Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Kembali Hadir
Keesokan harinya, Diajeng masuk sekolah seperti biasanya. Dia Adalah guru yang disiplin, selalu berusaha datang tepat waktu bahkan kurang Dari jam masuk sekolah.
"Assalamu'alaikum, Diajeng." sapanya ramah di depan meja Diajeng. Seketika Diajeng terkejut dan menoleh ke sumber suara.
"Adnan?" gumamnya tanpa sadar. Dia melihat wajah Adnan yang tampan dan rupawan, sedang menyuguhkan senyum mautnya kepada Diajeng, seperti hari-hari sebelumnya, saat sebelum mereka berpisah.
Ternyata hari ini adalah hari pertama Adnan mulai masuk sekolah, pasca menikah. Hal itu membuat Diajeng menjadi salah tingkah dan bingung harus berbuat apa. Karena baginya sepekan tanpa Adnan itu bisa membuatnya leluasa dalam beraktivitas disekolahan. Dan tentunya membuat hatinya berhasil move on dari rasa yang pernah ada. Namun hari ini... tiba-tiba rasa itu ingin kembali hadir.
"Sekamat pagi pak Adnan." sapanya sambil menundukkan pandangannya dan bersikap formal.
Adnan melihat perubahan sikap Diajeng yang tiba-tiba, membuatnya teringat, bahwa wanita cantik di hadapannya tak lebih dari sekedar rekan kerja.
"Apa kabar?" sapanya lagi.
"Alhamdulillah, baik pak."
"Ada laporan yang harus saya tandatangani?" tawar Adnan.
"Ada pak, semua sudah saya letakkan di meja bapak." jawab Diajeng.
"Baik, Terimakasih ya. Ehm, Terimakasih juga suda mewakili saya selama saya cuti." ungkapnya tulus.
"Sama-sama pak." jawab Diajeng masih berusaha menata hatinya supaya tidak terbawa perasaan.
Adnan kemudian melangkah menuju meja kerjanya. Di lain sisi Diajeng menarik napas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Diajeng berusaha kembali mengubur rasa yang pernah ada, namun mengapa tatapan tadi membuatnya kembali merasakan rasa yang pernah ada? Apakah dia gagal move on? Oh, tidak boleh, itu tidak boleh terjadi, begitu pikir Diajeng, tersebab, dia tak ingin menjadi pihak ketiga dalam sebuah hubungan. Diajeng pun terus beristighfar.
Bel tanda masuk kelas berbunyi, Diajeng lega mendengarnya, karena dengan begitu, dia leluasa untuk meninggalkan ruang guru yang kini dia rasa tak lagi terasa nyaman.
💜💜💜💜💜💜💜💜
Dua bulan berlalu, Diajeng dan Adnan bersikap dingin seperti rekan kerja yang sedang ada masalah. Dan mulai hari ini, sepertinya interaksi mereka akan lebih intens lagi, karena sebuah pengumuman dari atasan bahwa SMA Veteran harus mengikuti aturan pemerintah berupa Akreditasi. Memang, lima tahun yang lalu, mereka sudah melakukan akreditasi, namun tahun ini mereka harus kembali mengurus administrasi untuk perpanjangan akreditasi sekolah. Mau tidak mau, akhirnya Diajeng dan Adnan jadi sering berinteraksi.
"Sepertinya yang ini bu." jawab Adnan tatkala mereka sedang mencari file kurikulum yang seharusnya mereka rekap. Adnan berdiri di belakang Diajeng yang masih dengan posisi duduknya menghadap monitor.
"B...ba...Baik pak." jawab gugup Diajeng. Namun, sesaat kemudian Diajeng merasakan aroma parfum Adnan yang begitu dia rindukan, kembali hadir menyapa hatinya. Diajeng terpaku di depan layar monitor. Awalnya Adnan tidak menyadari akan hal itu, tetapi saat melihat perubahan sikap Diajeng, dia tersadar, bahwa jarak antara dirinya dan Diajeng terlalu dekat.
"Maaf." kata Adnan sambil mengambil jarak.
"Bisa langsung dikirim ke saya ya." pinta Adnan.
"Baik pak." jawab Diajeng.
Sore itu, adalah hari yang cukup panjang bagi Diajeng, karena seharian berkutat dengan kurikulum dan beberapa laporan penilaian yang dia minta dari para guru. Diajeng akan pulang sore ini, melihat guru yang lain sudah pada pulang. Diajeng melangkah menuju parkiran mobilnya, hingga panggilan itu membuatnya terhenti sejenak.
"Bu Ajeng." sapa Adnan yang tak lain adalah kepala sekolah di sana.
"Ya pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Diajeng formal.
"Ehm, bisa kita ngobrol dulu?" tanya Adnan.
Diajeng melihat ke sekitar, sepi. Sore ini para guru sudah pulang, dan tinggal beberapa siswa saja yang masih menetap di sekolahan, termasuk Hari, yang tak pernah absen untuk berlatih band di ruang musik.
"Ehm, ya." jawab Diajeng ragu.
"Bagaimana perasaanmu semenjak aku pergi, Jeng?" kali ini Adnan berbahasa nonformal. Dia menatap intens lawan bicaranya.
"Apa maksud anda?" tanya Diajeng berusaha tetap formal.
"Aku masih belum bisa melupakanmu, Jeng." kata Adnan dengan wajah iba, membuat Diajeng terbelalak dan tak sengaja menoleh ke wajah Adnan.
"Ma maaf pak, saya permisi." Diajeng tak ingin melanjutkan pembicaraan itu lagi, dia berusaha menghindar, tetapi Adnan mencekal lengan Diajeng, melarangnya pergi.
Di suasana yang sepi, membuat Diajeng justru merasa takut menghadapi mantan kekasihnya. Dia tak ingin menjadikan kedekatan ini menjadi salah paham bagi keluarga barunya Adnan, sehingga Diajeng berusaha menjaga jarak.
"Maaf pak, tolong lepaskan saya, saya harus segera pulang." kata Diajeng.
"Tidak!" jawan Adnan lantang.
"Aku ingin kamu jujur sama aku. Kamu masih ada rasa sama aku 'kan?" tanya Adnan.
"Maaf pak, tidak." jawab Diajeng berusaha melepaskan tangannya.
"Tapi aku masih." jawab Adnan bergetar. Diajeng menyadari hal itu, karena sejak Adnan masuk, Adnan justru kembali bersikap hangat kepadanya. Ada bahasa tersirat di matanya, dan Diajeng paham betul akan hal itu.
"Maaf pak, tapi anda sudah menikah." jawab Diajeng.
"Aku tidak mencintainya." jawab Adnan.
"Tapi dia istri anda."
"Aku tak pernah menginginkan itu."
"Ya, saya paham. Tetapi saya mohon, lepaskan tangan saya. Kita tidak boleh seperti ini pak, nanti ada yang salah paham. M" Namun Adnan tidak bergeming, tangannya masih mencekal lengan Diajeng.
"Tangan saya sakit pak." jelas Diajeng lagi karena memang terasa sakit.
Mendengar kalimat Diajeng yang terakhir, membuat Adnan perlahan melepaskan lengan Diajeng.
"Aku masih mencintaimu, Diajeng " lirih Adnan.
"Tapi anda sudah memilih untuk menikahinya pak, tidak seharusnya anda masih menyimpan rasa itu. Hal itu nanti akan merusak hubungan rumah tangga anda." nasihat Diajeng.
"Tapi aku bener-bener ga bisa lupain kamu, Jeng." Adnan masih memelas.
"InshaaAllah bapak bisa melupakan itu. Maaf pak, saya harus pergi. Assalamu'alaikum." ucap Diajeng lalu pergi.
Adnan melihat punggung Diajeng yang telah menjauh. Kemudian dia mengacak rambutnya, dia frustasi, berusaha untuk bersikap biasa dan formal di sekolahan, tetapi tidak bisa. Wajah Diajeng telah membuatnya candu, dia belum bisa melupakan wajah ayu itu. Dia benar-benar masih membutuhkan kasih dan sayang dari wanita yang dia cintai, yaitu Diajeng.