NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:826
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 Warga yang Tak Banyak Bicara

Pagi masih menggeliat lamban di Desa Karangjati. Kabut menggantung rendah di antara pepohonan jati yang berdiri diam seperti penjaga tua. Suasana begitu tenang—terlalu tenang untuk sebuah pagi. Burung-burung enggan berkicau, dan daun-daun pun nyaris tak bergerak, seolah waktu sendiri enggan berjalan.

Di teras rumah tua itu, Siska masih menatap halaman depan. Matanya sayu, seperti tak tidur semalaman. Tangan kirinya menggenggam secangkir teh hangat yang kini sudah dingin.

“Erik, kamu yakin kita aman tinggal di sini?” tanyanya lirih, tanpa menoleh.

Dokter Erik yang sedang memeriksa sisa obat-obatan di ruang kerja hanya menjawab seadanya, “Rumah ini luas, dan lokasinya cocok untuk tempat tinggal. Kita juga butuh suasana tenang.”

Siska tak membalas. Matanya terus tertuju pada pohon mangga tua di sudut halaman yang seakan makin merunduk. Semalam, bayangan dari arah sana membuatnya ingin menjerit. Ia yakin ada sesuatu berdiri di bawah pohon itu. Diam. Mengamati.

Siang harinya, Erik dan Siska berkunjung ke rumah kepala dusun untuk menyerahkan beberapa berkas pindahan. Rumah Pak Lantip berada tak jauh dari balai desa, berdiri di bawah naungan pohon randu besar yang tampak seperti tangan-tangan tua menjulur ke langit.

Pak Lantip menerima mereka dengan ramah, meski sorot matanya mengisyaratkan kehati-hatian yang tak biasa.

“Jadi, kalian sudah masuk rumah itu?” tanya Pak Lantip sambil menyodorkan teh panas ke Erik.

“Sudah, Pak. Semalam. Lumayan nyaman, cuma... ya, butuh banyak dibersihkan,” jawab Erik santai.

Pak Lantip diam sejenak. Ia melirik ke arah istrinya yang sejak tadi berdiri di dapur, seperti tak berani ikut duduk.

Siska menyadari keheningan itu. Ia menunduk, membiarkan Erik berbicara. Namun suasana yang menggantung membuatnya ingin bertanya, “Pak... sebenarnya... rumah itu, dulunya milik siapa, ya?”

Pak Lantip mengusap pelipisnya, lalu berkata pelan, “Itu rumah Bidan Karsih... dulu beliau membantu banyak persalinan di desa ini. Tapi, beliau punya kebiasaan aneh.”

“Aneh?” Erik menaikkan alis.

“Tidak pernah bicara,” jawab Pak Lantip datar. “Selama puluhan tahun tinggal di sini, warga tak pernah dengar suaranya. Bahkan saat menolong ibu melahirkan, dia hanya menunjuk dan memberi isyarat. Tapi semua patuh... karena entah kenapa, semua persalinan berhasil.”

Siska menelan ludah. “Lalu... kenapa rumahnya dibiarkan kosong begitu lama?”

Pak Lantip menarik napas panjang.

“Karena sejak malam beliau ditemukan meninggal... ada yang berubah, Nak. Banyak yang bilang rumah itu tak lagi wajar. Ada yang dengar suara-suara... ada yang melihat... bayangan.”

Siska menggenggam tangan Erik di bawah meja.

“Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada yang berani menyentuh rumah itu. Sampai kalian datang,” lanjut Pak Lantip. “Mungkin… ini takdir.”

Saat pulang ke rumah, Siska tak langsung masuk. Ia berdiri di halaman cukup lama, memandangi jendela lantai atas yang sebagian terbuka. Ia yakin semalam tak pernah membuka jendela itu.

“Erik,” panggilnya pelan, “kita punya tangga ke atas, kan?”

Erik keluar dari belakang, membawa dus berisi alat-alat medis.

“Punya. Tapi lantai atas belum dibersihkan. Masih bau.”

Siska masih menatap jendela itu. Tirainya berkibar pelan. Tapi… ada sesuatu di baliknya. Seperti seseorang yang bersembunyi… lalu mundur perlahan saat ia menatap.

Malam kedua terasa lebih dingin. Udara seperti menyimpan kabut tak kasatmata yang merayap dari celah dinding. Siska memilih tidur lebih awal, meski matanya sulit terpejam. Erik masih di ruang kerja, menulisi catatan untuk klinik desa yang akan dibuka minggu depan.

Ketika jam dinding menunjukkan pukul 01.13, sebuah suara samar membangunkan Siska.

Krreeek… krreeek…

Seperti kursi tua yang digeser di atas lantai kayu. Tapi suara itu datang dari atas.

Lantai atas.

Siska meneguk ludah. Ia membuka mata perlahan. Suara itu datang lagi.

Krreeeek…

Kali ini, terdengar lebih jelas. Seperti langkah pelan... menyeret kaki.

Ia bangkit, menyalakan lampu meja. Tapi bola lampu itu hanya menyala redup, lalu mati.

Gelap kembali.

Lalu terdengar suara... sangat dekat...

“Hhhkkhh… hhhkkhh...”

Suara napas terputus, berat, seolah berasal dari seseorang yang tenggorokannya tersumbat. Tapi… juga seperti mencoba bicara.

Siska mendekap mulutnya, tubuhnya gemetar.

Dan tiba-tiba… terdengar ketukan.

Tok… tok… tok.

Tapi bukan dari pintu kamar.

Dari langit-langit.

Langit-langit kamar.

Tepat di atas tempat tidurnya.

Pagi itu, Erik menemukan Siska tertidur di sofa ruang tamu, memeluk bantal dan mengenakan jaket. Wajahnya pucat, matanya sembab.

“Siska? Kamu kenapa tidur di sini?”

Siska bangun perlahan. Bibirnya kering.

“Ada sesuatu di atas, Rik. Kita harus lihat lantai atas.”

Erik ragu, tapi melihat keadaan Siska, ia mengangguk.

Setelah sarapan seadanya, mereka membuka tangga tua menuju lantai atas.

Langkah pertama menimbulkan derit panjang. Satu per satu, mereka menyusuri anak tangga.

Dan ketika tiba di lantai atas, aroma yang menyambut mereka bukan hanya debu atau kayu lapuk.

Tapi aroma seperti... rumput yang membusuk... dan darah.

Siska menutup hidung.

Mereka menyusuri lorong pendek. Ada tiga pintu. Dua tertutup rapat, satu menganga sedikit.

Pintu yang terbuka itu... menghadap langsung ke jendela yang Siska lihat dari luar kemarin.

Pelan, Erik mendorong pintunya.

Ruangan itu kosong. Hanya sebuah kursi goyang tua menghadap ke jendela.

Dan di atas kursi itu...

Ada bekas duduk.

Seolah seseorang baru saja meninggalkannya.

Erik menelan ludah. Ia melangkah masuk.

Lalu, dari sudut ruangan, di balik lemari kecil yang setengah roboh, mereka melihatnya.

Sebuah boneka bayi, berlumuran tanah… dan darah kering di bibirnya.

Siska menjerit pelan.

Dan dari luar jendela, samar-samar... terdengar gumaman. Seperti doa... tapi tanpa suara.

Hanya gerakan lidah.

Seolah... seseorang yang bisu… sedang mencoba berbicara.

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!