NovelToon NovelToon
Di Culik Tuan Mafia

Di Culik Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Mafia / Cinta Terlarang
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Yilaikeshi

Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.

Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.

Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 18

"Ugh…" Sofia Putri terbangun dari tidurnya, kelopak matanya terbuka dengan rasa tidak nyaman.

"Apa-apaan ini?" gumamnya lirih sambil mengerang. Kepalanya terasa berputar, denyutan di pelipisnya membuat tangannya refleks menekan titik sakit itu.

Tiba-tiba, ingatan itu menyeruak—ia sedang makan malam bersama keluarga ketika mendadak dunianya menggelap.

Sial!

Pamannya memberinya obat bius. Pertanyaannya, untuk apa? Rasa tidak nyaman itu semakin kuat, apalagi teringat percakapan mereka sebelumnya tentang utang keluarga. Ia merinding memikirkan kemungkinan terburuk: bagaimana jika pamannya menjualnya?

Ya Tuhan, jangan sampai. Apa salahnya sampai harus menerima perlakuan seperti ini? Andai saja ia tahu lebih cepat, mungkin ia sudah pindah ke rumah Mimi dan melepaskan semua beban keluarga.

Namun sekarang bukan waktunya menyesali masa lalu. Yang terpenting adalah memahami situasi dan mencari cara keluar. Sofia menguatkan diri, lalu bangkit dan meneliti sekeliling.

Kamar itu mewah, tapi jelas bukan seleranya. Segala sesuatu bernuansa merah muda dan ungu berlebihan, bahkan terasa kekanak-kanakan. Sofia mendengus kesal. Apa mereka menganggapnya boneka Barbie?

Ia menarik napas panjang. Tenang, Sofia. Ini bukan waktunya ribut soal warna kamar penjara. Ya, memang penjara hanya saja dibungkus dengan kemewahan.

Sofia mendekati pintu. Untungnya, tidak terkunci. Ia mengintip sejenak sebelum menyelinap keluar. Nalurinya sebagai seseorang yang terbiasa menghadapi masalah membuatnya langsung memeriksa keberadaan kamera begitu masuk ke lorong.

Tentu saja, ada kamera. Ia mencari titik buta, menghitung sudut dan jarak agar bisa lolos tanpa terekam. Meski tidak tahu persis di mana ia berada, firasatnya berkata ia kini berada di wilayah rentenir. Jika benar, berarti tempat ini dikuasai para gangster.

Situasi tampak suram, tapi Sofia menolak menyerah. Ia percaya, selama pikirannya tetap positif, akan selalu ada jalan keluar.

Ia menempel di dinding, bergerak perlahan. Dari sana, lebih sulit bagi orang lain untuk melihatnya dibandingkan jika ia berjalan di tengah ruangan.

Segalanya berjalan lancar—hingga suara gaduh terdengar dari belakang. Jantungnya langsung mencelos. Mereka sudah tahu ia melarikan diri.

"Sial!" umpat Sofia, lalu berlari secepat mungkin. Tidak ada gunanya lagi sembunyi-sembunyi. Yang terpenting sekarang hanya kabur.

Ia menembus ruangan demi ruangan, panik namun tetap memaksa langkahnya. Tiba-tiba, seseorang menariknya dari belakang hingga tubuhnya terangkat.

"Lepaskan aku!" jeritnya sambil meronta. Pria di belakangnya malah tertawa kecil, pelukan semakin erat, bahkan sempat mencoba merabanya. Jijik dan marah bercampur jadi satu.

Namun yang lebih gawat, langkah kaki lain terdengar semakin dekat. Benar saja, seorang pria muncul dan berseru, "Kita dapat dia!"

Sofia tidak membuang kesempatan. Ia menendang keras kepala pria yang datang itu hingga tersungkur.

"Kau—!" desis pria yang memeluknya dari belakang, kaget karena dimanfaatkan seperti itu. Saat ia hendak membalikkan tubuh Sofia, gadis itu lebih dulu bergerak.

Dengan cepat, Sofia menanduk wajahnya. Pria itu menjerit kesakitan, terhuyung-huyung tak mampu menyeimbangkan diri. Sofia segera memanfaatkan celah untuk kabur.

Dan seolah semesta berpihak padanya, matanya menangkap sebuah pintu besar—pintu kebebasan!

Semangatnya membuncah. Jika tadi ia hanya berlari, kini ia melesat bagaikan pelari tercepat. Kebebasan sudah di depan mata!

Namun sayang, sesaat sebelum sampai, rambutnya ditarik keras dari belakang. Jerit kesakitan pecah dari bibirnya, dan pintu yang tadi terasa dekat kini menjauh. Tubuhnya terhempas ke lantai.

---

Beberapa pria mengelilinginya sambil tertawa puas.

"Hei, lihat dia," ucap salah satu sambil terkekeh. "Lumayan tangguh juga."

Sofia mendengus, tak sudi dianggap mainan. Ia bangkit, mendorong pria terdekat, lalu menggigit keras lengan orang yang mencekalnya hingga darah mengucur.

"Aah!" pekik pria itu.

Yang lain segera menarik Sofia, memaksanya melepaskan gigitannya.

"Lepaskan aku!" teriak Sofia, meronta sekuat tenaga.

"Dasar jalang!" maki si pria yang tangannya berlumuran darah. Dengan wajah penuh amarah, ia maju dan menampar Sofia keras-keras.

Rasa perih itu membuat pandangannya berkunang-kunang. Namun hati Sofia justru mengeras. Ia bersumpah, jika bisa keluar dari sini, pamannya dan seluruh keluarganya akan membayar mahal atas pengkhianatan ini.

Titik-titik hitam memenuhi pandangan Sofia Putri, namun itu tidak menghentikannya menatap pria di depannya dengan penuh kebencian. Tuhan tahu, jika tatapan bisa menjadi peluru, pria itu pasti sudah lama mati.

Sofia terkepung dari segala sisi. Ia sadar, sekalipun berhasil lolos, ia takkan bisa pergi jauh. Saat tubuhnya masih tergeletak di lantai, tiba-tiba kerumunan membuka jalan, menyingkap sosok yang berdiri di hadapannya.

Sofia tertegun. Orang itu adalah kolektor yang sempat mendatangi rumahnya tempo hari. Seketika semuanya jelas: pamannya benar-benar menjualnya untuk melunasi utang keluarga.

“Kita bertemu lagi,” ucap pria itu sambil tersenyum tipis.

“Kamu!” Sofia terbelalak. Ia tak tahu harus marah atau lega karena melihat wajah yang dikenalnya. Setidaknya, kini ia mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Apa maksud semua ini?” tanyanya, mencoba bangkit, tapi sia-sia. Pergelangan kakinya terkilir saat jatuh tadi, membuatnya nyaris tak bisa bergerak.

Kolektor itu memperhatikan dengan saksama, matanya menyapu wajah Sofia hingga ia merasa tak nyaman. Ada firasat buruk yang menyelinap di benaknya: pria ini sepertinya tertarik padanya. Naluri perempuan berteriak, meski ia belum punya bukti.

Pria itu berbalik, menatap tajam para anak buahnya. “Siapa yang memukulnya?” tanyanya dingin.

Hening. Tak ada yang berani bersuara. Sofia bisa merasakan hawa mengancam memancar dari sosok itu. Ia mengernyit heran kenapa pria ini mempermasalahkan hal sepele? Apa dia benar-benar berniat menghukum anak buahnya hanya karena dirinya?

“Aku tanya sekali lagi…” suaranya menggelegar, memenuhi ruangan. “Siapa yang memukulnya?”

Akhirnya, salah seorang anak buahnya dengan gemetar mengangkat tangan. Wajahnya pucat pasi, jelas ketakutan.

“I-ini aku, Tuan,” jawabnya terbata, “Aku tidak bermaksud… tapi perempuan itu”

Bang!

Sebuah tembakan memutus kalimatnya. Tubuh pria itu ambruk, darahnya mengalir membasahi lantai.

Sofia terperanjat. Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat. Baru saja ia menyaksikan seseorang ditembak mati tepat di hadapannya. Ia kira pria itu hanya akan menghukum bukan membunuh.

“Dengar kalian semua!” seru sang kolektor, suaranya dingin. “Anggap ini pelajaran. Jangan pernah menyentuh apa pun yang menjadi milik Pangeran. Mengerti?”

“Baik, Pak!” sahut mereka serempak, bergema memenuhi ruangan.

“Sekarang, bubar.” Suaranya tenang, seolah barusan tidak ada yang mati di hadapan mereka.

Sofia masih terdiam, tubuhnya membeku. Ia baru tersadar ketika pria itu membungkuk dan mengangkatnya dalam gendongan. Ia kaku dalam pelukan asing itu, dibawa kembali ke kamarnya penjara mewahnya.

“Kau tidak perlu takut padaku,” bisiknya datar. “Tak seorang pun akan menyakitimu di sini.”

Sofia tak bisa menahan diri untuk menjawab lirih, “Sejauh yang kutahu… tidak ada jalan keluar dari sini kecuali dengan peluru di kepala.”

Pria itu tersenyum tipis, seakan menikmati kepasrahan sekaligus keberaniannya.

“Kenapa aku di sini?” tanya Sofia saat mereka memasuki koridor menuju kamar.

“Sudah kukatakan, ada cara mudah menyelesaikan masalah keluargamu.” Senyumnya melebar. “Pamanmu bijak. Ia tahu bagaimana memanfaatkan peluang emas.”

Ucapan itu menyulut kembali ingatannya—pertemuan sebelumnya.

[“Kau tahu,” ucap kolektor itu saat itu, “Kau bisa menyelesaikan masalah keluargamu dengan mudah.”

“Apa? Benarkah? Bagaimana caranya?” tanya Sofia, matanya berbinar penuh harap.

“ Kau wanita yang sangat cantik, Nona. Dan bos kami, Pangeran, sedang mencari seorang istri. Kau akan menjadi pengantin yang sempurna. Bagaimana menurutmu?”]

Sofia menarik napas berat. Semuanya kini masuk akal. Pasti Cantika yang merancang ide itu, lalu membujuk ibunya. Keduanya kemudian menghasut sang paman, yang memang selalu tunduk pada istrinya. Dan akhirnya, mereka membiusnya lalu menjualnya ke geng ini.

Malam-malam ketika ia merasa diikuti, rupanya benar. Para rentenir sedang mengawasinya, menyiapkan rencana cadangan jika skema awal gagal. Betapa bodohnya ia tidak menyadarinya sejak awal.

Saat tersadar, ia sudah kembali ke kamar dengan dinding merah muda dan ungu itu. “Penjara boneka Barbie,” gumamnya dengan jijik.

Kolektor itu ikut menatap sekeliling lalu menoleh kepadanya. “Sepertinya kau bukan tipe perempuan yang suka warna ungu dan merah muda, ya?”

Sofia meliriknya tajam. “Suka atau tidak, apa aku punya pilihan?”

“Tentu saja aku peduli,” balasnya tenang, menatapnya lebih dalam.

“Kenapa?” Sofia tak kuasa menahan diri untuk bertanya. Ia perlu memastikan instingnya.

Pria itu mendekat, berbisik di telinganya dengan nada terlalu intim. “Karena kau akan menjadi istri Pangeran.”

1
Alfiano Akmal
Terima kasih sudah Mampir jangan lupa tinggalkan jejak kalian .....
Shinichi Kudo
Satu kata buat cerita ini: keren abis!
cómics fans 🙂🍕
Gak sabar nunggu lanjutannya thor!
Nami/Namiko
Terima kasih author! 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!