“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Pagi menyambut dengan dingin yang tak biasa. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi suara ayam dan kendaraan yang mulai melintas di gang sudah membangunkan kehidupan dari tidur panjangnya. Di dalam kontrakan kecil itu, Nayla duduk di tepi ranjang, menatap wajah adik-adiknya yang masih lelap. Lalu beralih pada tas selempangnya yang kini tergeletak di atas meja kecil. Di dalamnya, kartu ATM milik Elvino masih tersimpan. Satu benda kecil yang menjadi sumber dari begitu banyak luka.
Setelah memandikan dan memakaikan seragam untuk Lili, Nayla menggandeng tangan adik kecilnya menuju sekolah. Dio sudah lebih dulu keluar tanpa bicara apa-apa, bahkan tanpa menoleh sedikit pun saat mereka berpapasan di ambang pintu. Tidak ada sapaan hangat yang keluar dari mulut bocah laki-laki itu.
Sepanjang jalan menuju sekolah, Lili banyak bercerita tentang teman-temannya. Tentang Bu Guru yang mengajarkan lagu baru, dan tentang kue ulang tahun teman sebangkunya. Nayla mendengarkan dengan senyum kecil yang dipaksakan, berusaha menahan sesak yang ingin kembali menyeruak.
Setelah mengantar Lili ke sekolah pagi itu, Nayla berdiri sendirian di halte kecil, menunggu angkot dengan degup jantung yang tidak biasa. Kartu ATM berwarna hitam yang berada di dalam tas selempangnya seolah berdenyut. seperti benda hidup yang terus mengingatkan tentang harga diri yang pernah hancur. Angin pagi membelai pipinya yang masih menyisakan sedikit memar. Tapi luka itu bukan apa-apa dibanding beban yang hendak ia tanggalkan hari ini.
Ia menatap jalanan yang ramai. Ketika angkot berhenti di depannya, Nayla masuk tanpa ragu. Tujuannya adalah apartemen Elvino
Ia tidak mengirim pesan terlebih dahulu. Karena Nayla tahu, jika ia memberi kabar terlebih dahulu, kemungkinan besar keberaniannya akan runtuh. Maka ia memilih datang diam-diam. tanpa alasan lain selain ingin mengembalikan kartu itu. Mengakhiri semuanya. Sekaligus melepaskan dirinya dari belenggu yang selama ini menyiksanya dalam diam.
Sesampainya di apartemen elit itu, Nayla berdiri kaku di depan pintu unit 1507. Udara koridor terasa sepi. Lantai marmer dingin di bawah telapak kakinya seakan ikut menertawai keberadaannya di tempat yang terlalu mahal untuk gadis seperti dirinya.
Tangannya sudah terangkat untuk mengetuk pintu, namun ia ragu. Detik berlalu. Lima menit. Sepuluh menit. Ia masih berdiri di sana, menatap angka unit pintu seperti sedang menimbang sesuatu.
“Apa aku pulang saja?” bisiknya pelan. Tapi suara hatinya yang lain berkata.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”
Akhirnya, Nayla mengetuk.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Tidak ada jawaban.
Ia menempelkan telinganya ke pintu. Sunyi. Hanya denting waktu yang menjawabnya.
“Apa dia tidak ada?” pikir Nayla gelisah.
“Kalau dia sedang tidak di rumah, ke mana aku harus mencarinya?”
Ketika Nayla hendak berbalik, suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong.
Seseorang datang.
Langkah itu tegap. Pelan. Tapi mengintimidasi. Ketika Nayla menoleh, matanya bertemu dengan sosok yang sangat dikenalnya.
Elvino.
Pria itu berjalan pelan menuju pintu apartemennya, matanya menatap Nayla tanpa ekspresi yang jelas.
“Kamu datang,” ucapnya datar, suaranya dingin namun mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan. Senyumnya mengembang samar, tapi bukan senyum yang menyenangkan.
Nayla hanya mengangguk kecil.
Elvino merogoh sakunya, mengeluarkan kunci, lalu membuka pintu apartemen itu tanpa berkata-kata lagi. Pintu terbuka lebar, memperlihatkan interior mewah dan bersih yang kontras dengan kontrakan Nayla yang sempit dan lembab.
“Masuklah.”
Nayla melangkah masuk, perlahan. Ia belum sempat bicara, belum sempat menjelaskan maksud kedatangannya, tapi suasana di dalam apartemen itu sudah cukup membuatnya merasa gugup. Elvino menutup pintu dan berjalan melewatinya dengan langkah tenang. Seperti biasa, ia terlalu tenang.
Namun apa yang tidak mereka sadari adalah bahwa seseorang tengah memperhatikan mereka dari kejauhan.
...
Di ujung koridor, dari balik salah satu unit yang hanya berjarak dua pintu dari apartemen Elvino, berdirilah Mira. dengan rok pendek dan parfum mahal yang menyengat. Wajah cantiknya terpulas rapi, meski sedikit lelah setelah ‘kencan’ nya bersama pria tua semalam. Dan pada saat ia hendak keluar dari apartemen tersebut.
Mira tidak sengaja melihat sosok wanita dengan rambut yang di kuncir kuda dan bermasker masuk ke dalam apartemen bersama dengan pria tampan.
Tapi ia tahu.
Gerak tubuh, postur, cara jalan.
Itu Nayla.
Tanpa berpikir panjang, Mira menyambar ponsel dari dalam tas mewahnya. Ia menunduk sedikit agar tidak terlihat, lalu klik!, ia mengambil beberapa foto dari kejauhan. Foto saat Elvino membuka pintu untuk Nayla, foto saat keduanya masuk bersama. Sempurna.
Senyum miring muncul di bibir merahnya. Senyum penuh kemenangan.
"Bagus," gumamnya.
"Sekarang Elang akan lihat, siapa Nayla sebenarnya."
Matanya berkilat licik. Ia tahu betul. Elang masih menyimpan luka karena Nayla, walau pria itu tak pernah benar-benar mengakuinya. Dan sekarang? Mira punya amunisi baru untuk menaburkan lebih banyak racun.
...
Di dalam apartemen Elvino…
Pintu menutup di belakang mereka dengan bunyi klik yang membuat Nayla terkesiap kecil. Suara itu seperti gembok terakhir yang mengunci dirinya dalam ruang asing yang terlalu sunyi dan dingin.
Langkah Elvino terdengar mantap di atas lantai marmer. Tanpa bicara, pria itu membuka jas hitamnya, lalu melemparkannya ke atas sofa kulit dengan gerakan malas. Suara gesekan kain itu mengisi keheningan ruangan. Nayla masih berdiri mematung di dekat pintu, tubuhnya tegang, seperti binatang kecil yang baru saja masuk ke kandang pemangsa.
Elvino berjalan mendekat perlahan, sembari membuka satu per satu kancing kemejanya. Gerakannya santai, tapi mengandung ketegangan yang membuat Nayla semakin panik. Ia menahan napas ketika Elvino berhenti tepat di hadapannya.
Pria itu mengangkat tangannya, menyentuh dagu Nayla dengan jari telunjuk yang dingin. Ia mengangkat wajah gadis itu, memaksa Nayla untuk menatap matanya Mata yang tajam.
Perlahan, wajah Elvino mulai mendekat. Bibirnya bergerak menuju wajah Nayla, aroma tubuhnya yang mahal dan memabukkan mulai memenuhi ruang di antara mereka. Tapi sebelum bibir itu menyentuh bibir ranum Nayla, ia mengangkat kedua tangannya, menahan dada Elvino dan mendorong nya ke belakang.
“Maaf…” bisik Nayla.
“Aku datang ke sini bukan untuk itu.”
Elvino mengerutkan dahinya. “Maksudmu?”
Nayla membuka tasnya dengan tangan gemetar. Dari dalamnya, ia mengeluarkan kartu ATM hitam yang selama ini memberinya makanan, tapi juga mengoyak harga dirinya.
Ia mengulurkannya pada Elvino. “Aku ingin mengembalikan ini.”
Elvino tidak langsung mengambilnya. Tatapannya turun ke arah kartu itu, lalu naik ke wajah Nayla. Ia mengamati lama, menelisik seolah ingin membaca isi hati perempuan itu.
“Jadi… kau akan menyerahkan dirimu secara gratis?” tanyanya datar.
Nayla tercengang. Bibirnya terbuka, tapi suara tercekat di tenggorokan.
“Tidak…” akhirnya ia berbisik.
“Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Sorot mata Elvino berubah. Matanya mengeras dan rahangnya mengencang.
Ia melangkah mendekat lagi, kali ini tanpa kata-kata. Matanya masih menatap wajah Nayla yang separuh tertutup masker. Ia melihat ada bekas memar samar di bawah mata kanan Nayla. Tapi ia tidak bertanya. Tidak ingin tahu. Baginya, Nayla hanyalah bagian dari kesepakatan. bukan seseorang yang perlu dipedulikan.
“Tidak bisa,” katanya tajam.
“Kau sudah membuat kesepakatan denganku, Nayla. Kau tak bisa membatalkannya sepihak.”
Nayla menggigit bibirnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri tegak.
“Aku tetap tidak bisa. Aku tidak mau menambah rasa kecewa orang-orang yang masih aku punya. Aku tidak mau makin dibenci…”
Ia meletakkan kartu itu di atas meja, perlahan, dengan tangan yang bergetar.
“Ini milikmu. Aku berhenti.”
Tanpa menunggu tanggapan, Nayla membalikkan badan dan berjalan menuju pintu.
Namun sebelum ia sampai.
Tangan Elvino mencekal pergelangan tangannya keras.
“Jangan coba-coba permainkan aku, Nayla." desisnya tajam.
Ia menarik tubuh Nayla, memeluknya paksa, dan menunduk hendak mencium bibirnya. Tapi Nayla memberontak. Tubuhnya melawan. Ia dorong pria itu sekuat tenaga hingga tubuh Elvino terdorong ke belakang dan membentur sisi sofa.
Nafas Nayla tersengal.
Ia membuka pintu dan segera berlari keluar tanpa menoleh. Tak peduli Elvino memanggil atau marah. Yang penting, ia telah pergi.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭
tapi bnr2 Cinta sma Nayla