Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Kepala Desa Baru
Anul dengan santai duduk pada sebuah kursi di tengah podium. Matanya sesekali menyapu keramaian yang ada dihadapannya.
Ruangan Aula sederhana di desa Lembah Tiga Gunung, hari ini begitu ramai dan riuh dengan suara dari ratusan penduduk desa.
Beberapa meja panjang tersusun rapi dengan orang-orang yang duduk di setiap sisinya. Makanan dan minuman terbaik di desa juga terhidang di atas meja-meja itu.
Setelah beberapa rentetan acara formal, tibalah saatnya untuk seluruh orang yang hadir menyantap hidangan yang menggugah selera di hadapan mereka.
Aroma gurih beberapa jenis daging panggang menggoda hidung setiap orang yang mengendusnya.
Berbagai jenis sop dan gulai yang kaya rempah juga tidak mau kalah untuk menebarkan wewangian khas ke seluruh ruangan, menyebabkan air liur mereka yang hadir hampir menetes.
Minuman yang terbuat dari sari buah-buahan hutan ataupun dari hasil kebun penduduk desa juga ikut menghiasi meja-meja jamuan itu. Bau harum yang segar dan manis semakin membuat seseorang semakin sulit untuk menahannya untuk tidak menetes.
Tapi untungnya, semua yang hadir masih bisa menahan itu. Jika tidak, Aula ini akan menjadi kolam berenang yang terbentuk dari air liur ratusan orang.
Selama acara-acara formal sebelumnya berlangsung, semua peserta acara pelantikan kepala desa ini sebenarnya tidak ada yang benar-benar memperhatikan. Mereka datang bukan untuk mengikuti acara-acara membosankan itu, melainkan untuk makan sepuasnya setelah acara formal itu berlalu.
Jangankan para penduduk desa, Anul sendiri yang merupakan alasan diadakannya acara ini, juga sebenarnya sangat malas dengan formalitas-formalitas membosankan itu.
Dirinya yang hanya tahu caranya mencangkul, menyabit, dan pekerjaan kasar lainnya, tidak terbiasa dengan etiket-etiket yang baginya sangat kurang kerjaan. Tapi untuk menghargai kebiasaan selama ratusan tahun, ia terpaksa untuk menahannya.
Biro duduk di salah satu meja dengan Arum dan Paman Hendar di dekatnya. Mereka terus berbincang sambil menikmati hidangan secara perlahan—Biro tentu saja tidak makan dengan perlahan.
"Hey... Bisakah kau makan dengan perlahan?" gerutu Arum kepada Biro.
Di bagian lain tampak pemandangan yang sama, dengan orang-orang yang saling bercengkrama sambil menyantap makanan dengan santai.
Namun tiba-tiba tatapan Anul menjadi kosong. Ia merasa sedih karena beberapa wajah yang selama ini sangat dekat dengannya tidak bisa menghadiri acara ini—terutama Mak Ijah.
"Mak Ijah..." gumamnya lirih dalam hati.
Setelah semua hidangan di meja habis, acara besar ini langsung ditutup dengan beberapa atraksi kecil. Langit malam tampak begitu cerah saat semua penduduk keluar dari aula desa.
Bulan purnama yang bulat sempurna menggantung cantik menghiasi langit yang cerah ditemani bintang-bintang yang terus bekerlap-kerlip menambah indah pemandangan malam itu. Aula saat ini sudah mulai kosong, hanya menyisakan Anul, Pak Ghandi, Biro dan Arum beserta puluhan penduduk yang bertugas membersihkan Aula setelah acara berakhir.
"Anul, selamat karena sudah menjadi kepala desa." Arum mengucapkan selamat dengan pipi sedikit merona.
"Aduduh, sungguh malangnya seorang putri jatuh cinta kepada seonggok batu yang tidak punya perasaan," cibir Biro sebelum Anul sempat membalas ucapan selamat dari Arum.
Melihat hal ini Pak Ghandi dengan cepat menarik telinga anaknya itu dan menyeretnya meninggalkan Anul dan Arum di tengah Aula.
Para penduduk yang bertugas membersihkan Aula juga sudah pulang setelah menyelesaikan tugas mereka.
Saat ini yang tersisa hanyalah mereka berdua ditengah Aula yang cukup luas itu.
"Maaf.." setelah lama hening, hanya kata itu yang keluar dari mulut Anul.
Arum yang mendengar itu langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Anul.
Ia mengerti jika Anul saat ini masih merasa sedikit bersalah karena sudah membuat kakeknya—Jaya, menjadi lumpuh dan mungkin tidak bisa beranjak dari tempat tidur selama sisa hidupnya.
Arum sendiri sebenarnya juga hampir menjadi korban ketamakan kakeknya itu. Untung saja Ia berada tepat disebelah Anul saat nyawanya hampir melayang.
Jika Anul tidak mengeluarkan badai mental untuk melindungi dirinya sendiri, Arum mungkin sudah menjadi tubuh tanpa kepala.
Walaupun Anul secara tidak sengaja menyelamatkan dirinya karena jangkauan badai mental yang cukup luas, tetap saja Anul merupakan penyelamat hidup bagi Arum.
Jika disuruh memilih antara Anul dan Kakeknya, saat ini Arum dengan mantap akan memilih Anul. Ia bahkan saat ini bisa dikatakan sama sekali tidak mempedulikan kakeknya yang kejam itu.
"Kau tidak perlu minta maaf, aku justru berterimakasih. Orang tua tamak seperti itu tidak pantas menjadi kakekku," timpal Arum lembut mencoba menenangkan Anul.
Arum lalu mengambil tangan Anul dan menggenggamnya dengan erat. Pada wajahnya yang seputih salju muncul sedikit rona berwarna pink. Matanya yang sejernih embun di pagi hari menatap mata Anul dengan lembut. Senyum di bibir merahnya yang tipis bagai kelopak bunga mawar yang baru saja mekar.
Pada saat ini ada perasaan yang tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata muncul dalam diri Anul, perasaan yang baru pertama ia rasakan.
Jantungnya berdebar kencang, darahnya mendesir dan tubuhnya terasa agak "gerah".
Malam ini, untuk pertama kalinya Ia menyadari kecantikan Arum yang ada di hadapannya.
"Arum, aku baru sadar bahwa ternyata kau sangat cantik."
Arum melepaskan tangan Anul dengan tiba-tiba—wajahnya cemberut imut. Tanpa berkata-kata Arum pergi meninggalkan Anul yang nampak kebingungan.
"Dasar pria bodoh, menggombal pun kau tidak becus," gerutu Arum pelan sambil terus berjalan dengan sedikit menghentakkan kakinya.
Anul hanya terpaku tidak menyadari kesalahannya, menurutnya apa yang dia katakan adalah hal yang benar.
Tapi Anul tidak sadar bahwa kata 'baru sadar' yang ia ucapkan merupakan sebuah penekanan bahwa selama ini Arum bukanlah wanita cantik di matanya.
Bagi seorang wanita, hal kecil seperti itu bisa merubah moodnya secara signifikan. Jalan Anul untuk memahami hati seorang wanita sepertinya masih sangat panjang.
Anul segera keluar dari Aula tidak lama setelah Arum meninggalkannya dengan mendadak.
Berjalan sendiri di tengah malam, membuat beberapa pemikiran muncul di kepalanya—terutama tentang cincin warisan Bagjo.
Walaupun Pak Ghandi sudah mengatakan bahwa tidak ada yang istimewa dari ketiga cincin itu, dengan latar belakang dan asal-usul yang dimiliki mereka, tentu saja akan membuat rasa penasaran siapapun akan membuncah.
Setidaknya, hanya untuk melihat secara langsung bagaimana bentuk dari ketiga cincin yang diwariskan oleh seorang pendekar sakti legendaris. Setelah memikirkannya berulang kali, Anul memutuskan untuk mendatangi Pak Ghandi esok pagi dan meminta untuk diantarkan ke tempat di mana ketiga cincin itu berada.
Langkah kaki Anul terus mengayun, tidak terasa ia sudah sampai di rumah barunya.
Sebagai Kepala Desa, ia tentu mendapatkan tempat tinggal baru yang jauh lebih besar dari pondok mungilnya yang lama. Gerbang rumahnya saja sudah cukup megah—membuat orang yang melihatnya berdecak kagum.
Gerbang itu terbuat dari kayu hitam berukir halus dengan atap melengkung khas desa Lembah Tiga Gunung. Begitu melewatinya, sebuah halaman luas terbentang, dikelilingi pagar bambu tinggi yang dipadu dengan batu-batu besar yang disusun rapi.
Di setiap sudut halaman berdiri gazebo kecil dengan ukiran cantik, tempat orang bisa duduk bersantai menikmati udara malam.
Sebuah pohon mangga raksasa menjulang tepat di tengah halaman. Batangnya besar dan berurat, akar-akar yang menjalar seakan menjadi penjaga alami bagi rumah itu.
Batu-batu pipih yang disusun melingkari pohon membuatnya tampak anggun, sekaligus menghadirkan kesan sejuk dan damai. Saat angin berembus, dedaunan pohon itu bergemerisik, seakan menyanyikan lagu selamat datang bagi sang kepala desa yang baru.
Dari halaman, tampak jelas bangunan utama: sebuah rumah panggung megah dari kayu besi berumur seribu tahun yang berkilau keemasan bila terkena cahaya bulan.
Pilar-pilarnya menjulang tinggi, tegak bagai penjaga abadi. Tangga kayu yang lebar menghantarkan langkah menuju beranda luas, dihiasi lampu-lampu minyak yang berkelip lembut. Rumah itu bukan hanya sekadar tempat tinggal—ia adalah simbol kehormatan, warisan kebijaksanaan dan kekuatan yang sudah berakar selama ratusan tahun di desa Lembah Tiga Gunung.
Anul segera memasuki rumah barunya itu untuk beristirahat melepaskan penat karena mengikuti acara formal yang membosankan.