(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidur bersama
Michelle duduk terpaku di sofa empuk kamar baby Serena, tubuhnya yang lelah terbaring setengah merebah, namun matanya tetap menatap kosong ke arah jendela. Di luar, langit malam membentang gelap dengan gemerlap bintang yang seolah tak mampu mengusir kekalutan di dalam hatinya. Suara detak jarum jam di dinding seakan menggetarkan ruang hening itu, mengiringi pikiran Michelle yang berputar tanpa henti.
Berita tentang kepulangan kakak sepupunya seperti batu besar yang dilemparkan ke danau tenangnya, menciptakan riak-riak gelisah yang tak kunjung reda. “Aku sudah mulai merasa nyaman di sini... terutama dengan Bu Roslina,” bisiknya pelan.
Namun kenyamanan itu justru menimbulkan ketakutan yang dalam—ketakutan akan ditinggalkan, dicampakkan seperti yang telah di alaminya seperti dulu.
Michelle menutup matanya sejenak, menghela napas panjang yang keluar dari dada penuh beban. Tubuhnya yang baru saja melewati perjuangan menyusui Serena terasa berat, tapi bukan itu yang membuatnya letih. Kelelahan yang ia rasakan adalah kelelahan jiwa, menyiapkan diri keluar dari rumah ini.
“Kapan aku merasakan bahagia?” gumamnya lirih sebelum kesabarannya mulai menipis.
Ia meringkuk di sofa, tubuhnya terbungkus selimut tipis yang sedikit melorot, memperlihatkan tangan kecilnya yang tanpa sadar mengemut jari. Kebiasaan itu selalu muncul saat tidur—sebuah rahasia kecil yang hanya dirinya tahu, kini terbuka tanpa sengaja di hadapan Melly yang baru masuk.
Melly mengerutkan dahi, hatinya ikut tersentuh melihat nonanya itu tertidur bukan di kamar sendiri, melainkan di kamar tanpa ranjang yang dingin. Lalu dengan hati-hati menarik selimut kecil menutupi tubuh mungil itu lebih rapat, memastikan kehangatan tetap menyelimuti.
Dengan langkah ringan, Melly berbalik dan berjalan menuju ranjang kecil baby Serena, memilih untuk mengecek keadaan anak asuhnya sekali lagi sebelum benar-benar beristirahat.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan, membuat Melly langsung tegak berdiri, napasnya tercekat sejenak saat melihat sosok tuannya masuk. Alfred melangkah masuk, santai dengan kedua tangan terselip dalam saku celananya, matanya tak lepas menatap sofa tempat istrinya tertidur pulas. Jemari kecil istrinya yang masih lekat di mulutnya bagai bayi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Alfred—senyum yang hangat sekaligus menyimpan perasaan rumit.
Namun, seketika wajahnya berubah dingin ketika pandangannya beralih ke Melly, pengasuh baby Serena. “Bagaimana keadaan Serena hari ini?”
Melly cepat menjawab, suaranya berusaha terdengar tenang, “Nona Serena hari ini lebih tenang dari biasanya, walau masih sedikit rewel, tapi nona Michelle sangat pandai menenangkannya.”
Alfred mengangguk pelan, namun matanya kembali terpaku pada sosok istrinya yang lelap di sofa. Langkahnya ringan namun penuh arti saat ia berjongkok di depan Michelle. “Cewek tomboy, tapi jiwanya tetap seorang anak kecil… menggemaskan,” gumamnya, setengah bercanda sambil iseng mencabut jari Michelle dari mulutnya.
Michelle meronta kecil, wajahnya mengerut penuh ketidaksukaan, bibirnya mengecap-ngecap seolah kehilangan sesuatu yang berharga. Alfred terkekeh ringan, mata penuh kehangatan. Dalam kekakuan suasana itu, seketika ada secercah hiburan yang merayap masuk di hatinya.
Melly terpaku, terkejut melihat sisi lain dari pria yang selama ini dingin bak es itu—senyum tipis menghias wajahnya. Sebetulnya, Melly adalah pilihan langsung Jolina untuk mengurus baby Serena. Dia sudah diperingatkan bagaimana bersikap pada Alfred, agar tak menggores amarah sang mafia. Awalnya, Melly takut, tapi keyakinan Jolina bahwa Alfred tak akan kejam pada orang yang tak mengusiknya menenangkan hatinya.
Di sudut pikirannya, Alfred malah bergulat dengan gejolak yang tak terduga. “Kenapa aku bisa menikahi gadis kecil ini? Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam benakku,” gumamnya.
Ketika pertama kali melihatnya di penjualan manusia, hatinya tiba-tiba menginginkan kebebasan untuknya. Dengan langkah berat, ia mengangkat tubuh istrinya dengan lembut, membawanya ala bridal style. Melly menunduk dalam, menyembunyikan gelombang rasa hormat saat tuannya melewati pintu keluar kamar itu.
Di lorong itu, wajah para pelayan membeku, terpaku dalam keheranan dan bisik-bisik yang sulit disembunyikan. Mereka tak pernah menyangka, sang tuan rumah—yang selama ini dingin dan keras—tiba-tiba menggendong istrinya dengan lembut, membawanya ke kamar seolah ia adalah harta paling berharga di dunia.
Tiara berdiri terpaku, tubuhnya membeku, matanya menyala dengan kebencian yang tak tertahankan. “Ini tidak bisa dibiarkan... Jika begini terus, hidupku akan terancam,” bisiknya dalam hati sambil mengepalkan tangan dengan kekuatan yang hampir pecah.
Namun suara lain menyelinap menembus kekalutannya. “Lebih baik kau berhenti, Tiara. Lihatlah, tuan begitu perhatian pada nona, menggendongnya dengan lembut. Bisa saja dia menyeretnya dengan paksa, tapi dia tak melakukannya. Kalau sampai tahu kau selalu mencari masalah dengan nona, bagaimana reaksinya?” kata pelayan lain, matanya menyelidik ke arah Tiara.
Tiara terdiam sesaat, napasnya memburu. “Aku hanya ingin melindungi hak nona Elena. Suatu saat, aku yakin nona Elena akan kembali, dan menjadi nyonya rumah di sini lagi. Apalagi aku dengar, nona Elena sedang di Paris sekarang,” gumam Tiara dengan nada penuh harap.
"Kau terlalu percaya diri, Tiara. Apa kau tak paham? Di tempat ini, bukan di tempat biasa seperti yang kau kenal dulu. Ini rumah milik seseorang yang hatinya serapat batu es. Orang seperti dia, benci mati dengan pengkhianatan. Bahkan, rasa bencinya bisa memusnahkan segalanya, termasuk cinta," kata Lia dengan senyum sinis yang membekas seperti racun. Ia melangkah meninggalkan Tiara yang terpaku, matanya kosong menatap ke kejauhan, berpikir apa yang membuatnya begitu setia pada Elena selama ini.
Sementara itu, Alfred dengan hati-hati membaringkan Michelle di atas kasur, kamar milik gadis itu. Matanya menyipit, menangkap keanehan di dada gadis itu. "Basah? Apa yang terjadi padamu?" tanyanya penuh curiga.
Wajah Michelle tiba-tiba mengerut, seolah bertarung melawan bayang-bayang mimpi buruk yang menjeratnya. Keringat deras membasahi kulitnya, dan suaranya mengalun lirih, hampir tak terdengar, "Aku takut..."
Alfred mencondongkan tubuh, menempelkan telinganya di mulut Michelle, berusaha menangkap kata-kata yang penuh ketakutan itu. "Tolong! Keluarkan aku!" bisiknya menggema, seolah ada sesuatu yang mengurung jiwa gadis itu dalam kegelapan yang mencekik.
Alfred mengulurkan tangan dengan lembut, mengusap kepala Michelle yang gemetar, seolah ingin meredam menenangkannya. Tanpa sadar, sentuhan itu menjadi perubahan pada Michelle. Wajah gadis itu perlahan menjadi normal dan tenang.
Alfred berbaring perlahan di samping istrinya, menghadirkan kehangatan yang membuat Michelle segera merangkul tubuh kekarnya, matanya terpejam mencari ketenangan. Tangan Alfred yang semula tegang menggantung di udara, perlahan menurun, mengusap bahu gadis itu dengan penuh kesabaran.
Nafasnya berat, terselip gumaman lirih, "Ini terakhir kalinya kau menyentuhku tanpa izin, gadis nakal." Matanya pun ikut terpejam, karena tubuhnya begitu lelah setelah seharian beraktivitas.