Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Bara Api Penghancur di Tengah Pesta
Alea melangkah masuk ke aula pesta, napasnya terengah, namun tatapan matanya lurus, dingin, dan penuh tekad. Setiap langkahnya terasa berat, diiringi denyutan perih di pelipisnya yang berbalut perban, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan luka di hatinya. Lampu-lampu kristal mewah berkilauan di atasnya, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang dipoles sempurna. Aroma parfum mahal dan makanan lezat menguar di udara, berpadu dengan bisikan tawa dan denting gelas, menciptakan kontras yang tajam dengan aura kelam yang dibawa Alea.
Aula itu dipenuhi ratusan tamu undangan dari kalangan atas. Para pria mengenakan setelan jas mahal, para wanita bergaun elegan dengan perhiasan berkilauan. Mereka semua tampak menikmati kemewahan dan kemeriahan pesta ulang tahun Tiara Amstrong yang ke 15. Tiara sendiri berdiri di atas panggung kecil yang dihiasi bunga-bunga, diapit oleh Richard Amstrong dan seorang wanita berparas angkuh yang dikenal sebagai istri Richard dan ibu kandung Tiara, Belinda. Mereka tengah bersiap memotong kue raksasa berlapis-lapis yang menjulang tinggi, diiringi irama musik lembut dari orkestra.
Musik yang tadinya mengalun indah, tiba-tiba terhenti seketika. Seluruh aula seolah membeku. Semua mata, satu per satu, berpaling ke arah pintu masuk. Bisik-bisik riuh yang sebelumnya memenuhi ruangan mendadak lenyap, digantikan oleh keheningan yang mematikan, hanya menyisakan suara tapak kaki Alea yang nyaris tak terdengar di atas marmer dingin.
Alea berjalan perlahan namun pasti. Wajahnya yang tirus, dengan kulit agak gelap akibat tempaan seminggu penuh di markas, kini tampak semakin pucat di bawah pantulan lampu. Perban putih mencolok melilit pelipisnya, sebagian kecil darah kering masih terlihat merembes, menjadi bukti bisu dari kekerasan yang baru saja ia alami. Baju pasien yang dikenakannya menjadi pemandangan kontras yang mencolok di tengah kilauan gaun pesta dan setelan jas mewah.
Beberapa tamu mulai menunjuk-menunjuk, bisikan terkejut menyebar seperti api. "Itu bukannya Alea...?" "Anak pembantu yang disebut Richard tadi?" "Astaga, kenapa dia di sini?" Tatapan heran bercampur jijik mengikuti setiap langkah Alea, namun tak ada satu pun yang berani menghalangi jalannya. Aura dingin yang terpancar dari gadis itu begitu kuat, seolah ia membawa badai sendiri. MC yang tadinya bersemangat membawakan acara kini hanya bisa terdiam membeku di samping panggung, mikrofon masih di tangan, tak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan.
Alea terus berjalan lurus, matanya yang onyx hanya tertuju pada panggung. Richard Amstrong, yang tadinya tertawa riang, tiba-tiba terdiam, senyumnya luntur. Matanya membelalak kaget saat melihat Alea datang, dengan kepala berlumuran darah yang sudah mengering dan perban melilitnya. Raut wajahnya berubah dari terkejut menjadi jijik dan marah. Namun, Richard semakin terkejut saat ia melihat siapa yang berdiri kokoh di belakang Alea: Axel, dengan wajah murka yang menahan diri, diikuti oleh Harun dan Indira yang memasang wajah serius dan siap siaga, seolah-olah mereka adalah pengawal pribadi Alea. Kehadiran mereka memberi sinyal jelas: Alea tidak datang sendirian, dan dia tidak sendirian lagi.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" Richard Amstrong memecah keheningan, suaranya tegas, dingin, dan dipenuhi penghinaan yang mendalam. Ia melangkah maju ke bibir panggung, menatap Alea seolah gadis itu adalah kotoran menjijikkan. "Kau tak pantas berada di pesta ini! Lihat dirimu! Berpakaian tak pantas seperti itu, dengan kepala berdarah seperti itu! Kau hanya akan mempermalukan kami!"
Nada suaranya naik, ingin memastikan semua tamu mendengarnya. Richard Amstrong menyeringai jijik. "Pergi dari sini, Alea! Kau hanya akan merusak pesta putriku! Aku tidak mengundangmu! Kau itu siapa, hah?! Kau hanya seorang gelandangan tak tahu diri yang berani-beraninya masuk ke acara penting keluarga Amstrong!"
Ia menunjuk Alea dengan telunjuknya, seolah ingin melenyapkan gadis itu dari pandangannya. "Dengar baik-baik, Alea! Kau adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku! Aku sangat menyesal pernah memberikanmu tempat tinggal! Aku menyesal pernah mengakui dan memberikan nama Amstrong untukmu! Itu adalah kekhilafan terbesarku!"
Napas Richard terengah-engah, amarahnya memuncak. "Mulai hari ini, detik ini juga, aku akan mencoret dan mengeluarkan namamu dari kartu keluarga! Kau bukan lagi siapa-siapa dalam silsilah keturunan keluarga besar Amstrong! Dan dengar baik-baik, anak pembantu! Aku tidak akan memberikan satu sen pun kekayaan milikku untukmu! Semua kekayaanku hanya untuk Tiara, putri kandungku satu-satunya!"
Di samping Richard, Tiara menyeringai puas, menatap Alea dengan kemenangan. Belinda, ibu kandung Tiara, tersenyum sinis, seolah semua ini adalah bagian dari skenario sempurna yang mereka rancang.
Kata-kata Richard menusuk tajam, sebilah belati yang berulang kali menghantam hati Alea. Namun, Alea tidak lagi bergeming. Ia telah melewati neraka, dan kata-kata itu hanyalah bara api kecil yang kini justru menyulut amarahnya sendiri menjadi kobaran dahsyat. Tatapan dinginnya mengunci Richard, seolah-olah kata-kata hinaan itu hanyalah hembusan angin yang justru menambah bahan bakar api dendamnya.
Pelan, sangat pelan, tangan Alea bergerak merogoh saku roknya. Gerakan itu begitu halus, hampir tak terlihat, namun menarik perhatian beberapa tamu yang penasaran. Perlahan, ia menarik keluar sebuah pisau kecil. Kilatan tajam dari bilah logam itu segera menangkap cahaya lampu kristal, memantulkan sinarnya ke seluruh aula, dan menarik perhatian semua orang. Suara bisik-bisik kembali terdengar, kali ini dipenuhi kecemasan dan ketakutan.
Dengan gerakan lambat, penuh makna, dan disengaja, di hadapan ratusan pasang mata yang terbelalak ngeri, Alea melukai telapak tangannya sendiri. Sebuah sayatan kecil, namun cukup dalam, segera mengeluarkan garis merah terang. Darah segar segera mengalir deras, membasahi kulit pucatnya. Beberapa tamu wanita menjerit tertahan, menutupi mulut mereka. Richard, Tiara, dan Belinda membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Axel mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak maju. Harun dan Indira hanya bisa menatap tegang, tahu ini adalah momen krusial bagi Alea.
Dengan suara yang jelas dan menggema di seluruh aula, meskipun nadanya masih dingin dan dipenuhi kesakitan yang ia tahan, Alea berucap, seolah setiap kata adalah sumpah yang tak bisa ditarik kembali. Suaranya rendah, namun memiliki kekuatan yang mampu membungkam semua suara di aula itu.
"Richard Amstrong..." Alea memulai, matanya menatap Richard tanpa berkedip. "Keluarga Amstrong..."
Ia mengangkat tangan yang berdarah, membiarkan darah menetes. Setiap tetesnya adalah deklarasi. "Hari ini," ucap Alea, suaranya sedikit meninggi, "di hadapan kalian semua, di hadapan para saksi ini, dan di hadapan semesta... aku, Alea Lily Amstrong," ia menekankan nama itu seolah itu adalah perpisahan terakhirnya dengan identitas itu, "memutuskan segala hubungan kekeluargaan dengan keluarga Amstrong!"
Darah menetes dari telapak tangannya ke lantai marmer yang berkilau, meninggalkan jejak merah yang mengilat. Setiap tetes seolah mengukir sumpah itu di atas permukaan yang dingin.
"Aku bukan lagi bagian dari kalian!" lanjut Alea, suaranya kini dipenuhi kekuatan dan emosi yang meledak-ledak. Ada kebencian yang mendalam, kesedihan yang telah mengeras menjadi baja. "Aku tidak akan pernah lagi menggunakan nama Amstrong di belakang namaku!" Matanya yang memancarkan api kemarahan menatap lurus ke arah Richard, Tiara, dan Belinda. Wajah mereka pucat pasi.
"Dan semua perbuatan... semua perlakuan kejam... semua siksaan... yang telah kuterima selama hidup di bawah atap keluarga Amstrong... akan kubalas!" Suara Alea bergetar, namun bukan karena takut, melainkan karena gejolak emosi yang begitu kuat. "Akan kubalas beribu-ribu kali lipat! Akan kubuat kalian menyesal seumur hidup telah menyentuhku!" Napasnya memburu. "Itu adalah sumpahku!"
Tepat ketika kata-kata terakhir Alea berakhir, dan tetesan darah terakhir jatuh ke lantai marmer, sebuah fenomena alam yang luar biasa terjadi. Sebuah kilatan petir dahsyat menyambar di luar jendela aula pesta. Cahaya biru-putih yang menusuk menembus kaca, menerangi seluruh ruangan sekejap, membuat semua orang tersentak. Diikuti oleh gemuruh guntur yang memekakkan telinga, suara menggelegar yang mengguncang bangunan, seolah alam semesta ikut menyaksikan dan merestui setiap kata sumpah yang baru saja terucap dari bibir Alea, padahal ruangan pesta itu didesain kedap suara.
Kekacauan melanda aula. Tamu-tamu menjerit ketakutan, beberapa terhuyung, yang lain menutupi telinga. Richard, Tiara, dan Felicia memucat, terdiam membeku di atas panggung, menyaksikan sosok Alea yang berdiri tegak di tengah pumpunan lampu, berlumuran darah di tangan dan pelipisnya, dengan aura yang kini terasa begitu mengancam. Pesta ulang tahun yang seharusnya meriah kini berubah menjadi saksi bisu atas sumpah balas dendam seorang gadis yang telah mencapai batas kesabarannya, seorang gadis yang kini telah terlahir kembali dari bara api penghinaan.