara Elena yang merasakan setiap sentuhan itu, merasa bahwa dadanya bergetar hebat, antara hasrat dan sesuatu yang lebih rumit.

Damian hendak meraup bibir Elena lagi, tapi wanita itu mengangkat telunjuknya dan menyentuh bibir Damian untuk menghentikannya. Gerakan kecil yang membuat Damian menatapnya, penuh tanya.

Elena tersenyum samar dengan sorot yang lembut. Ia kemudian bergerak keluar dari dekapan Damian, menuju pintu apartemen. Suara mesin kunci terdengar pelan saat ia memasukkan sandi. Pintu terbuka, dan ia menoleh, menatap Damian dengan tatapan yang jelas-jelas mengundang. Dan tanpa perlu kata, Damian tahu apa maksudnya.

Pria itu melangkah masuk, menutup jarak di antara mereka lagi. Jas tuxedo-nya ia lepaskan sambil terus menatap Elena. Pintu tertutup di belakang mereka, dan seisi ruangan tiba-tiba terasa begitu sunyi. Hanya napas yang masih tersisa di udara.

Elena melepas high heels-nya begitu saja, membiarkannya jatuh ke lantai. Ia melangkah mendekat, lalu kembali melingkarkan tangannya di leher Damian. Bibir mereka kembali bertemu. Kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Dan Damian merespons dengan menarik tubuh Elena lebih dekat.

Langkah mereka perlahan mundur, menabrak meja kecil di dekat pintu, lalu bergerak ke ruang tamu yang diterangi cahaya lampu redup. Bayangan mereka menari di dinding, beriringan dengan suara napas yang tidak teratur.

Tautan bibir mereka terlepas sejenak, mencari udara di antara jarak yang hampir tidak ada. Napas Elena tidak beraturan dengan mata yang sayu. Rasa mabuk dan keinginannya menaklukkan Damian bercampur menjadi satu.

“Aku hanya milikmu, Om,” lirihnya.

Damian menatapnya lama. Tubuhnya tegang namun pikirannya berperang. Ia tahu langkah ini berisiko, tapi tatapan Elena penuh keyakinan, lembut, dan memabukkan, yang membuatnya sulit berpaling. Ia menahan napas, mencoba mencari alasan untuk berhenti.

“Jangan takut. Aku menyukai Om sejak pertama kali kita bertemu. Aku hanya ingin Om,” ucap Elena lembut, lalu mendekatkan kepalanya ke telinga Damian, dan menghembuskan nafasnya di sana.

Damian memejamkan mata, menahan gejolak yang kini tidak bisa lagi dibendung.

“Kau akan menyesal, Elena,” suaranya pria itu berubah serak.

“Tidak akan,” balas Elena, sebelum menautkan bibirnya kembali ke bibir Damian.

Langkah mereka semakin mundur dan masuk ke dalam kamar Elena.

Di sana Damian kembali menempelkan punggung Elena ke dinding, mengaitkan kedua tangan wanita itu ke atas dengan bibir yang masih berperang.

Elena dengan cepat melepaskan gaunnya di tengah lumatan itu.

Bibir Damian beralih ke leher Elena hingga desahan wanita itu berhasil lolos.

“Ahh...”

Kemudian langkah mereka menuju ke tempat tidur. Elena sengaja menjatuhkan diri di sana dengan tatapan yang terlihat sangat ingin ditaklukkan.

“Lakukan, Om. Aku milikmu,” ucapnya dengan nada sensual, lalu melepas kain terakhir yang menutupi tubuhnya.

Tanpa pikir panjang, Damian segera melepaskan kemeja putihnya, lalu merangkak naik dan mengurung wanita itu di atas ranjang. Tatapan mereka saling mengunci. Tangan Elena menyentuh dada bidang Damian dengan lembut. Pandangannya bahkan tidak teralih dari tubuh pria itu yang terlihat atletis. Sedangkan Damian tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk tidak menciumi setiap inci tubuh Elena, dan melakukan tugasnya layaknya pria normal.

Dan malam itu, adalah saksi dimana Elena yang penuh rencana dengan Damian yang penuh perhitungan berhasil disatukan oleh hasrat yang telah melampaui batas.

......................

Sean melangkahkan kakinya masuk ke sebuah lounge bar terkenal di pusat kota. Bukannya beristirahat sesuai pesan Damian, ia malah datang ke tempat seperti ini. Bukan karena ingin bersantai, tapi karena ada seseorang yang memanggilnya.

Begitu masuk, terdengar musik live di sisi bar yang mengalun di antara percakapan ringan para pengunjung. Cahaya kekuningan dari lampu gantung membuat suasana tampak hangat dan mahal.

Matanya menyapu seluruh ruangan, hingga terhenti pada bar panjang di ujung ruangan. Di sana ia akhirnya melihat sosok wanita yang ia cari.

Wanita itu mengenakan atasan hitam ketat berleher tinggi dan rok pensil berwarna cokelat tua yang membentuk siluet tubuhnya dengan elegan. Ia sedang duduk santai di depan meja bar, sambil sesekali menyesap minumannya dengan wajah kecut.

Tanpa ragu, Sean melangkah mendekat dan duduk di sampingnya. Suara gesekan kursi bar yang ia tarik terdengar samar, namun mampu membuat sang wanita menoleh ke arahnya.

“Sean!” pekik wanita itu tanpa aba-aba. Ia langsung turun dari kursinya dan memeluk Sean erat, melingkarkan tangannya di leher pria itu.

“Hei, apa yang terjadi padamu?” tanya Sean lembut.

Wanita itu menggeleng pelan, “Aku baru putus dan dia menyelingkuhiku,” ucapnya dengan nada sedih.

Sean melepaskan pelukannya dan membantu wanita itu duduk kembali.

“Putus cinta lalu mendatangiku, huh? Aku terlihat seperti pria penghibur di matamu?”

Wanita itu, Iris, mengerucut kesal, “Sean, kata-katamu kejam sekali. Kita sudah bersahabat sejak kecil, jadi wajar saja kalau aku memintamu datang. Hanya dengan nasihatmu, aku bisa melupakan mantan pacarku.”

“Oh, benarkah? Aku sudah berulang kali bilang kalau pria itu brengsek. Tapi kau tetap saja bersamanya. Ini namanya karma karena tidak mendengarkanku.”

“Astaga, ceramah itu lagi. Kau malah membuatku tambah sakit hati.”

“Terserah kau saja.”

“Kau tidak minum?”

Sean menggeleng, “Aku menyetir.”

Iris menatapnya heran, “Biasanya kau tidak peduli dengan hal itu. Tapi malam ini kenapa?”

Sean menghela napas, pandangannya menatap rak kaca di depannya, tempat botol-botol minuman tersusun rapi dan berkilau.

“Mungkin… karena ayahku,” ujarnya pelan.

“Hah? Aku tidak mengerti.”

“Ck,” Sean mengacak rambut Iris asal, “Kau dari dulu memang bodoh.”

“Sean!” protes Iris, tidak terima.

“Ayo, kuantar pulang. Lebih baik kau tidur di kamarmu daripada menghibur diri dengan minuman.”

“Hooo... kedengaran bukan seperti dirimu. Dari mana datangnya kalimat waras itu?”

Sean tersenyum kecil, “Kau terlalu mengenalku.”

“Sudah ayo, kuantar,” ucap Sean sambil turun dari kursinya.

“Eh, tapi... sepertinya aku belum memberitahumu sesuatu.”

“Soal apa?”

Iris tersenyum malu, “Sebenarnya aku sudah pindah dari rumah orang tuaku.”

“Apa? Sejak kapan?” Sean terlihat terkejut.

“Beberapa minggu ini. Sejak pekerjaanku sebagai fotografer mulai stabil, aku memutuskan untuk hidup mandiri. Aku ingin bebas dari bayang-bayang harta ayahku.”

Sean tiba-tiba menarik kedua pipi Iris.

“Sean! Apa yang kau lakukan?!”

Sean terkekeh, lalu melepaskannya, “Sejak kapan Iris kecilku jadi sedewasa ini? Aku bangga padamu.”

Iris tertawa kecil, “Kau akan merasakannya nanti.”

Sean menghela napas panjang, “Semoga,” ucapnya pelan, setengah tidak yakin.

“Ayo,” ajak Iris sambil meraih tas dan mantelnya.

Mereka pun segera memulai perjalanan menuju apartemen Iris. Sean mengendarai mobilnya dengan santai, tanpa beban, di tengah jalanan malam yang mulai lengang. Lampu-lampu kota berkelebat di kaca depan, sementara Iris terus berceloteh dengan gaya khasnya, cerita-cerita ringan yang selalu berhasil membuat Sean tertawa kecil. Wanita itu memang seperti itu, penuh kehidupan, dan entah kenapa Sean menyukainya.

Setibanya di parkiran gedung apartemen, Sean memarkir mobilnya dengan rapi. Mereka turun, melangkah melewati deretan kendaraan lain yang berjejer rapi di bawah cahaya lampu temaram.

Namun, langkah Sean tiba-tiba terhenti.

Sebuah mobil sport berwarna kuning mencolok berdiri di ujung deretan, memantulkan cahaya lampu hingga tampak berkilau. Pandangan Sean terpaku padanya.

“Kenapa?” tanya Iris yang sudah berjalan lebih dulu, lalu menoleh heran.

Sean tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekati mobil itu, matanya menyipit, meneliti setiap detail. Iris yang penasaran akhirnya ikut menyusul.

Begitu sampai di depan mobil, Sean membungkuk sedikit, memperhatikan plat nomor yang tergantung di sana. Seketika matanya melebar.

“Ada apa?”

“Mobil ayahku.”

Iris menatapnya kaget, “Ah… benar juga. Aku pernah melihat mobil ini di garasimu. Tapi kenapa bisa ada di sini?”

Sean tidak menjawab. Tatapannya masih terpaku pada mobil itu, wajahnya berubah tegang.

“Apa yang dilakukan pria itu di tempat ini?” batin Sean.

“Mungkin ayahmu ada urusan kerja di gedung ini,” ucap Iris mencoba menenangkan.

Sean menggeleng pelan. “Tidak mungkin. Sebelum berangkat, dia berpakaian formal seperti akan menghadiri pesta. Kalau hanya untuk menemui seseorang di apartemen, kenapa harus berpakaian seperti itu?”

Iris mengangguk kecil, kali ini ia tidak bisa membantah.

Suasana di antara mereka mendadak hening, hanya terdengar suara mesin mobil lain dari kejauhan.

Akhirnya Iris menarik napas, “Sudahlah, ayo naik. Kutunjukkan tempat tinggalku yang baru.”

Sean menatapnya beberapa detik, masih ragu, tapi akhirnya mengangguk, “Baiklah.”

Ia menoleh sekali lagi ke arah mobil kuning itu sebelum melangkah mengikuti Iris menuju lift, dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!