NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Bendera Putih di Warung Mie Ayam

Bendera putih kini berkibar di depan warung mie ayam Pak Bruto. Tanda duka itu jelas terlihat, menyiratkan bahwa seseorang telah pergi untuk selamanya.

Pak Arman, pelanggan setia yang biasa datang untuk sekadar bernostalgia menikmati semangkuk mie ayam racikan Pak Bruto, kini hanya bisa menatap jasad lelaki tua itu yang terbaring kaku di dalam peti mati.

Aku duduk di pojok ruangan, menatap peti mati dari kejauhan. Tak sanggup mendekat. Sementara Saras dan suaminya sibuk menyambut tamu-tamu yang datang melayat. Raksa, anak lelaki Pak Bruto, tak bisa hadir. Ia hanya bisa melihat ayahnya untuk terakhir kalinya lewat panggilan video bersama Saras.

Pelan-pelan aku berdiri dan menghampiri Saras yang sedang berbicara dengan Aksa melalui layar ponselnya.

"Maaf, Mbak Saras... saya pulang duluan, ya. Saya nggak bisa temani Pak Bruto sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya," ucapku pelan.

Saras menoleh, tersenyum haru. "Nggak apa-apa, Lion. Terima kasih... kamu sudah menjaga ayah saya selama ini," katanya sambil memelukku.

"Sama-sama. Saya pamit dulu," jawabku, lalu melangkah pergi.

Raksa di layar video call sempat menatapku penuh penasaran. "Saras, itu Lion yang kamu ceritakan?"

Tanya Aksa penasaran, Saras mengangguk pelan.

"Aku rasa warung ayah biar Lion yang urus. Kamu tahu sendiri, aku sudah punya pekerjaan tetap," kata Aksa.

Saras kembali mengangguk. "Iyah aku tahu. Kalau gitu aku panggil dulu lion mau bicara hal itu sama dia." Kata Saras lalu berlari kecil mengejarku.

"Tunggu sebentar, Lion!" panggilnya.

Aku menoleh, melihat ia berjalan mendekat dengan wajah serius.

"Aku ingin bicara sesuatu yang penting," katanya sambil mendekat.

Aku mengerutkan kening, penasaran.

"Lion... aku ingin kamu meneruskan warung mie ayam ayah saya. Anggap saja ini kenang-kenangan terakhir dari beliau untukmu." Ucap Saras dengan nada serius.

"Kamu tahu sendiri, Aksa nggak bisa urus karena pekerjaannya. Aku juga sudah berkeluarga dan sibuk bekerja. Jadi... tolong, Lion terimalah."

Aku terdiam. Sebenarnya aku ingin menerimanya, tapi siapa aku di mata mereka? Aku hanya orang luar, orang yang pernah menumpang hidup pada Pak Bruto

"Tapi, mba—"

"Udah, kamu terima aja," potong Saras.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. "Baik, saya terima."

Wajah Saras terlihat lega. Ia mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Lion."

***

Di rumah, aku duduk termenung di taman belakang, mengisap sebatang rokok. Langit sore tampak redup. Pikiranku kosong menatap arah langit.

"Paman, aku pulang!" teriak Rafael dari depan rumah dengan suara riang.

"Paman... Paman... Paman di mana?" Pangilnya masuk, sambil mencari-cari keberadaanku.

Aku menoleh malas, tak berniat menjawab. Rafael berjalan ke arahku, mengerutkan kening.

"Paman nggak ke makam Kek Bruto? Aku pikir paman akan di sana."

Aku tetap diam, menghembuskan asap rokok sambil memejamkan mata.

"Paman... Hallo... Dengar nggak sih?" ucap Rafael enteng, membuatku jengkel.

Aku membuka mata, menatapnya tajam. "Pergi atau..."

Belum sempat aku lanjutkan, Rafael sudah melambaikan tangan dan berlari ketakutan. "Oke, oke! Aku pergi!" serunya ketakutan, lalu lari ke dalam rumah.

Aku menghela napas panjang. "Orang lagi berduka, malah bikin kesal," gumamku.

Saat hendak memejamkan mata lagi, suara lembut Rina kembali terngiang di kepalaku.

"Hey, apa kamu baik-baik saja? Bukannya kamu pamannya Rafael?"

Aroma parfum sakura yang khas, senyumnya, cara dia menyapaku. Bahkan tatapannya—semua semuanya kembali berputar seperti video yang terus diulang. Aku sempat tersenyum kecil tanpa sadar. Setidaknya, Rina berhasil membuatku lupa sejenak pada duka kehilangan Pak Bruto

"Paman... Paman..."

Namun suara Rafael kembali memanggil dari dalam rumah, membuat bayangan Rina langsung lenyap. Aku berdiri dengan wajah kesal, siap memarahi bocah itu. Tapi begitu masuk ruang depan, langkahku terhenti.

Di sana, Rina duduk bersama Rafael. Mataku membelalak kaget. Rina pun menoleh ke arahku, lalu menutup mulutnya menahan senyum.

Aku baru sadar tubuhku telanjang dada. Segera aku masuk ke kamar, mengenakan kaos hitam polos. Otot-otot lenganku terlihat jelas. Aku yakin Rina sempat memperhatikannya.

Aku lalu duduk di depan mereka. Rafael sibuk ngemil keripik, mereka sedang asyik bercerita tentang sekolah.

"Rafael, kamu masih dibully sama Erlan?" tanya Rina.

"Tidak lagi." jawab Rafael singkat sambil menggeleng, mulutnya penuh keripik.

Aku menatapnya jengkel karena sikapnya yang kurang sopan. Aku berdeham, mencoba menetralkan detak jantungku yang kian cepat.

Rina melirikku, tersenyum manis. Rafael malah tersenyum nakal menatapku curiga, lalu bangkit

"Bu Rina, aku ke belakang dulu. Ngobrol aja sama paman," katanya jahil, lalu kabur ke dapur.

Aku menatap punggung Rafael yang menghilang, kemudian kembali pada Rina. Ia menyodorkan sesuatu.

"Ini... saya tadi nggak sengaja nemuin dompet kamu di kursi taman," ucap Rina malu-malu, menyodorkan dompetku.

Aku buru-buru mengambil dompet itu, tanganku sedikit gemetar. "Terima kasih," jawabku canggung.

"Sama-sama, pak Lion," jawab Rina sambil tersenyum.

Aku tersentak, kening berkerut. 'Bagaimana dia tahu namaku? Rafael selalu memanggilku paman.'

"Apa kamu Lion Argandara? Anak dari Bima Argandara?" tanya Rina.

Aku tercekat. Ingin menyangkal, tapi lidahku kelu.

Aku hanya bisa terdiam. Jujur, aku tak ingin mengakuinya.

"Setahuku kamu anak berprestasi, kebanggaan universitas. Kok bisa jadi seperti ini?" lanjutnya. "Aku Atrina Putriyana. Kita pernah ikut kursus matematika bareng. Ingat nggak?"

Aku mencoba mengingat, tapi kepalaku kosong. Terlalu lama aku habiskan masa lalu dengan mengejar kesempurnaan, sampai melupakan banyak orang.

"Lion? Kamu ingat?" suara Rina membuyarkan lamunanku.

Aku menatapnya lalu aku menggeleng "Maaf... aku nggak mengenalmu. Kamu salah orang."

Rina menghela napas panjang, tersenyum tipis. "Oh... nggak apa-apa."

Ia berdiri, lalu pamit. "Kalau gitu, aku pulang dulu."

Aku hanya bisa diam, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu.

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!