NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:362
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 17

Sejak pertemuan itu, Jenia mulai sering bertemu dengan Rani sepulang kerja. Mereka berdiskusi di kafe, meninjau tren fashion, hingga membuat rencana konsep butik baru. Semangat Jenia kembali membara, seolah ia menemukan dirinya yang dulu sempat hilang.

Suatu malam, Rani menunjukkan beberapa sketsa desain.

“Kalau butik ini jadi, aku ingin kita punya ciri khas: simple, elegan, tapi tetap affordable. Kamu kan pinter banget bikin desain casual chic, Jen. Aku pengen kamu pegang bagian itu.”

Jenia menatap sketsa-sketsa itu dengan mata berbinar. Tangannya refleks mengambil pensil, lalu menambahkan detail pada salah satu gaun.

“Kalau bagian pinggangnya dibuat sedikit ruffle, siluetnya jadi lebih manis tanpa terkesan berat.” Rani terkekeh. “Lihat? Aku nggak salah pilih partner.”

Sementara itu, di kantor, perubahan Jenia makin terlihat. Ia lebih ceria, penuh ide, bahkan aura kepercayaan dirinya semakin kuat. Rekan-rekannya menyadari hal itu, termasuk Rehan.

Rehan sempat bertanya langsung.

“Jenia, kamu lagi sibuk sesuatu ya belakangan ini? Wajahmu kelihatan bersinar terus.”

Jenia tersenyum kecil, berusaha merendah.

“Ada aja, Han. Aku lagi coba hal baru di luar kerjaan.”

“Bisnis?” tebak Rehan.

Jenia hanya mengangguk pelan.

Rehan ikut bangga, tapi jauh di dalam hatinya muncul kecemasan. Kalau Jenia terlalu sibuk dengan dunianya, apakah aku masih punya tempat di hatinya?

Bastian, di sisi lain, lebih gelisah. Ia memperhatikan diam-diam dari jauh.

Jenia… apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa sekarang terlihat semakin jauh dari jangkauanku?

Saat rapat mingguan, Bastian ijut rapat bahkan sempat salah fokus ketika Jenia mempresentasikan ide divisi. Ia terpaku pada sorot mata Jenia yang penuh percaya diri.

Di akhir rapat, tanpa sadar Bastian menahan Jenia. “Jenia…” suaranya berat. Jenia menoleh singkat. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Bastian menatapnya beberapa detik, tapi akhirnya hanya berkata,

“Tidak. Kamu boleh kembali.”

Namun dalam hati, ia sadar: Aku sedang kehilangan sesuatu yang sangat berarti.

Malam itu, Jenia duduk di meja belajarnya. Di depannya, ada dua map: satu berisi draft kerja sama butik bersama Rani, dan satu lagi berisi kontrak kerja kantornya.

Ia menghela napas panjang.

Kalau aku tetap di sini, aku akan terus terikat… terus bertemu Bastian, terus diingatkan pada masa lalu. Tapi kalau aku memilih bisnis ini, aku bisa benar-benar berdiri dengan kaki sendiri.

Tangannya sedikit bergetar saat mulai menulis surat pengunduran diri. Setiap kata terasa seperti sebuah langkah baru, sekaligus perpisahan.

“Dengan penuh rasa hormat, saya, Jenia Pradipta Prameswari, mengajukan pengunduran diri…”

Matanya berkaca-kaca, namun senyum kecil terukir di wajahnya. Bukan karena sedih, melainkan lega.

Keesokan harinya, Jenia memberanikan diri menemui kepala divisi.

“Pak, saya ingin menyerahkan surat ini.”

Sang kepala divisi menatap heran. “Kamu serius, Jenia? Kamu salah satu karyawan terbaik di tim.”

Jenia mengangguk mantap.

“Terima kasih atas semua kesempatan yang sudah diberikan. Tapi saya ingin mengejar hal yang selama ini menjadi impian saya.”

Kabar pengunduran diri Jenia cepat menyebar. Rehan segera datang menemuinya.

“Jenia! Kenapa mendadak sekali? Kalau ini karena Bastian atau karena masalah pribadi, kamu bisa ceritakan ke aku.”

Jenia menggeleng lembut.

“Bukan, Han. Aku ingin membangun sesuatu untuk diriku sendiri. Aku ingin hidupku punya arah baru.”

Mata Rehan melembut, tapi hatinya perih. Apa pun alasannya… aku hanya tidak ingin kehilanganmu.

Di ruang kerjanya, Bastian membaca pesan singkat dari seseorang tentang pengunduran diri Jenia. Tangannya mengepal. Jenia… kamu benar-benar pergi?

Tanpa pikir panjang, ia bergegas meninggalkan ruangannya, mencari Jenia.

Namun saat ia sampai di lobby kantor yang dilihat hanyalah punggung Jenia yang semakin menjauh, melangkah dengan senyum tenang dan hati yang mantap.

Bastian hanya bisa berdiri terpaku.

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kehilangan.

Hari itu, Rani datang dengan wajah berseri-seri ke apartemen Jenia. Ia membawa sebuah dokumen tebal dengan logo perusahaan fashion internasional.

“Jen! Aku baru saja dapat kabar investor dari Jerman tertarik dengan konsep butik kita. Mereka mau kita ikut program inkubasi bisnis di sana selama setahun!” ucap Rani antusias.

Jenia terdiam. Hatinya berdebar kencang.

“Jerman?” ia mengulang pelan, seakan tak percaya.

Rani mengangguk mantap. “Iya. Ini kesempatan emas, Jen. Kalau kita berhasil, brand kita bisa go international.”

Malam itu, Jenia termenung di balkon apartemennya. Angin malam berembus lembut, membawa pikirannya melayang jauh.

Jerman… aku tidak pernah membayangkan akan sejauh itu. Tapi mungkin inilah waktunya. Aku harus benar-benar mulai hidup baru, tanpa bayangan masa lalu, tanpa hati yang terus tersangkut pada seseorang yang bahkan tak pernah memilihku.

Pikirannya melayang pada Bastian. Wajah itu masih jelas di benaknya, bersama semua luka dan kenangan yang pernah ia simpan. Namun kali ini, ia menguatkan diri.

“Aku harus berani. Aku harus memilih diriku sendiri,” bisiknya pada langit malam.

Keesokan harinya, Jenia resmi menandatangani kontrak dengan investor Jerman bersama Rani.

Dalam hati ia berkata, Inilah jalanku. Aku akan fokus membangun bisnis. Bukan lagi soal siapa yang mencintaiku, tapi soal siapa aku dan apa yang bisa aku capai.

Kabar keberangkatan Jenia ke Jerman cepat menyebar. Rehan tampak murung saat mendengar kabar itu.

“Jadi… kamu benar-benar akan pergi?” tanyanya pelan.

Jenia menatap sahabat yang selalu setia itu dengan senyum lembut.

“Iya, Han. Aku butuh ruang. Aku ingin mencari jati diriku di sana.”

Rehan menunduk, menahan rasa yang tak pernah sempat ia ungkap.

Sementara itu, Bastian menerima berita itu dari sekretarisnya.

“Pak… karyawan lama, Jenia, katanya akan pindah ke Jerman untuk mengurus bisnis fashion,” lapor sang sekretaris.

Bastian terdiam. Dadanya seperti diremas.

“Jerman…?” gumamnya.

Ia berdiri, berjalan ke jendela, menatap keluar kota yang ramai. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terlambat.

Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Frankfurt. Udara dingin menusuk kulit, berbeda jauh dari hangatnya Jakarta. Jenia menarik napas panjang, mencoba meresapi kenyataan bahwa inilah langkah awal dari hidup barunya.

Rani menepuk bahunya, “Selamat datang di Jerman, partner. Kita akan memulai segalanya dari sini.”

Jenia tersenyum, meski dalam hati masih ada keraguan. Namun ia berusaha yakin. Aku harus kuat. Aku harus bisa membuktikan diri.

Hari-hari pertama di Berlin penuh dengan jadwal padat. Mereka harus menghadiri pelatihan bisnis, bertemu investor, hingga mempersiapkan koleksi pertama untuk dipamerkan.

Setiap malam, Jenia selalu pulang dengan tubuh lelah, tapi hatinya justru penuh semangat. Saat ia berdiri di depan cermin melihat sketsa desainnya dipajang di studio kecil mereka, matanya berkaca-kaca.

“Ini… mimpiku. Akhirnya aku wujudkan,” ucapnya lirih.

Namun perjalanan itu tidak mudah. Bahasa menjadi hambatan, cuaca dingin membuat tubuh cepat lelah, bahkan beberapa kali sketsa desainnya ditolak oleh mentor program karena dianggap belum sesuai dengan tren pasar Eropa.

Suatu malam, Jenia menangis diam-diam di kamarnya. Ia merasa kecil, merasa asing, dan sempat ingin menyerah.

Tapi Rani masuk sambil membawa dua cangkir cokelat panas.

“Jen, jangan lupa… kita sudah sejauh ini. Kalau kamu menyerah sekarang, semua yang kamu tinggalkan di Indonesia akan sia-sia. Aku percaya kamu bisa.” Kata-kata itu membuat Jenia kembali kuat.

Beberapa bulan kemudian, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Salah satu desain gaunnya terpilih untuk dipamerkan di sebuah fashion show lokal di Berlin. Malam itu, ketika model berjalan di atas runway dengan mengenakan gaun putih hasil karyanya, Jenia menutup mulutnya, menahan haru.

“Ternyata aku bisa…” bisiknya, air mata bahagia menetes di pipi.

Sementara itu, jauh di Jakarta, Bastian memandang foto fashion show itu di layar laptopnya. Ia mendapatkan kiriman tautan berita dari seorang rekan bisnis.

Wajah Jenia terlihat berseri-seri, penuh percaya diri, berbeda jauh dari gadis pemalu yang dulu ia kenal di kantor.

Bastian mendesah panjang, suaranya nyaris patah,

“Jenia… kamu semakin jauh dariku.”

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!