NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:177
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: KOREKSI PADA ASPAL

"Jangan lihat ke atas, Za. Lari saja."

Perintah itu membelah kabut teror Reza. Dia tidak bertanya. Dia tidak menoleh. Dia hanya mendorong tubuhnya yang gemetar untuk bergerak, ditarik oleh cengkeraman Rania di pergelangan tangannya.

Mereka tersandung, meluncur di atas kantong sampah yang basah dan licin, dan berlari.

Gang sempit itu adalah terowongan yang terbuat dari bata kotor dan bau busuk. Kaki Rania, yang terbungkus sepatu kets Dion yang kebesaran, tersandung pada kerikil dan tutup botol yang tidak rata. Udara terasa pekat, berbau asam susu basi, sisa makanan yang membusuk, dan urine. Itu adalah bau kekacauan manusiawi yang normal.

Dan di belakang mereka, bau itu dilenyapkan.

KRRRRSSSSSSHHHHHHHHHH...

Itu bukan suara ledakan. Itu bukan suara runtuhan.

Itu adalah suara yang jauh lebih buruk.

Itu adalah suara frekuensi tinggi yang stabil dan murni, seperti ribuan paku yang ditarik melintasi papan tulis kaca raksasa. Suara berlian yang mengukir obsidian. Suara materi itu sendiri yang dipaksa untuk menyerah pada blueprint yang berbeda.

"Aku... aku tidak bisa... Ra..." Reza terisak, tersandung.

Dia tidak bisa menahannya. Dia melirik ke belakang bahunya.

Dan pemandangan itu menghentikan napasnya.

Dunia sedang dihapus.

Pria Berpayung itu masih berdiri di ambang pintu dapur, tenang di tengah badai, payung hitamnya terangkat seperti sebuah pernyataan teologis.

Di atasnya, langit biru telah lenyap. Digantikan oleh apa yang tampak seperti kubah katedral yang terbuat dari kaca retak. Jaringan retakan porselen berwarna oranye dan hitam yang rumit memancar dari satu titik pusat tepat di atas kafe.

Dan dari pusat retakan itu, "minyak" hitam kental itu tidak lagi menetes.

Minyak itu mengalir.

Bukan sebagai cairan, tapi sebagai pilar-pilar geometris yang mustahil. Kolonade-kolonade kegelapan murni yang jatuh tanpa suara ke atap "Kopi Titik Koma".

"Reza!" Rania menariknya, tapi dia juga melihatnya sekarang.

Dia mengamati dengan mata seorang arsitek, dan kengeriannya bersifat ganda. Ini bukan hanya kehancuran; ini adalah perversion dari profesinya.

Di mana pilar-pilar hitam itu menyentuh, dunia menyerah.

Reza melihat atap genteng kafe—genteng merah bata yang dia tahu retak di sudut kiri—kehilangan warnanya dalam sekejap. Merah menjadi abu-abu. Abu-abu menjadi hitam pekat. Hitam pekat menjadi... ketiadaan. Tekstur, bentuk, sejarah, dan bobotnya... terhapus. Seolah-olah bangunan itu bukan lagi benda fisik, melainkan sebuah gambar di layar yang sedang dihapus oleh kuas digital.

"Bangunannya... bangunannya meleleh..." bisik Reza, ngeri.

"Bukan," balas Rania, suaranya serak. Amulet obsidian di lehernya, yang diberikan Dion, tiba-tiba terasa sangat berat, bergetar pelan, dan sedikit hangat di kulitnya. "Itu tidak meleleh. Itu sedang 'dikoreksi'."

Dia bisa melihatnya dengan jelas, bahkan saat dia berlari mundur. Arsitektur kolonial yang jujur dan solid itu sedang dipaksa, ditarik, dan diluruskan.

Jendela-jendela kaca di lantai dua tidak pecah. Mereka larut, berubah menjadi awan debu perak yang berputar-putar sebelum tersedot ke dalam fasad yang menghitam. Dinding bata ekspos yang dia sukai karena "kejujurannya"... meregang. Tepi-tepinya kehilangan definisi, mortarnya menghilang, dan seluruh struktur itu meluruskan dirinya sendiri.

Sudut-sudut 90 derajat yang nyaman dan rasional itu ditarik dan dipaksa menjadi sudut-sudut miring 87 derajat yang salah—geometri non-Euclidean yang sama persis dari ruang bawah tanah terkutuk itu.

"Kopi Titik Koma" sedang diubah paksa, dari dalam ke luar, menjadi sebuah monolit murni dari Dunia Cermin.

"Dia... dia menghapusnya," isak Reza. Dia berhenti berlari, membungkuk di gang, dan muntah. Asam lambung dan kopi pagi yang pahit memercik ke aspal kotor. Itu adalah respons manusiawi yang paling jujur terhadap yang mustahil.

Rania menariknya berdiri. "Jangan berhenti! Jangan pernah berhenti!"

Dia menyeretnya, dan mereka akhirnya meledak keluar dari ujung gang, tersandung dan jatuh ke trotoar jalan raya yang ramai.

Mereka mendarat dengan keras di atas beton yang hangat dan nyata, di bawah sinar matahari pagi yang cerah.

Rania berguling dan langsung berdiri, menarik Reza bersamanya.

Dan dia menyadari... dunia telah berhenti.

Bukan secara harfiah. Mobil-mobil di kejauhan masih bergerak. Tapi di blok ini, kekacauan normal pagi hari telah membeku.

Seorang kurir paket saingannya—dari perusahaan lain—berdiri terpaku di samping motornya, helmnya setengah terlepas, menatap ke langit.

Seorang wanita karier dengan setelan rapi menjatuhkan tas kerjanya. Isinya—laptop, dokumen, lipstik—berhamburan di trotoar. Dia tidak peduli. Mulutnya ternganga.

Seorang sopir taksi telah membuka pintunya dan berdiri di jalan, menyebabkan kemacetan instan. Dia menunjuk ke atas dengan jari gemetar.

Puluhan pejalan kaki berdiri kaku. Ponsel mereka terangkat. Bukan untuk merekam—mereka terlalu bingung, terlalu terkejut untuk menekan tombol. Mereka hanya... menatap.

Langit di atas mereka adalah sebuah karya seni yang rusak. Kubah retakan porselen itu terlihat jelas oleh semua orang. Itu adalah bukti yang tak terbantahkan.

Lalu, suaranya datang.

Bukan suara robekan.

Itu adalah lolongan.

Lolongan "Si Tuli" dari gang tadi. Tapi kini suara itu tidak hanya datang dari satu tempat.

Itu datang dari mana-mana.

Seolah-olah setiap "Sensitif" yang tersembunyi di kota itu—setiap orang gila di sudut jalan yang bergumam pada dirinya sendiri, setiap seniman yang tersiksa, setiap orang yang jiwanya sudah retak—menjerit pada saat yang bersamaan.

Bagi kerumunan orang normal, itu adalah suara frekuensi tinggi yang aneh dan menyakitkan, seperti jutaan peluit anjing. Orang-orang mulai menjatuhkan ponsel mereka, mencengkeram kepala mereka. Kaca-kaca mobil mulai bergetar. Alarm mobil yang tak terhitung jumlahnya—dipicu oleh frekuensi yang mustahil—mulai meraung serempak, menciptakan simfoni kepanikan yang memekakkan telinga.

Tapi bagi Rania, bahkan dengan amulet obsidian yang meredam indranya, itu lebih buruk.

Itu adalah gelombang psikis.

Dia tidak hanya mendengarnya; dia merasakannya. Sebuah hantaman mental yang terdiri dari rasa sakit, teror, dan kebingungan murni. Itu adalah jeritan kolektif dari setiap pikiran yang baru saja dipaksa untuk mengakui bahwa fondasi realitas mereka adalah kebohongan.

Dia terhuyung, mencengkeram kepalanya. Amulet di lehernya menjadi panas, bukan lagi hangat. Benda itu bergetar hebat, mencoba melindunginya, mencoba meredam gelombang itu menjadi desingan yang tumpul dan menyakitkan.

Dia buta.

Dia menyadarinya dengan ngeri. Amulet itu bekerja. Dia tidak bisa lagi melihat "Ikan Gema". Dia tidak bisa lagi merasakan niat Pria Berpayung. Dia hanya bisa melihat apa yang dilihat orang normal: kubah retakan, pilar hitam, dan bangunan yang glitch.

Dia telah kehilangan indra keenamnya tepat saat dia paling membutuhkannya untuk bernavigasi.

"Ra... lihat..." Reza menunjuk, suaranya serak karena muntah.

"Koreksi" itu menyebar.

Rania memaksakan diri untuk fokus. Dia melihat mulut gang tempat mereka baru saja keluar.

Aspal di pintu masuk gang itu berdesis. Aspal abu-abu yang retak dan penuh lubang itu berubah menjadi hitam kaca yang mulus. Tumpukan kantong sampah yang mereka gunakan untuk mendarat... larut.

Itu bukan pembakaran. Itu adalah dekonstruksi digital.

Rania, arsitek itu, mengawasinya dengan ketajaman yang analitis.

Tumpukan sampah itu tidak menjadi abu. Tumpukan itu kehilangan resolusi. Tekstur kantong plastik itu menjadi datar. Warnanya memudar. Lalu, seolah-olah itu adalah gambar beresolusi rendah yang di-zoom terlalu jauh, tumpukan itu pecah menjadi ribuan piksel persegi berwarna abu-abu, lalu... statis. Lalu... lenyap. Dihapus.

Jejak kotoran di kaki Reza. Muntahannya di trotoar. Semuanya "dikoreksi" menjadi permukaan obsidian yang bersih dan sempurna.

Pria Berpayung itu melangkah keluar dari kegelapan pintu dapur yang kini menjadi portal hitam geometris yang sempurna.

Dia melangkah ke gang yang baru "dibersihkan" itu. Dia berdiri dengan tenang di bawah payung hitamnya, aman dari tetesan Gema mentah yang masih jatuh. Dia mengamati karyanya—penghapusan total blok kota yang "kotor" dan "tidak murni" ini.

Dia tersenyum.

Itu adalah senyum pertama yang Rania lihat. Senyum itu tidak memiliki kegembiraan. Itu adalah senyum kepuasan yang dingin dari seorang seniman yang baru saja menghapus sketsa yang salah. Seorang desainer yang membersihkan file-nya.

Dia tidak mengejar mereka.

Dia tidak perlu. Dia telah melepaskan sesuatu yang jauh lebih buruk. Dia telah membuka keran, dan sekarang "Denah" murni itu akan membersihkan dirinya sendiri.

"Ra! LARI!"

Sebuah suara baru. Berbeda. Familiar.

Rania memutar kepalanya, matanya memindai kekacauan di seberang jalan.

Itu Dion.

Darah mengalir dari pelipisnya, tapi dia hidup. Dia sedang berjuang di samping sedan abu-abu yang pintu penumpangnya terbuka. Dia berusaha menarik sosok yang lunglai—Elara—ke dalam mobil.

Elara tidak sadar. Perisai sonik itu pasti telah menghabiskan seluruh energinya, atau serangan balik frekuensi dari Pembersih itu telah melumpuhkannya. Dia adalah korban pertama yang Rania lihat.

Dion melihat Rania. Mata mereka bertemu di tengah kekacauan.

Dion tidak memberi isyarah padanya untuk bergabung. Dia tahu mereka tidak akan berhasil menyeberang.

Dia hanya mengangkat tangannya yang bebas, menunjuk dengan panik ke arah yang berlawanan dari kafe. Ke arah distrik perbelanjaan yang ramai.

Pergi. Menghilang. Larut dalam kerumunan.

Saat itulah sirene pertama terdengar.

Nyata. Bukan psikis. Merah dan biru. Jauh di kejauhan, tapi semakin dekat dengan cepat.

Polisi. Pemadam kebakaran. Ambulans.

Dunia normal akhirnya merespons anomali arsitektural di jantung kota mereka.

"Mereka nggak tahu," bisik Reza ngeri. Dia melihat sebuah mobil patroli polisi berbelok tajam di tikungan, melaju lurus ke arah zona "Koreksi" yang terus meluas. "Mereka akan... mereka akan masuk ke sana."

Mata polisi di dalam mobil itu terpaku pada bangunan hitam mustahil yang dulu adalah "Kopi Titik Koma". Mereka tidak melihat aspal obsidian yang menyebar di jalanan di depannya.

"Kita tidak bisa membantu mereka," kata Rania.

Suaranya mengejutkan Reza. Suara itu sekeras batu obsidian yang kini tergantung di lehernya. Tenang. Dingin. Final.

Ketakutan paniknya telah hilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih keras. Sesuatu yang diperlukan untuk bertahan hidup.

"Apa?" kata Reza. "Tapi... mereka akan..."

"Kita tidak bisa membantu siapa pun jika kita 'dikoreksi'," kata Rania, menggunakan terminologi baru mereka. "Elara dan Dion benar. Kita harus pergi."

Dia menarik Reza, menjauhkannya dari tontonan yang mengerikan itu, menjauh dari sirene yang mendekat.

Dia tidak melihat ke belakang lagi.

Dia tidak melihat mobil polisi pertama yang bannya menyentuh aspal obsidian dan mulai larut.

Dia tidak melihat Pria Berpayung itu yang berbalik dan berjalan kembali ke dalam kegelapan yang telah dia ciptakan, pekerjaannya selesai.

Rania hanya fokus ke depan.

Dia dan Reza berlari.

Mereka tidak lagi berlari dari sesuatu. Mereka berlari bersama sesuatu. Bersama kerumunan warga sipil yang kini akhirnya mengerti bahwa mereka harus lari. Jeritan dan alarm mobil menjadi soundtrack mereka.

Mereka hanyalah dua orang lagi yang ketakutan di tengah kota yang baru saja dirobek.

Mereka anonim. Mereka buta.

Dan mereka bebas.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!