Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Day Two
Betapa telatennya Dean merawat luka-luka Suri. Mulai dari membersihkan, menaburkan obat merah, sampai menempel plester luka dengan motif lucu warna-warni.
"Nah, sudah," ucapnya setelah menempelkan plester luka yang terakhir—di punggung tangan Suri.
Suri menatap plester luka berwarna kuning dengan gambar animasi beruang tersebut. Dari sana, ia bisa merasakan ketulusan Dean.
"Semalam aku bermimpi," katanya.
Dean berhenti membereskan kotak p3k mini yang mereka beli di apotek dekat toko buku. Tatapannya menusuk tepat pada manik Suri. "Mimpi apa?" tanyanya.
Suri melepaskan pandangannya dari plester luka di tangan, beralih pada jalanan di depan mereka yang lengang. Berbeda dengan keadaan halte yang ramai, sehingga Suri dan Dean harus mengambil posisi di ujung belakang agar tidak terlalu menarik perhatian.
"Aku bermimpi tersesat di tengah-tengah padang ilalang," kata Suri lagi. "Di sana, aku sendirian. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba menemukan jalan keluar, yang menyambutku di depan hanya selalu rumpun-rumpun ilalang yang lain."
Dean saksama mendengarkan. Bahkan embusan napas Suri pun tak luput dari perhatiannya.
"Aku ketakutan," lanjut Suri. "Di sana benar-benar tidak ada kehidupan. Aku ditinggalkan sendirian, terombang-ambing tanpa kepastian. Sampai kukira ... kukira aku akan mati."
"Apa lagi yang kau lihat di sana?"
Suri menatap Dean sejenak. Dalam kepalanya, ingatan tentang siluet pria berlingkup cahaya kembali muncul, mendatangkan perasaan tidak nyaman ketika setelahnya denging panjang samar di telinga Suri.
"Aku melihat seseorang di belakangku."
"Siapa? Kau bisa mengenali wajahnya?"
"Tidak." Suri menggeleng, bibirnya perlahan menipis. "Aku sudah berhasil menggapai pundaknya, tapi ketika orang itu hampir berbalik, kepalaku tiba-tiba terasa seperti terhantam benda berat. Aku jatuh. Kesadaranku perlahan-lahan menghilang sebelum sempat melihat wajahnya. Lalu..."
"Lalu?"
Suri menghela napas panjang. "Lalu aku terbangun, mendapati wajahmu begitu dekat dengan wajahku," ujarnya. Nada main-main terdengar samar. Sekadar upaya mencairkan suasana agar tidak kembali tegang.
Selagi Dean belum memberikan respons lain, Suri kembali melayangkan pandangannya ke depan. Namun kali ini objek yang dituju bukanlah jalanan, melainkan kabel-kabel listrik yang membentang di sepanjang jalur.
Di sana, dua burung gereja bertengger bersebelahan. Paruh mereka saling berhadapan, hampir bersentuhan. Suri mulai memikirkan sendiri skenario yang mungkin terjadi antara dua burung gereja itu. Mungkin yang satu sedang mengabarkan sesuatu, sedangkan yang satu mendengarkan dengan saksama tanpa sedikit pun menyela—seperti yang ia dan Dean sedang lakukan sekarang.
"Aku masih belum yakin, tapi kurasa...." Suri kembali menggantungkan kalimatnya. Sangsi antara harus melanjutkan atau tidak.
"Apa?" sambar Dean.
Suri menunduk sebentar, menarik napas, kemudian kembali menatap Dean. "Kurasa luka-luka di tubuhku ini berasal dari sana—entah bagaimana caranya," katanya. "Di dalam mimpi itu, aku ingat sekujur tubuhku tergores dedaunan ilalang yang tajam."
Dean menahan napas. Seperti yang Suri bilang, belum ada yang bisa dipastikan. Tetapi jika hal ini sesuai dengan perkiraannya... maka entah apakah ini pertanda baik atau buruk.
"Ah, sudahlah," Suri mengibaskan tangan. "Aku tahu hidupku tidak akan berjalan normal lagi sejak bisa melihat hantu. Terlebih, setelah bersedia membantumu."
"Suri—"
"Tidak perlu." Bibir Suri bergerak cepat, memotong ucapan Dean yang sudah ia perkirakan apa isinya. Pria itu pasti mau minta maaf. Suri tidak ingin dengar. Tidak berguna juga untuk sekarang. Bukankah yang terpenting adalah fokus pada misi membangunkan kekasih Dean, agar mereka sama-sama terbebas dari ikatan aneh ini? Agar Suri bisa menjalani kehidupan normal, dan Dean ke atas dengan tenang.
Tak berapa lama setelahnya, bus yang mereka nanti tiba. Suri mengisyaratkan kepada Dean agar segera beranjak. Maka pria itu menurut tanpa perlawanan. Kotak p3k dan goodie bag berisi buku-buku cerita, digenggamnya erat. Sementara Suri sudah lebih dulu naik sambil menggendong tasnya di depan.
Keadaan bus cukup ramai. Hampir semua orang yang menunggu di halte memaksa masuk meski sudah tahu kapasitas di dalamnya telah berlebihan. Akibatnya, tubuh Suri terdorong ke kanan dan ke kiri tanpa henti. Setiap bersenggolan, seseorang akan memberikan reaksi beragam: antara meminta maaf, atau justru melirik sinis seolah Suri lah yang bersalah.
Situasi itu membuat Dean tidak senang. Akhirnya, mengerahkan energi ekstra lagi, Dean pindah ke belakang tubuh Suri. Tubuhnya berubah menjadi perisai, melindungi Suri dari gesekan dengan penumpang lain—tanpa Suri sadari.
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Setibanya di rumah sakit, hal pertama yang langsung mencuri perhatian Suri adalah vas berisi bunga mawar di atas meja. Suri perhatikan betul-betul setiap kelopaknya, dan menemukan sudah lebih banyak bagian yang layu daripada kemarin. Ada yang bahkan semua kelopaknya sudah tanggal, menyisakan bagian putik dan benang sari. Tetapi anehnya, tidak ada jejak kelopak bunga yang tanggal di sekitar vas. Seakan kelopak-kelopak yang tanggal langsung sirna begitu saja.
"Suri?" Suara Dean memecah lamunannya.
"Iya," sahut Suri begitu tersadar. Dalam waktu singkat, ia kembali fokus pada tujuan utamanya datang ke sini.
Suri bergegas menarik kursi, lalu duduk di atasnya. Tas punggung dia geletakkan di dekat kaki, sedangkan di tangannya kini sudah ada satu buku cerita yang dipilihnya random dari dalam goodie bag.
"Hai," Suri mengawalinya dengan sapaan lembut. Satu tangannya terangkat sejajar telinga, dilambai-lambaikan sedikit. Tidak lupa membubuhkan senyum.
Dean, seperti biasa, mengambil posisi di belakang tubuh Suri. Entah sejak kapan pastinya, nalurinya kini membuatnya bertindak menjadi guardian, sehingga dirinya lebih senang berada di belakang Suri, demi bisa mengawasi sang gadis dengan baik.
"Hari ini aku datang untuk membacakan dongeng," kata Suri, "Dean bilang kau suka dongeng, tapi kekasihmu ini tidak memberitahu secara spesifik jenis dongeng seperti apa yang kau suka. Jadi kuharap kau menerima pilihanku saja, ya."
Kau tidak bertanya... Namun Dean simpan protes itu di dalam hatinya.
Suri menunjukkan buku cerita pilihannya. Bagian cover depan bergambar seorang gadis bergaun keemasan dan seekor anak gajah berwarna biru muda. "Judulnya adalah 'Putri Elora dan Gajah Biru yang Tersesat'," kata Suri.
Beberapa detik dibiarkan terbuang begitu saja. Seakan Suri sengaja memberikan waktu kepada kekasih Dean untuk mencerna suaranya dengan baik.
Kemudian, Suri mulai membuka halaman pertama. "Baiklah," katanya sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku mulai, ya."
Suara Suri perlahan berubah ketika ia mulai membacakan dongeng. Intonasinya naik-turun mengikuti alur cerita.
"Dahulu kala, di sebuah kerajaan nun jauh, hiduplah seorang putri bernama Elora," mulainya. "Dia adalah putri yang cantik, cerdas, dan baik hati."
Suri menjeda pada bagian itu, untuk sekadar melucu. "Ya, kau tahu lah, tipikal princess pada umumnya," ucapnya seraya mengibaskan tangan pelan. Mimik mukanya pun dibuat setengah julid.
Tak lama menjeda, Suri melanjutkan. "Suatu hari, ketika sedang bermain di tepi hutan, Putri Elora melihat seekor anak gajah berwarna biru yang tampak ketakutan. Tanpa rasa takut, Putri Elora mendekatinya, lalu bertanya: 'Wahai gajah yang cantik, di manakah ibumu? Kenapa anak manis sepertimu ditinggalkan sendirian di sini?'. Sementara sang anak gajah melangkah mundur, merasa terancam."
"Melihat itu, Putri Elora sedikit merunduk, 'Hei, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu' katanya. 'Aku hanya ingin tahu di mana ibumu, supaya bisa aku antarkan kau ke sana ' sambungnya dengan suara lembut."
Bibir Suri masih terus lancar melanjutkan cerita. Dean ikut mendengarkan. Ia tersenyum kecil saat tubuh Suri ikut bergerak kala memperagakan bagian cerita yang sedang dibacakan. Suri tampak begitu ekspresif. Seperti seorang pencerita andal, alih-alih sekadar anak SMA yang merelakan waktunya membacakan dongeng untuk perempuan dewasa yang tidak dikenal.
Mereka terhanyut dalam suasana, sampai tidak ada yang menyadari bahwa beberapa kelopak bunga di dalam vas kembali berguguran. Helainya melayang-layang di udara selama beberapa saat, kemudian sirna sebelum mendarat di dasar meja.
Bersambung.....