Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terganggu
Haneul Kamandaka
Aku kira ketika hari telah berganti, Daniza yang biasanya akan kembali, yang senang menatapku tapi tidak bisa dekat, yang tiap kali dekat, badannya menegang karena gugup, bukan menghindar tanpa melihatku. Seperti beralasan, "Biar aku yang buang sampah!" Tepat saat aku mengangkat kursi yang terakhir,Daniza berlari mengambil bak sampah dibalik pintu dan keluar.
Dia memang sudah menunggu momen ini, terlihat dari gerakannya yang gelisah saat membantu mengangkat kursi. Maka hanya tinggal aku yang tengah menghapus papan tulis dan Lani yang sedang menyapu.
"Seharusnya kamu itu ngga usah piket hari ini Han, kaki kamu kan belum boleh banyak gerak. Lagian yaa,kamu kalo hari piket hampir semua sudah selesai kamu kerjakan, jadi anggap saja yang sekarang kalo ngga piket ngambil jatah sebelumnya yang full kamu kerjakan "
"Ngga masalah Lani, ini ngga terlalu berat. Masih sanggup aku kerjakan "
"Memangnya ngga repot Han, kerja dengan kaki gitu?"
"Sedikit kesulitan kalo nyapu, tapi kalo angkat kursi masih bisa" Lani sampai selesai mengepel satu barisan meja kursi , barulah suara Daniza terdengar dari arah luar.
"Aku ngga mau Ali, kamu saja yang pergi, kan kamu yang diundang" aku lantas mengalihkan pandanganku dari kursi yang baru aku turun kan,kepada Daniza yang memasang wajah galak diluar sana.
Wajah galak yang kadang dia gunakan dihadapanku karena wajahnya yang pias karena gugup. Dan itu juga berpengaruh pada caranya bicara yang singkat dan sedikit keras. Dan kali ini dia bersikap sama saat berhadapan dengan Ali, tapi aku tahu perbedaannya. Yang ini dia sungguh marah dan jengkel itu terlihat dari wajah yang merah bukan pias. Tapi dimana pun perbedaan nya aku tetap tidak menyukai dia Bersosialisasi dengan lelaki manapun disaat dia bersikap tidak biasa padaku.
"Rumah temanku dekat, kamu juga kenal. Masa kamu ngga mau ikut, dia pernah satu ruangan dulu sama kita pas SD." Ali berkacak pinggang menatapnya, dan Daniza terlihat menghela napasnya.
"Ali kamu itu susah sekali, diajak ngomong. Aku ngga mau, aku si...buk"lalu Daniza melengos masuk dan mataku akhirnya dapat bertemu tatap dengan nya, tapi dia dengan cepat menunduk.
Tatapannya berbeda, binar nya hilang yang ada hanya tatapan takut dan sedikit kilatan amarah. Apa yang terjadi?
"Nanti aku jemput Dan, jam tujuh" Ali mengangguk kecil padaku menyapa, sebelum beranjak pergi.
"Kenapa Dan?" Aku ingin tahu apa yang Ali dan Daniza rencanakan dengan hanya mencuri dengar dari posisi ku yang pura-pura sibuk menurunkan kursi.
Namun Daniza justru mengulur waktu untuk menjawab nya, membuatku tidak tahu apapun jawaban dari pertanyaan Lani.
Aku tidak pernah merasa seterganggu ini pada seseorang, apalagi jika itu hanya Ali. Sejak kapan perasaan itu dimulai ? Mungkinkah sejak kemaren saat Daniza belum sekalipun melayangkan pandangan nya padaku dan yang baru hari ini lagi dapat ku tatap matanya, itu pun sebentar hanya untuk menunjukkan tatapan nya telah berubah saat melihatku. Atau mungkin sebelum ini, di hari Daniza yang datang bersama Ali, atau lebih mundur lagi mungkin tepatnya saat dipasar.
"Han, kamu mau beli alat pancing kan? Lapak nya dekat jual sembako, tahu kan?" Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Paman dan kami pun berpisah ditempat lapak penjual martabak.
Aku berjalan maju ke depan sana dan seharusnya berbelok ke kanan, namun ketika mataku menemukan Daniza yang saat itu tengah mencoba sendal, kaki ku justru terus melangkah maju, kedepan sana. Begitu jarak kami semakin dekat, aku berpura-pura tidak melihatnya dan langsung berjongkok disamping nya.
"Coba ini"
"Yang ini berapa, Abang?" Tangan ku mengambil sendal yang apa saja didepanku, tanpa sempat ku lihat dengan pasti, sebab mataku langsung melirik gerakan Daniza yang memakai sendalnya diantara jari kaki telunjuk dan jari tengah.
"Itu 40, barang bagus itu. Asli, ukurannya Mas?"
"43,Bang"dan kaki nya bergerak menjauh, aku sudah dapat menduga hal ini. Aku menoleh pada saat itu, pura-pura baru mengetahui itu dia, tapi juga urung untuk menyapa menyadari dia langsung berpaling .
"Yang ini aja, bungkus satu" dia menyerahkan sendal yang dipilih, yang ku lihat itu tidak cocok untuk kaki nya, bentuk atau pun ukurannya.
Tapi aku cukup puas dengan tingkah gugup nya, jadi ketika Penjual menggoda nya lagi, aku tidak dapat menahan senyum ku lagi.
"Maaf yaah Mba, saya bercanda kok. Kalau cantik meski galak juga bakal banyak yang suka, iyakan Mas?"
"Itu cewek tadi, sempat nembak Mas nya? Tapi ngga keterima yaa? Tingkah nya malu-malu gitu, pas Mas datang" Aku terkekeh dan menggeleng, jika seandainya saja begitu, aku mungkin akan menghancurkan hatinya, entah dengan penolakan atau dengan cara yang lain.
"Nggak lah, Bang!"
"Tapi, Mas nya dekat sama Mba nya"
"Cuma satu ruangan Bang, nggak dekat"
"Terus Mas yang itu, siapanya Mas?" Aku menoleh, melihat siapa yang dimaksud Abang penjual. Dan itu ternyata Ali, yang menyapa Daniza dengan senyum lebar.
Lalu aku mendengus, melihat Daniza mengangguk kecil membalas sapaan itu. Jadi, ketika ku lihat dia kembali yang mungkin untuk menukar sendal nya, aku memilih undur diri dari lapak penjual sepatu sendal karena amarah yang tiba-tiba datang tanpa ku mengerti.
"Dimas, kamu datang ngga ke acara kondangan nya Iil? Malam ini yaa kan?" Pertanyaan itu lantas membuatku teringat akan ajakan Ali pada Daniza, apa undangan ini yang di maksud?
"Mungkin iya, mungkin juga ngga. Kenapa, mau nebeng?"tapi sebaiknya bukan aku yang mencari tahu
"Ngga lah, nanya aja" aku melihat Gato, mencari jawaban dari pembicaraan yang tengah dibahas Rina dan Dimas. Dan aku tahu, Gato akan mengerti bahkan tanpa aku menggunakan kosa kata.
"Iil yang mana, aku belum pernah dengar?"
"Yang Rumahnya lewat jalan Lais, Teman satu ruangan kami pas SD, tapi dia berhenti sekolah pas kelas 5 ,makanya kamu ngga kenal! Kamu kan murid pindahan dari kota sama aja kaya Han."
"yang kentut nya suka menyela kalo kita lagi ngomong"aku terkekeh mendengar cara Dimas mendeskripsikan tentang Iil, sementara Rina mendorong kepala Dimas.
"Yang benar kalo ngomong " Dimas menjauhkan badannya agar tangan Rina tidak sampai lagi menyentuh nya
" Ngga nyadar dia, tangannya juga suka ngga benar" ditengah perdebatan itu, aku melirik ke arah meja Daniza yang menenggelamkan kepalanya di atas meja. Ada apa dengan nya? Dia jadi semakin pendiam dan raut wajahnya selalu terlihat sedih.
"Jadi...apa boleh aku mendapat undangan juga?" Mungkin Daniza dan Ali akan datang ke acara itu, dan aku perlu hadir juga.
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu