NovelToon NovelToon
Asmara, Dibalik Kokpit

Asmara, Dibalik Kokpit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?

selamat membaca...semoga kalian suka yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Langit Bali siang itu cerah sempurna. Birunya laut seolah menyatu dengan langit, menyisakan garis horizon yang nyaris tak terlihat. Angin pantai berhembus lembut, membuat aroma garam bercampur dengan wangi bunga kamboja yang beterbangan di udara.

Asmara berjalan di belakang Ryan, menyeret langkahnya dengan malas. Ia masih sedikit kesal karena “dipaksa” ikut agenda yang tak direncanakan ini. Ryan, di sisi lain, tampak santai. Kemeja putihnya dibiarkan sedikit terbuka di bagian atas, dan kacamata hitam bertengger di wajahnya.

“Serius, kamu mau jalan kaki sejauh ini? Ini Bali, bukan landasan pacu,” keluh Asmara, menutupi wajahnya dengan topi lebar.

Ryan menoleh sekilas, senyum kecil menghiasi bibirnya. “Kamu pramugari, terbiasa berdiri berjam-jam di kabin sempit. Masa jalan di pantai aja ngeluh?”

Asmara mendengus. “Bedalah! Di kabin nggak ada matahari segini teriknya.”

Ryan tertawa kecil, lalu tiba-tiba berhenti dan menatap laut di depannya. “Lihat, pemandangannya bagus banget dari sini.”

Asmara ikut berhenti, memandangi ombak yang berkejaran di tepi pasir putih. Ia terdiam sejenak, terpukau oleh keindahan yang sederhana itu.

“Ya… indah,” gumamnya pelan. “Kadang aku lupa dunia bisa sesantai ini.”

Ryan meliriknya, senyumnya menipis. “Kamu terlalu sering lari, Asmara. Terlalu sibuk buat menenangkan diri.”

Asmara menatapnya heran. “Kamu ngomong kayak udah kenal aku lama aja.”

Ryan mengangkat bahu. “Cukup lama untuk tahu kalau kamu selalu menyembunyikan sesuatu di balik senyummu.”

Asmara menelan ludah. Kata-kata itu menusuk, karena benar. Ia menunduk, membenarkan tali dress di pundaknya, berusaha mengalihkan pandangan dari mata tajam Ryan.

“Dan kamu juga selalu pura-pura dingin buat menutupi perasaanmu sendiri,” balasnya pelan.

Kali ini Ryan yang terdiam. Ia menatap Asmara lama, lalu tersenyum kecil, tapi ada sesuatu yang lebih lembut di sana, bukan lagi tatapan seorang pilot yang keras kepala, tapi seseorang yang perlahan kehilangan pertahanannya.

Tanpa banyak bicara, Ryan berjalan ke arah kios kecil di tepi pantai dan membeli dua es kelapa muda. Ia kembali menghampiri Asmara, menyerahkan satu padanya.

“Minum. Kamu kebanyakan ngomel, nanti dehidrasi.”

Asmara mendengus kecil tapi menerimanya juga. “Kamu ini, kalau nggak nyebelin kayaknya bukan Ryan namanya.”

Ryan terkekeh, duduk di bangku kayu sambil menatap laut. “Kalau aku nyebelin tapi bikin kamu senyum, aku nggak keberatan.”

Asmara membeku sejenak, lalu perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya.

“Jadi, ini yang kamu maksud nggak canggung?” katanya akhirnya.

Ryan menatapnya dari balik kacamata hitam, nada suaranya rendah tapi lembut.

“Belum. Nanti sore, aku ajak kamu ke tempat yang lebih tenang. Mungkin setelah itu… kamu baru mulai nyaman.”

Asmara mengernyit. “Tempat apa?”

Ryan hanya menjawab dengan satu senyum samar. “Rahasia.”

Asmara menghela napas pasrah, tapi dalam hatinya… ada getar hangat yang mulai tumbuh pelan-pelan, sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam hubungan pura-pura mereka.

...♡...

Menjelang sore, langit Bali mulai berwarna jingga keemasan. Cahaya matahari yang perlahan turun membiaskan warna hangat di permukaan laut, seolah seluruh dunia dibalut lembutnya senja.

Ryan mengendarai mobil sewaannya menembus jalanan kecil yang sepi. Asmara duduk di kursi penumpang, sesekali menatap ke arah luar jendela. Angin sore menerobos lewat celah kaca, membawa aroma laut dan tanah basah setelah sempat diguyur hujan ringan.

“Ryan, sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Asmara sambil melirik ke arahnya.

Ryan hanya tersenyum tipis. “Kamu terlalu banyak tanya, duduk manis aja. Lima menit lagi sampai.”

Asmara mendengus, tapi menurut saja. Ia mulai terbiasa dengan sifat Ryan yang sulit ditebak, dingin, tapi di baliknya ada sisi yang perlahan ia kenali.

Tak lama, mobil berhenti di sebuah tebing tinggi yang menghadap langsung ke laut. Tempat itu sepi, hanya suara ombak yang berdebur di bawah sana dan burung camar yang terbang rendah di atas air. Ryan turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Asmara.

“Turunlah,” katanya lembut.

Asmara menatap sekeliling dengan takjub. “Kamu… kenapa bawa aku ke sini?”

Ryan mengangguk. “Dulu waktu Daddy masih ada di Indonesia, tempat ini sering kami datangi. Aku pikir… kamu perlu lihat keindahan Bali dari sisi yang lebih tenang.”

Asmara berjalan pelan ke tepi pagar kayu, matanya menyapu pemandangan luas di depannya. “Tempat ini… luar biasa indah,” ucapnya lirih.

Ryan berdiri di sampingnya, menyandarkan diri di pagar. “Indah, tapi berbahaya juga. Dari atas sini kelihatan tenang, padahal ombak di bawah bisa sangat kuat.”

Asmara menatapnya sekilas. “Kamu ngomong kayak lagi nyindir aku ya.”

Ryan tersenyum tipis. “Mungkin.”

Keheningan sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara angin dan ombak yang berbicara. Lalu tiba-tiba Ryan menoleh, menatap Asmara dalam-dalam.

“Aku belum sempat berterima kasih… karena kamu sudah bantu mami waktu itu,” katanya pelan.

Asmara tersenyum lembut. “Itu bukan hal besar. Aku cuma kebetulan ada di sana.”

“Tapi bagi mami, itu berarti banyak,” ujar Ryan. Ia menunduk sedikit, suaranya lebih pelan. “Dan mungkin… bagi aku juga.”

Asmara menatapnya lama, ada sesuatu di dada yang terasa bergetar aneh. “Kamu selalu bilang semua ini pura-pura, tapi sekarang kamu terdengar sungguhan,” ucapnya setengah bercanda, tapi suaranya bergetar halus.

Ryan tertawa kecil, tapi matanya tetap menatapnya. “Mungkin aku mulai lupa bagian mana yang pura-pura.”

Asmara tertegun. Angin sore berhembus lembut, mengibaskan rambutnya.

Ryan mendekat sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kamu tahu, Asmara… aku bukan tipe orang yang mudah terbuka. Tapi entah kenapa, setiap kali sama kamu, semuanya terasa lebih ringan.”

Asmara menunduk, tak berani menatapnya terlalu lama. “Kamu ini pilot, Ryan. Kamu terbiasa terbang tinggi… aku cuma pramugari yang berusaha tetap berpijak.”

Ryan tersenyum samar. “Tapi kita ada di pesawat yang sama, kan?”

Asmara terdiam, bibirnya melengkung tipis tanpa sadar. Untuk pertama kalinya, ia tak tahu harus menanggapi dengan logika atau perasaan.

Matahari kini tenggelam sempurna, meninggalkan warna oranye lembut di langit. Mereka berdua hanya berdiri di sana, tanpa kata, menikmati senja dan keheningan yang terasa terlalu nyaman untuk disebut pura-pura.

----

Suasana resort begitu tenang, hanya terdengar suara lembut ombak yang bergulir di kejauhan.

Ryan dan Asmara berjalan berdampingan menuju lobby, tempat Mami Rosa sudah lebih dulu menunggu. Perempuan elegan itu tampak anggun dengan dress pastel, dan tatapan matanya segera melembut ketika melihat keduanya datang bersama.

“Kalian lama sekali,” ujar Rosa sambil tersenyum, nada suaranya menggoda namun lembut. “Mami pikir kalian sengaja mau tinggal lebih lama di sini.”

Asmara tersipu, buru-buru menunduk. “Maaf, Mami kami sempat mampir ke tebing. Ryan ingin menunjukkan pemandangan laut sore tadi.”

Rosa mengangguk kecil, menatap Ryan dengan tatapan yang penuh arti. “Ternyata kamu tahu juga cara membuat suasana jadi romantis.”

Ryan menanggapi dengan senyum samar. “Bukan begitu Mi, aki cuma ingin menikmati waktu di Bali.”

Namun dari cara Rosa memandang, jelas ia tak sepenuhnya percaya itu alasan utamanya.

Asmara di sampingnya tampak kikuk, mencoba tersenyum sopan sambil merapikan rambutnya.

Setelah check-out, mereka menuju bandara. Sopir resort membawakan koper-koper mereka ke bagasi mobil. Dalam perjalanan menuju bandara, suasana di dalam mobil terasa tenang. Mami Rosa duduk di kursi depan, sementara Ryan dan Asmara duduk di belakang.

Asmara bersandar di jendela, menatap kelap-kelip lampu jalanan yang memantul di kaca. Sesekali Ryan meliriknya dari samping. Wajah Asmara tampak lelah tapi tetap memancarkan ketenangan, dan entah kenapa, pemandangan itu membuat Ryan tak bisa berpaling terlalu lama.

“Mami senang sekali bisa ke Bali lagi,” kata Rosa tiba-tiba memecah keheningan. “Rasanya seperti liburan singkat yang hangat. Apalagi ada kamu dan Asmara yang menemani.”

Asmara tersenyum manis. “Senang sekali bisa ikut bersama Mami.”

“Terimakasih sayang.” ucap Rosa sambil menoleh ke belakang, matanya lembut. “Kamu sudah cukup membuat Mami merasa nyaman, Sayang.”

Asmara sedikit kaget mendengar kalimat itu, tapi akhirnya menunduk, malu-malu. “Sama-sama,Mami.”

Ryan hanya tersenyum kecil di sampingnya, matanya sekilas menatap Asmara yang kini memerah pipinya.

Setibanya di bandara, mereka langsung menuju ruang tunggu eksekutif. Penerbangan malam menuju Jakarta akan segera berangkat.

Asmara duduk tak jauh dari Ryan, sibuk membuka tablet kecil untuk mengecek jadwal terbang besok pagi ke Batam.

“Besok pagi jam tujuh, kita harus sudah siap,” katanya tanpa menoleh.

Ryan menangguk sambil menyilangkan tangan di dada. “Kamu yakin masih kuat setelah perjalanan hari ini?”

Asmara menoleh, tersenyum kecil. “Aku sudah terbiasa dengan ritme penerbangan, Kapten.”

Nada bicaranya setengah menggoda, membuat Ryan mengangkat alis dengan tatapan geli. “Sekarang kamu mulai berani menggoda, ya?”

Asmara cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk dengan tabletnya. “Aku cuma menjawab pertanyaan.”

Rosa yang duduk agak jauh hanya memandangi keduanya dengan senyum samar, ada sesuatu di antara mereka yang tidak bisa disembunyikan, dan naluri seorang ibu menangkapnya dengan jelas.

Tak lama kemudian, pengumuman keberangkatan terdengar. Mereka pun beranjak menuju gate.

Ryan berjalan di depan, menuntun Mami Rosa, sementara Asmara menarik kopernya di belakang.

Dan sebelum benar-benar naik ke pesawat, Ryan menoleh sekilas ke arah Asmara, menatapnya dalam diam, lalu tersenyum tipis.

Tatapan itu membuat dada Asmara hangat, entah kenapa, malam itu terasa lebih panjang, seolah langit ikut menyimpan sesuatu yang baru di antara mereka.

...✈️...

...✈️...

...✈️...

^^^Bersambung...^^^

1
Siti Naimah
menyimak dulu...kelihatannya bakal seru nih
Marini Suhendar
❤❤❤...lanjut thor
Nursina
semangat lanjutkan👍
Nursina
karya yg menarik semangat
Mericy Setyaningrum
wah Dubai Im in love
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!