"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beban Hidupnya
Hari ini, Paginya agak berbeda dari pagi kemarin.
Udara di ruang makan terasa jauh lebih berat, bahkan aroma kopi hitam yang biasa menenangkan kini justru menebarkan dingin yang aneh.
Arsen ada di ujung meja makan, sudah duduk dengan pakaian rapi, ya sekalipun hanya mengenakan kaos, auranya selalu aur-auran. Wajahnya teduh, tapi kali ini tanpa senyum. Tatapan matanya tak pernah benar-benar terarah pada siapa pun, termasuk pada perempuan yang sejak subuh sibuk menyiapkan sarapan di dapur.
Perempuan itu mendekat dengan langkah pelan, membawa secangkir kopi hitam kesukaannya. “Ini, Pak. Kopinya seperti biasa, tanpa gula,” ucapnya hati-hati, sedikit menunduk untuk melihat wajah suaminya.
Biasanya, Arsen akan menatapnya, mengulas senyum kecil sambil mengucapkan terima kasih. Tapi pagi ini, yang terdengar hanya suara rendah dan datar.
“Terima kasih.” Tanpa menoleh, tanpa ekspresi, sikapnya benar-benar sangat dingin dan menyebalkan.
Cangkir itu diterima begitu saja, seolah antara mereka kini ada jarak yang tidak terlihat namun begitu nyata adanya.
“Apa sih, kenapa tiba-tiba ketus kayak gitu,” gerutu Luna. Di dekat orangnya tapi Arsen tetap tidak perduli.
Dari arah dapur, Budhe Ratna sedang menata piring sambil melirik ke arah meja makan.
“Eh, Pak... sampeyan lihat nggak, kok Arsen sama Luna keliatannya canggung banget, ya? Perasaan kemarin masih aman deh.”
Pakdhe hanya menggaruk kepala. “Lha iya, aku juga heran. Apa Mungkin gara-gara aku, Bu?”
“Gara-gara sampeyan? Maksude?”
Pria paruh baya itu menunduk, dia ragu dan juga takut untuk mengatakan hal ini. Tapi, kalau tidak bilang, takutnya malah jadi masalah di kemudian hari.
“Tadi subuh, aku mau nyobain mobilnya majikan Arsen itu loh, yang parkir di depan. Ealah, malah nyerempet tembok. Lecet dikit.” Ia meringis takut.
Mendengar hal tersebut, Wajah Budhe langsung berubah. “Astaghfirullah, Pak! Mobil mewah kayak gitu sampeyan nyetir? Mau mati sampeyan?!”
“Lha aku cuma penasaran aja, Bu, mesine halus banget,” sahutnya lirih tapi tetap dengan wajah menyesal.
“Astagfirullah, pantes aja Arsen murung dari tadi. Aduh, aku kudu ngomong apa iki.” ketika Bude sibuk mencari solusi, Pakde justru tampak ketakutan dan hanya bisa memainkan jari jemarinya. Sampai akhirnya ....
Budhe memutuskan untuk membawa sepiring pisang goreng panas, bergegas keluar menuju meja makan. “Nak Arsen,” panggilnya lembut sambil menyodorkan piring. Padahal , biasanya cara bicara Budhe tidak seperti ini. “Ini, Bude bawain pisang goreng best seller buatan saya sendiri. Cobain, enak banget lho, Le.”
Luna, yang baru saja duduk di sebrang Arsen, buru-buru menimpali sambil melirik suaminya. “Budhe, Mas Arsen nggak pernah sarapan berat kayak gitu. Beliau cuma minum kopi pait sama air putih aja.”
Namun tanpa diduga, Arsen meraih sepotong pisang goreng itu. Ia menggigitnya perlahan dan mengunyah tenang seolah tak terjadi apa-apa.
Melihat itu, Budhe tersenyum lebar. “Lha, kan, cocok, to, Mas?”
Luna terpaku, Mulutnya sedikit terbuka, tak percaya melihat pria itu menikmati makanan yang bahkan tak pernah ia sentuh sebelumnya. Tapi Arsen tetap tak menatapnya, tak memberi ruang bagi Luna untuk membaca pikirannya.
Pada akhirnya Luna mendengus pelan, ia menunduk, menggenggam ujung roknya sangat kuat. Dia tidak mengerti Kenapa Arsen bertingkah seperti anak kecil, padahal, dia tahu betul kebiasaan Arsen selama empat tahun terakhir.
“Awas kalau sakit perut, tak cincang tanganmu itu, Pak.”
** **
Beberapa saat kemudian ....
Di luar rumah, Pakdhe tengah berdiri kikuk di depan mobil yang masih meninggalkan jejak lecet di sisi kanan. Ketika Arsen keluar, pria tua itu buru-buru menyapanya.
“Le Pakde minta maaf banget soal mobil itu. Pakde nggak sengaja, beneran. Aduh, kalau gara-gara pakdhe kamu sampai dipecat, pakdhe tanggung jawab deh. Mobil itu mobilnya Kiai, kan? Nanti, biar Pakde yang minta maaf.”
Arsen hanya menatap tanpa ekspresi, lalu mengulurkan tangannya meminta kunci mobil.
“Ini, Le. Sekali lagi, maaf, ya.”
“Mobil puluhan M kayak gitu, mana ada Kiai yang punya. Aduh, Pakdhe ini bikin pusing aja!” Luna masih saja menggerutu.
“Saya antar kamu!” kata Arsen datar.
“Nggak usah. Saya bisa naik taksi.” Luna menjawab cepat dan ketus.
Sebelum perdebatan memanas, Pakdhe buru-buru membuka pintu mobil. “Sudah-sudah! Luna, ayo... biar diantar Mas Arsen. Orang baik harus dibales kebaikannya. Enggak baik nolak rejeki. Mumpung mobilnya belum dibalikin.”
Luna mendengus, tapi akhirnya menurut. Ia masuk ke mobil dengan wajah menahan kesal, sementara Arsen hanya diam. Dan berjalan memutar mengitari mobilnya.
Sepanjang perjalanan, Tak ada musik, tak ada percakapan. Hanya suara mobil yang melaju di jalan.
Luna menatap keluar jendela, sementara Arsen fokus pada jalan.
“Ke rumah sakit jiwa,” ucap Luna pelan tanpa menatapnya. Dia benar-benar kesal karena Arsen yang seperti itu.
Pria itu pun tidak banyak bertanya, dia hanya mengikuti kemauan Luna, karena entah kenapa, dia merasa dia harus melakukannya.
Begitu mobil berhenti di depan gerbang rumah sakit, Arsen tidak langsung pergi. Ia memarkirkan kendaraan dan keluar, mengikuti Luna dari belakang tanpa suara.
Beberapa lorong mereka lewati, dinding berwarna pastel, aroma yang khas cukup menyengat. Suara pasien bergumam pelan di kejauhan.
Dan kemudian, langkah Luna berhenti di depan taman kecil di sisi kanan.
Di sana, duduk seorang perempuan berhijab abu-abu muda. Wajahnya cantik, tapi tatapannya kosong. Ia sedang membaca buku ... terbalik.
“Bu,” panggil Luna dengan suara bergetar penuh rindu. “Luna datang lagi, Bu. Lihat, aku bawain sarapan.”
Arsen berhenti beberapa langkah di belakang, matanya menatap tak percaya ke arah sana. Ibunya Luna? Jadi, selama ini dia di sini?
Meski sudah dekat, Arsen hanya bisa memperhatikan, Luna membuka kotak bekal, hendak menyuapkan nasi uduk pada ibunya.
“Bu, makan ya. Ini nasi kesukaan Ibu.”
Perempuan itu tersenyum samar, lalu tiba-tiba menatap Luna lekat. “Kamu... Astaghfirullah ... auratmu kelihatan, Nak.” Tangannya gemetar melepas kerudung dari kepala sendiri, lalu memakaikannya ke kepala Luna.
Sontak saja, hal itu membuat Luna tertegun. Tangannya yang semula memegang sendok berhenti di udara.
“Kamu cantik , Mbak. Tapi jangan begini. Laki-laki jahat, mereka suka kalau perempuan cantik membuka aurat.”
Kepala Luna tertunduk, dia tidak bisa berkata-kata, untuk menjawab saja tidak mampu.
Setelah itu, mereka diam cukup lama. Hanya suara burung di taman yang terdengar.
Beberapa saat setelah itu, Luna tersenyum getir. “Ibu benar, Bu. Semua laki-laki jahat.”
“Aditya, dia juga jahat. Tapi aku sudah menikah sekarang. Suamiku, namanya Arsen. Dia baik, kok, Bu. Meskipun ya emang nyebelin, tapi ibu tenang aja, mulai sekarang, aku enggak bakal jatuh cinta sembarangan sama cowok. Aku juga enggak cinta sama Pak Arsen, Bu. Dia udah tua, mana suka maksa suka seenaknya. Yang paling bikin kesel, dia itu kayak musang birahi.”
Ibunya hanya tertawa kecil, memandangi pepohonan yang bergoyang. “Burung itu terbang, ya, indah sekali.” Tidak ada tanggapan lain. Sejak tadi, Luna berbicara sendirian. Memang, keduanya benar-benar seperti orang gila, yang satu gila sungguhan, yang satu gila karena kesal sebab dia diabaikan.
Perempuan itu menatap ibunya dengan air mata yang hampir tumpah. Tangannya gemetar menggenggam tangan sang ibu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja.
Selama ini dia hidup tanpa pelukan hangat seorang ibu, dia juga tidak pernah dituntun dan digendong oleh sosok yang namanya ayah. Namun, Aluna selalu bicara pada dirinya sendiri 'tenang, ini hanya dunia' semuanya terlihat tidak adil, dan itu hanya dari kacamatanya saja.
Dari kejauhan, Arsen berdiri diam.
Matanya menatap pemandangan itu lama sekali, Luna yang tersenyum sambil menahan tangis, ibunya yang hilang di antara kabut pikirannya sendiri.
Dan saat itu, entah kenapa, Arsen merasa ada sesuatu di dadanya yang menghangat dan sakit sekaligus.
Ia baru benar-benar tahu, bahwa perempuan yang selama ini ia kira kuat tanpa retak... ternyata memikul dunia yang lebih berat daripada yang bisa ia bayangkan.
Tapi kenapa? Kenapa Luna tidak mau bersandar padanya? Kenapa Luna keras kepala dan terus mengatakan hal-hal yang juga membuat dada Arsen sakit di waktu bersamaan.
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Luna? Kamu mau Aditya?”
jadi maksudnya apa ya?????
berteman boleh royal bego mah jangan...😄😄😄🤭