Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Kopi
Saat tiba di rumah, rupanya semua lampu di ruangan telah menyala, itu berarti sudah ada orang di rumah. Suara air mendidih yang berbuih terdengar dan bersumber dari dapur. Pada sebuah teko yang sudah terkepul asapnya keluar dari lubang udara kecil, aku memutus sambungan listrik yang masih terpasang pada stopkontak. Di sebelahnya terdapat cangkir berisi serbuk kopi yang siap diseduh.
"Dari mana saja malam-malam baru pulang?"
Suara itu sontak membuatku terperanjak, aku memutar badan. Mas Elham, benar dia ada di rumah. Tepat sembilan malam. Tumben, tidak biasanya dia ada di rumah di jam segini. Aku tidak pernah tahu hari apa saja dia ada rumah, kapan datang, berapa lama tinggal, kemana saja saat di luar--dia tidak pernah memberi kabar seolah aku tidak perlu tahu apa kesibukannya.
Sehingga itu, aku tidak pernah memberi kabar banyak apa yang menjadi kegiatanku selama dia tidak ada di rumah. Termasuk ajakan kak Alan ke rumahnya itu, aku tidak bertanya atau meminta persetujuannya untuk mengiyakan datang.
"Dari ... diajak pertemuan sama teman."
Dia menyipitkan matanya, "Pesta maksudmu?" tanya dia sembari mendekat dan menuangkan air panas itu ke dalam cangkir kopinya.
"Bu ... bukan, kumpul biasa saja sama teman."
Apa aku sedang berbohong demi menutupi sesuatu?
"Mana ada kumpul biasa yang dihadiri banyak orang dan minuman? Kamu minum?" Nada bicaranya tegas, membuatku seperti dalam situasi sulit menghindar dan terintimidasi.
Aku mengangguk, aku ingat betul hanya meminum jus jeruk tadi.
"Berapa gelas?"
"Satu, besar."
Dia mendekat dan mencium sekitar tubuhku.
"Kamu mabuk? Pusing?"
Aku melotot. Tidak ada, memangnya efek apa yang bisa muncul kalau terlalu banyak minum jus?
Dia mencium sekitar tubuhku sekali lagi. "Tidak ada bau alkohol," ujarnya.
"Oh, enggak. Aku memang tidak minum alkohol, hanya minum jus jeruk saja."
"Tadi bilang minum?" tanya dia menyelidik sekali lagi.
Aku menjelaskan. "Aku kira tadi Mas bertanya aku minum atau tidak selama di sana. Aku menjawab iya karena tidak tahu arti minum itu artinya minum minuman beralkohol. Maaf."
"Tapi, ... dari mana Mas tahu ada minuman beralkohol dan banyak orang?"
Dia melirikku yang berada di sebelahnya dengan sebelah matanya. "Mama."
"Mama?"
"Mama bilang, tadi dia menelepon kamu, katanya terdengar sedang ramai orang."
"Kalau minuman? Dari mana Mas tahu ada minuman keras di sana?"
"Apalagi yang dilakukan orang-orang kalau sedang berkumpul selain menyediakan minuman untuk tujuan bersenang-senang?" jelasnya.
Itu berarti, mungkin memang sudah menjadi umumnya begitu kalau perkumpulan rekan kerja di kota-kota besar.
Dia masih tidak berhenti menatapku sembari mengaduk kopi panasnya, lalu menyesapnya perlahan dan berulang.
"Tapi, aku tidak minum."
Dia mendekat, mencondongkan wajahnya untuk mencium aroma tubuhku yang mungkin menguarkan sesuatu yang asing di hidungnya. Entah apa. Hanya bau keringat yang aku cium dari tubuhku sendiri.
"Sungguh, aku tidak minum, Mas."
Semakin ia mendekat hingga terasa sapuan hidungnya menempel pada daun telingaku sebelah kiri.
"Mas," panggilku menyingkirkan wajahnya supaya menjauh dariku.
"Bau apa ini??" tanya dia di dekat wajahku.
"Bau apa?" tanyaku kembali.
Dia menarik lengan bajuku untuk ditempelkan di hidungnya, lalu memekik: "Bau pria!"
"Bau pria?" tanyaku heran. Yang benar saja, apa maksudnya?
"Aroma parfum maskulin yang sangat kuat dan familiar, wangi pria mana itu?" ujarnya seperti tuduhan.
Apa maksudnya kak Alan? Tidak, tidak, aku dekat tapi tidak begitu dekat. Kami bahkan tidak bersentuhan, hanya pertemanan biasa.
"Aku tidak dekat dengan pria mana pun," bantahku padanya.
"Lalu aroma apa ini?"
"Aroma apa, Mas?"
"Kopi."
Kopi? Tunggu sebentar.
Aku terdiam sebentar dan memperhatikan ke sekeliling, pada tangannya yang tengah memegang cangkir berisi seduhan kopi.
"Apa aromanya kopinya kuat seperti kopi hitam?"
"Ya!"
Lantas, tatapanku yang semula tertuju padanya kini turun ke cangkir di tangannya. Dia mengikuti arah gerak mataku.
"Bukankah itu aroma kopimu? Mas mencium aroma mulut sendiri sejak tadi," ujarku. Dia lantas cepat-cepat mencium kopinya dan meletakkan cangkirnya ke meja dapur. Aku tersenyum puas sebelum meninggalkannya di dapur setelah melihat wajah tersipunya karena sempat menyangkaku yang bukan-bukan.
"Huh."