PERINGATAN!!!
Sebelum membaca, siapkanlah hati kalian seperti judul novel ini 'Seluas Samudera'. Karena kalian akan dibuat jengkel setengah mati. Jika kalian tidak siap, lebih baik mundur!
----------
Novel ini mengangkat kisah tentang seorang
Kapten pasukan khusus Angkatan Laut. Yang jatuh cinta dengan anak Komandan-nya. Mereka bertemu di rumah sakit tanpa tahu satu sama yang lain. Saat sang Kapten tertembak, dan sebagai perawat wanita itu merawatnya. Namun sayang, karena ada sesuatu hal. Sang Kapten secara sepihak memutuskan jalinan asmara diantara mereka.
Memang kalau telah dijelaskan, aku mau lepas darinya? Tentu, tidak! Aku tidak mau Dia sudah buat aku begini, malah meninggalkanku. Itu gak boleh! Oh! Aku tahu caranya biar dia bisa balik lagi bersamaku. Ya! Akan kucoba.
-Dewi Abarwati-
Dia berharap ada kata maaf dulu dari Dewi, sebelum dia merubah status hubungan mereka menjadi sepasang kekasih kembali.
-Krisanto-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonelondo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18 Pertemuan Pertama
(Gambar hanya ilustrasi)
Pesawat yang membawa mereka mendarat mulus di bandara International Kualanamu. Usai melepas sabuk pengaman, semua penumpang berdiri bersiap turun. Bersama penumpang yang lain, mereka bertiga jalan ke arah pintu kedatangan penumpang.
“Kamu di jemput nggak, Ren?” tanya Kris.
“Nggak, Bang.”
“Ya sudah, bareng saja.”
Kris merogoh saku kemejanya mengambil Hp-nya untuk menghubungi seseorang. Rena melipirkan badannya ke Dewi, bergelendot mesra. Yang digelendot begitu menoleh kaget.
“Wi, elo nginap di mana? Di rumah gue aja, yuk? Orang tua gue kan, belum kenal sama elo pasti mereka senang. Selama ini gue kan suka cerita tentang elo.”
Dewi mendengus dipikiran. Siasat apa lagilah si Rena ini. Tidur di rumahnya? Yang benar saja! Sama saja dia melempar dirinya ke kandang rubah.
“Dewi nginap di rumahku Ren,” sela Kris.
Biar sedang bicara di telepon, tapi dia mendengar. Lagian, pembicaraan itu hanya sesaat cuman menanyakan telah datang atau belum. Sejatinya meski ayah Dewi menitip padanya. Tanpa itu, dia pun akan mengajak Dewi tidur di rumahnya. Dewi itu bagaikan barang titipan yang harus dijaga. Selain karena dia yang mengajak, tentu karena Dewi merupakan anak Komandan-nya. Jadi takkan dia biarkan Dewi lepas dari pandangannya. Meski yang mengajak teman Dewi sendiri.
Rena melepas pegangannya dengan mulut sedikit manyum. Senangnya hati Dewi untuk ekspresi yang dilihatnya itu.
Di depan pintu keluar, mobil dinas yang menjemput Kris sudah menunggu di laju naik turun-penumpang. Seusai menaruh barang di bagasi, mereka naik. Mobil melesat pergi. Usai mengantar Rena, mobil bertolak ke tempat tinggal Kris.
Dalam perjalanan Dewi gelisah, lalu mendekatkan tubuhnya ke depan di belakang tubuh Kris. Kris duduk di sisi pengemudi, Dewi di belakang tepat di bangku Kris. Dia berbisik ke sisi kaca. Maklum, takut pembicaraan mereka didengar oleh si pengemudi mobil.
“Bisakah kamu mengantarku ke hotel?”
Kris mendelik. "Hm? Maksudmu?”
“Aku lebih baik tidur di hotel saja.”
Menarik nafas kecil, paham kegelisahan wanita ini. "Dewi... Keluargaku nggak masalah kamu tidur di rumahku. Mereka juga tidak masalah dengan statusmu sekarang. Mereka senang kok bertemu denganmu."
“Tapi...”
“Sssttt... Sudahlah,” potong Kris.
Dewi memundurkan badan, tahu maksud Kris nggak enak cara bicara mereka dilihat rekannya. Ya, sudahlah...
Untuk mengusir rasa stressnya, dia melihat-lihat pemandangan. Ini baru pertama kalinya dia ke Medan. Medan kotanya sudah modern. Wajar, masuk ke dalam 5 kota besar di Indonesia.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di ujung rukan. Tepat depan rumah makan bernama 'Selera Bersama'.
(Gambar hanya ilustrasi)
Jantung Dewi kembali berdebar, dari balik kaca melihat keluarga Kris dari dalam berjalan keluar.
“Ayo, turun,” ajak Kris.
Wanita itu menarik nafas panjang, memegang gagang pintu keringat dingin. Rekan Kris tidak turun menunggu di mobil. Kedua adik Kris berlari kecil saat abangnya sudah berada di luar mobil.
“Abang...”
Mereka memeluk kangen maklum sudah lama tidak ketemu. Tak luput kedua orang tua Kris turut menyapa, dan memukul-mukul pelan pundak anak mereka.
“Nak.”
“Pak, Mak,” balas sapa Kris.
Kris memanggil ibunya sebutan ‘Mamak’ bahasa Melayu untuk orang tua perempuan.
Wanita di sebelah Kris membeku bentar lagi gilirannya. Bagaimana dia harus bersikap? Kris sehabis melepas pelukan adik-adiknya memperkenalkan Dewi ke mereka.
“Kenalkan, ini Dewi.”
“Hallo... Jadi ini Nak Dewi ya,” salam mamak Kris.
“Selamat datang di rumah kami." Bapak Kris juga ikut menyapa. Keduanya sama mengulurkan tangan.
“Ha, h-allo..." Dewi dikit canggung.
“Hallo... Kak, aku Dena adik Bang Kris yang pertama."
“Iy, i-ya, hallo...," balas Dewi.
“Aku Ria, Kak. Adik Bang Kris yang bontot.”
“Oh, iya, hallo..."
Usai itu, orang tua Kris mengajak masuk. Kris segera membawa koper mereka naik ke atas. Dewi memperhatikan.
“Nanti, Nak Dewi tidur di lantai 3 ya, di ruang tamu," ucap mamak Kris, mengalihkan perhatiannya
“Nanti, Dena antarin Kak," sela adik Kris yang pertama.
“Oh, i-ya." Dewi terus canggung.
“Ayo... Silahkan duduk Nak Dewi,” ajak bapak Kris.
“Iy, i-ya, Pak.”
Mungkin karena tergolong masih pagi, rumah makan keluarga Kris sepi. Mereka duduk di salah satu meja pengunjung. Keluarga Kris sudah menyiapkan jamuan makan di meja.
Rumah makan keluarga Kris tampilan depannya terbuka. Kalau warung tutup, baru ditutup pakai holding gate. Hampir sama dengan kantin rumah sakit. Kursinya ada yang single berbahan plastik, dan panjang berbahan kayu. Meja-mejanya pun ada yang panjang dan pendek. Tangga untuk menaiki tiap lantai berada di pinggir berhadapan dengan dapur. Di depan dapur, etalase untuk menjajakan masakan. Jadi etalase berada di depan. Ditengah antara etalase dan tangga, dapur.
“Dari Jakarta jam berapa?” tanya mamak Kris.
“Jam 8 pagi, Bu." Dewi berusaha sebaik mungkin tenang.
“Pasti belum sarapan,” ujar bapak Kris.
“Sudah, Pak.”
“Coba dulu ini lontong Medan. Buatan Mamak sangat enak loh Kak,” promo Ria.
“Abang tak bisa makan,” sela Kris yang telah turun dari tangga.
Mereka semua pada menoleh.
“Mau kemana?” tanya mamak Kris.
“Mau langsung ke Belawan.” Belawan merupakan markas TNI-AL di Medan.
Dewi langsung menelan ludah. Haruskah secepat ini dia ditinggalkan? Tidak bisakah Kris menemaninya dulu sebentar baru pergi?
“Oo... Ya sudah Nak, hati-hati di jalan,” ucap bapak Kris.
“Iya, Pak. Maaf Mak, Kris tak bisa makan masakan Mamak."
“Iya, tak apa-apa," jawab orang tua itu serempak.
“Kris pamit Mak, Pak. Ya, Dek." Mengucel-ngucel rambut atas kedua adiknya. “Sama keluargaku dulu ya,” lanjutnya ke Dewi.
“Iy, i-ya." Dewi jadi kembali canggung.
Kris berjalan masuk mobil, menurunkan kaca, melambaikan tangan, beriringan dengan mobil melaju pergi.
“Ayo, dicoba Nak,” ajak mamak Kris mengalihkan pandangan wanita itu.
Saat ini Dewi tidak bisa menghindar jamuan di depannya. Nanti dia akan dinilai buruk oleh keluarga Kris dianggap tidak menghargai. Ini pertemuan pertama mereka, sekaligus peluangnya mengambil hati keluarga Kris. Meski dia gelisah, meski statusnya bukan siapa-siapa Kris lagi, tapi ke depan siapa yang tahu nasibnya. Baiklah, dia harus tenang mereka sudah baik. Namun mereka baik bukan karena menganggap dia anaknya Komandan Kris, 'kan?
“Iya, Bu. Terima kasih.”
“Ayo Kak, aku temenin." Dena berdiri.
“Awak juga mau,” ucap Ria. Awak artinya aku.
“Ya sudah, kamu saja yang ambilin piring buat kita.”
Ria berdiri. “Oke.”
“Kami semua sudah makan,” info mamak Kris.
“Tapi lontong buatan Mamak kali ini lain Kak, karena spesial buatin untuk Abang dan Kakak. Aku jadi kepengen nambah he..." Dena cengengesan, sembari menempatkan lagi pantatnya.
Dewi tersenyum.
“Ya sudah. Bapak pamit." Bapak Kris berdiri.
Demi ketemu anaknya, bapak Kris sengaja menyediakan waktu dengan memolorkan jam buka dagangannya.
“Iya. Hati-hati ya Pak,” balas istrinya.
"Hati-hati ya, Pak," tambah kedua anak mereka.
"Iya." Beralih ke tamu mereka. "Santai saja dengan keluarga kami ya, Nak Dewi."
“Oh! Iya, Pak.”
Selanjutnya Dewi kembali bercengkrama dengan keluarga Kris yang tersisa. Dia terus berusaha serileks mungkin bicara dengan mereka. Usai itu, mamak Kris kembali dengan aktivitasnya. Dikit lagi sudah mau jam makan siang. Para pelanggan rumah makan sedikit lagi datang. Ria membantu mamaknya menyiapkan segala kebutuhan. Sedangkan Dewi dan Dena naik ke atas.
“Kalian nggak pada sekolah dan kuliah?” tanya Dewi di tangga.
“Tak. Hari ini aku dan Ria bolos demi ketemu Abang.”
“Oo... Begitu.”
“Nah! Itu kamar Abang, itu kamar Bapak dan Mamak.” Dena menunjuk, setiba mereka di lantai 2.
Kamar Kris bersebelahan dengan orang tuanya. Di luar kamar-kamar itu, ruang keluarga, meja makan, dan 1 kamar mandi. Dewi menelusuri, dan matanya berhenti disatu titik. Dia berjalan ke sana. Ada hal menarik perhatiannya, pajangan di dalam bupet. Dena mengikuti.
“Oo... Itu, photo Abang sewaktu kecil."
Nggak salah sewaktu kecil perawakan Kris memang begini. Kurus, tinggi, dan suka pakai baju hijau.
“Dulu sewaktu kecil Abang dipanggil si Timun ya?” tanya Dewi.
“Haha... Iya, kata Bapak. Dena hanya tahu dari cerita saja. Dulu waktu kecil kata Bapak, Abang bandel suka main terus. Tapi pas aku lahir Abang jarang main, pulang sekolah langsung pulang. Biasanya dulu suka ke sawah. Pas, Ria lahir juga begitu di rumah saja."
Karena jarak umur dua anak itu jauh dengan abangnya. Jadi Dena tak tahu seperti apa dulu abangnya sewaktu kecil. Jadi dia hanya tahu cerita dari orang tuanya.
“Oo... Gitu."
Wah... Kris Kakak yang baik. Pas adiknya lahir, sudah sadar akan menjadi kakak yang bertanggung jawab menjaga adiknya.
Mereka lanjut melangkah. Tiba di lantai atas, Dewi kembali mengamati. Ada 3 kamar dan ruang jemuran dengan atap terbuka. Dan lagi-lagi, ada yang menarik perhatiannya. Di sini pun ada bongsai?
“Itu, bongsai siapa?” tanyanya. Siapa tahu punya bapak Kris.
“Punya Abang. Tapi sekarang yang melihara Bapak.”
“Oo... Begitu. Di asrama Abang juga ada.” Dewi membahasakan 'abang' ke adik-adik Kris.
“Masa? Haha... Kami sekeluarga belum pernah ke sana, tapi pasti ada. Abang emang suka sekali bongsai. Kata Abang, bongsai itu menggambarkan bentuk ketenangan dan kesabaran dibalik seseorang yang merawatnya. Karena butuh waktu lama merawatnya.”
Mantan kekasih Kris itu mengernyitkan alis. Filosofi siapa itu? Kris? Apa orang Jepang? Kalau Kris, kenapa tidak sesuai fakta? Kris saja nggak sabaran cepat memutuskan hubungan dengannya.
Kemudian, Dewi ditinggal supaya istirahat di kamar. Namun tak lama dia keluar turun ke bawah. Di kamar pun dia ngapain lebih baik bantu mamak Kris jualan. Orang tua itu melarang, namun dia tetap ringan tangan membantu.
Dewi sudah tak peduli keresahannya. Dia juga tak peduli jika kebaikan keluarga Kris karena memandang dia anak siapa. Awal pertemuan ini sudah cukup baginya. Dia sudah tidak tegang lagi, keluarga Kris telah menyambutnya ramah. Keramahan sepatutnya disikapi positif, bukan?
penasaran alasan kris
aslinya laki apa banci sih 😑
seolah dia ga masalah orang yg dia cintai dibikin sakit ama temen2nya
ngapa ga putus hubungan aja ama temennya
temen kayak gt kok dipiara
si rena lah dianter ksana kmari, parah ini kriss
baik sih baik, tpi ya ga gt jg kalik...
babehku sibuk mo anter2 tmnnya, lgsg aku tikung buat ngantrerin aku