NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 17

Malam itu, udara di Pondok Nurul Falah semakin dingin. Hujan yang turun sejak magrib mulai reda, menyisakan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Kabut tipis melayang di sekitar halaman, membuat lampu-lampu jalan di pondok tampak suram dan berkelip samar.

Dilara dan Salsa berdiri mematung di depan pintu gudang. Hati mereka berdentum keras, seakan waktu berhenti hanya untuk menguji keberanian mereka. Dari dalam, suara Wulan masih terdengar—parau, penuh getir, bercampur tangisan tertahan.

“Lar, kalau kita masuk sekarang… kita bisa ketahuan. Kalau dia marah, aku nggak tahu apa yang bakal dia lakukan,” bisik Salsa, suaranya bergetar.

Dilara menelan ludah. Tubuhnya gemetar, tapi ada dorongan kuat yang menahannya untuk tidak mundur. Ia merasa, malam ini akan jadi penentu: apakah Wulan benar-benar akan berhenti, atau justru semakin jauh dalam kegelapan.

“Aku nggak mau sembunyi terus, Sal,” jawabnya lirih. “Kalau kita diam, Wulan bakal makin berani. Aku harus lihat sendiri apa yang dia sembunyikan di sini.”

Dengan perlahan, Dilara mendorong pintu gudang yang setengah terbuka. Engselnya berdecit pelan, membuat suara yang membuat keduanya menahan napas. Di dalam, cahaya lampu minyak kecil berkelip di sudut ruangan, menerangi sosok Wulan yang duduk di lantai dengan catatan dan beberapa benda di hadapannya.

Dilara membelalakkan mata. Ada foto-foto sobekan kecil, beberapa kertas penuh tulisan, dan—yang paling mengejutkan—sehelai kerudung putih yang ternoda merah.

Salsa menutup mulutnya, hampir berteriak. Tapi Dilara cepat-cepat menekan tangannya, memberi isyarat agar diam.

Wulan, yang tampaknya terlalu larut dalam pikirannya, tidak menyadari kehadiran mereka. Ia terus berbicara pada dirinya sendiri.

“Semua orang pikir aku salah. Mereka nggak tahu… aku yang seharusnya ada di sana. Aku yang lebih pantas. Tapi semua sudah diambil dariku. Aku nggak akan biarkan Dilara menang. Tidak akan!”

Air matanya menetes, tapi tangannya meremas kuat helai kerudung bernoda itu, seakan menjadi sumber kekuatan.

Dilara merasa seluruh tubuhnya lemas. Itu… itu kerudung yang dulu dipakainya saat malam penuh luka itu. Bagaimana bisa Wulan menyimpannya?

Salsa mencengkeram lengan Dilara. “Lar… kita harus pergi. Ini berbahaya.”

Namun sebelum mereka sempat melangkah mundur, Wulan menoleh tiba-tiba. Matanya merah, wajahnya pucat, dan tatapan itu membuat darah Dilara serasa berhenti mengalir.

“Dilara…” suaranya rendah, serak, tapi menusuk. “Dari tadi kamu ngintip, ya?”

Dilara dan Salsa membeku di tempatnya. Wulan bangkit perlahan, mendekati mereka dengan langkah goyah tapi penuh tekanan.

“Apa kamu kira aku nggak tahu? Kalian selalu memperhatikan aku. Kalian pikir aku lemah? Kalian pikir aku bisa kalian singkirkan begitu saja?”

Salsa mencoba memberanikan diri. “Wulan… kamu salah paham. Kami cuma—”

“Diam, Sal!” bentak Wulan. Suaranya bergema di dalam gudang yang sempit. “Kamu selalu jadi penjilatnya Dilara. Semua orang selalu bela dia. Kenapa nggak ada yang lihat aku?!”

Dilara memberanikan diri maju setapak, meski lututnya gemetar. “Wulan, dengar aku. Aku nggak pernah mau kamu jatuh. Aku nggak mau kamu sendirian. Tapi semua yang kamu lakukan… ini bikin semua orang takut. Kamu harus berhenti, Wulan.”

Wulan tertawa getir. “Berhenti? Kamu pikir mudah? Kamu pikir aku bisa tiba-tiba jadi baik-baik aja? Nggak, Lar! Aku sudah terlalu jauh. Satu-satunya yang bisa bikin aku lega… kalau kamu jatuh juga.”

Ucapan itu membuat bulu kuduk Salsa berdiri. Ia berbisik di telinga Dilara, “Lar, kita harus keluar. Sekarang juga.”

Tapi Dilara masih menatap Wulan, matanya berkaca-kaca. “Wulan, aku mohon. Jangan teruskan. Kamu masih bisa kembali. Allah nggak pernah nutup pintu taubat. Kamu…”

“Cukup!” Wulan menjerit, lalu menyambar catatannya. “Jangan bawa nama Allah di depanku kalau semua orang yang ngaku beriman malah ninggalin aku!”

Suasana menjadi kacau. Salsa menarik tangan Dilara, dan mereka berlari keluar sebelum Wulan sempat mengejar. Pintu gudang terbanting keras di belakang mereka. Nafas mereka memburu, keringat bercucuran meski udara dingin menusuk kulit.

“Ya Allah… Lar, itu gila. Dia masih nyimpen kerudungmu. Itu bukti kalau dia… dia belum selesai sama kamu.”

Dilara terdiam, wajahnya pucat. Hatinya semakin yakin: ini bukan sekadar iri atau salah paham. Wulan sedang tenggelam dalam jurang yang makin dalam.

Pagi di pondok kembali berjalan seperti biasa. Namun, bagi Dilara dan Salsa, malam tadi meninggalkan bayangan gelap yang sulit dihapus. Mereka sepakat untuk tidak menceritakan kejadian itu dulu kepada siapa pun, sambil mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan Ummi Latifah.

Tapi ketegangan tidak berhenti di situ. Hari itu, saat pengajian tafsir selesai, salah satu mushaf ditemukan basah terkena air yang entah dari mana. Santri-santri heboh, dan beberapa langsung berbisik menyebut nama Wulan.

Wulan hanya duduk diam, tatapannya kosong, seolah tidak peduli lagi dengan tuduhan yang mengarah padanya.

Ummi Latifah menatap semua santri dengan wajah murka. “Siapa pun yang melakukan ini, dia sudah melecehkan kalam Allah. Dosa besar! Kalau benar ada yang sengaja, Allah sendiri yang akan membalasnya.”

Suasana hening. Dilara merasakan tatapan banyak orang beralih ke Wulan. Tapi ia sendiri ragu. Benarkah Wulan yang melakukannya? Atau ada sesuatu yang lain?

Sementara itu, Rani berusaha keras menebus masa lalunya. Ia mulai rajin menemani Bik Sumi memasak, membantu santri yang sakit, dan menjadi yang paling cepat bangun untuk azan subuh. Perlahan, beberapa santri mulai melunak padanya.

Suatu sore, ia duduk bersama Dewi di serambi, menatap matahari yang tenggelam di balik sawah.

“Dew, aku kadang iri sama kamu. Kamu bisa tetap baik meski orang lain nggak semua suka sama kamu,” kata Rani pelan.

Dewi tersenyum. “Aku juga nggak selalu kuat, Ran. Tapi aku belajar dari Ummi Latifah, kalau kita tulus, Allah yang bakal balas. Nggak usah buru-buru minta orang lain percaya. Biarkan waktu yang bicara.”

Rani menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku takut… kalau aku gagal lagi.”

Dewi menepuk tangannya. “Kalau jatuh, bangun lagi. Jangan kayak Wulan… yang milih terjebak dalam kejatuhannya.”

Ucapan itu menusuk hati Rani. Ia sadar, pilihan ada di tangannya: menjadi lebih baik, atau ikut tenggelam seperti Wulan.

Malam Jum’at, suasana pondok biasanya dipenuhi dengan bacaan yasin dan tahlil. Semua santri berkumpul di aula dengan wajah khusyuk. Namun malam itu, Dilara merasa jantungnya berdentum lebih keras dari biasanya. Ia tahu, Wulan sedang merencanakan sesuatu.

Benar saja. Saat bacaan tahlil memasuki bagian akhir, tiba-tiba lampu aula padam. Suara teriakan kecil terdengar, santri-santri panik.

Dilara merasakan sesuatu jatuh tepat di depannya. Ia meraba, dan menemukan secarik kertas. Dengan gemetar, ia membuka lipatan itu.

Tulisan tangan yang sama,

“Cahaya tidak bisa mengusir bayangan. Selama aku ada, kamu tidak akan tenang.”

Darah Dilara serasa membeku. Ia ingin berteriak, tapi lidahnya kelu. Salsa yang duduk di sampingnya langsung meraih kertas itu dan menggenggamnya erat.

Ketika lampu kembali menyala, Wulan duduk di sudut ruangan dengan wajah tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Malam itu, Dilara tidak tahan lagi. Ia menemui Ummi Latifah setelah semua santri tidur. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan kertas ancaman itu.

“Ummi… saya nggak tahu harus gimana. Tapi saya yakin ini tulisan Wulan. Dia masih terus mengancam saya.”

Ummi Latifah membaca dengan tenang, lalu menatap Dilara. “Nak, kebenaran memang kadang diuji dengan ketakutan. Tapi ingat, Allah bersama orang yang sabar. Kalau Wulan memang sedang diuji, kita tidak boleh balas dengan benci. Tapi kalau dia berbuat aniaya, kita juga tidak boleh diam.”

Air mata Dilara mengalir. “Saya takut, Ummi. Saya takut dia makin nekat.”

Ummi Latifah mengusap kepalanya lembut. “Tenanglah. Besok, biar Ummi yang bicara dengan Wulan.”

Keesokan harinya, Ummi Latifah memanggil Wulan ke ruangannya. Dilara, Salsa, dan Rani diminta hadir sebagai saksi.

Wulan masuk dengan wajah datar. Tapi matanya menyiratkan kegelisahan.

“Wulan,” suara Ummi tegas. “Ummi tidak ingin pondok ini jadi tempat kebencian. Kalau memang kamu merasa terluka, katakan. Kalau memang kamu ingin berubah, katakan. Jangan sembunyi di balik ancaman dan perbuatan yang membuat orang lain takut.”

Wulan menggertakkan giginya. “Semua orang selalu bela Dilara. Nggak ada yang mau dengar aku. Aku… aku cuma pengen diakui. Tapi sekarang semua udah terlambat.”

“Tidak ada kata terlambat, Nak,” jawab Ummi dengan sabar. “Pintu taubat selalu terbuka. Yang terlambat itu kalau kamu menutup hatimu sendiri.”

Air mata mengalir di pipi Wulan, tapi ia cepat-cepat mengusapnya. Ia menunduk, menggenggam catatannya erat-erat.

“Ummi… aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

Ummi Latifah tersenyum penuh kasih. “Mulailah dari mengakui salahmu. Itu langkah pertama.”

Ruangan hening. Dilara menahan napas, berharap Wulan benar-benar mau berubah. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu, pertarungan batin Wulan masih panjang.

Malam itu, ketika semua santri tidur, Wulan kembali menulis di catatannya. Tangannya bergetar, air matanya menodai kertas.

“Aku ingin berhenti… tapi aku nggak bisa. Aku ingin kembali… tapi aku takut. Aku benci Dilara… tapi aku juga benci diriku sendiri.”

Ia menutup catatan itu, lalu menatap langit-langit kamar. Hatinya berperang—antara ingin menyerah, atau terus melawan.

Di kamar lain, Dilara juga tidak bisa tidur. Ia berdoa lama, memohon kekuatan.

“Ya Allah, kalau aku harus menghadapi bayangan ini lagi dan lagi, jangan biarkan aku sendiri. Lindungi aku, lindungi pondok ini.”

Suara angin kembali berdesir di luar jendela, membawa ketidakpastian. Satu hal yang jelas: badai di Pondok Nurul Falah belum benar-benar reda.

Dan semua orang tahu, badai yang paling berbahaya bukanlah yang datang dari luar—melainkan yang bergejolak di dalam hati manusia.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!