Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab17
Suasana ruangan semakin tegang. Udara seakan dipenuhi oleh ketegangan yang kian menyesakkan. Semua orang di dalam ruangan menatap Flower dengan ekspresi beragam—ada yang marah, ada yang terkejut, dan ada pula yang menatapnya dengan penuh kebencian.
"Apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan sekarang?" bentak Yohanes dengan nada tinggi, matanya menyala penuh kemarahan. Tangan besarnya mengepal kuat, seakan ingin menghancurkan sesuatu.
Flower mengangkat dagunya, menatap mereka dengan penuh keberanian. "Tentu saja aku sadar! Aku baru sadar kalau aku begitu bodoh berdiam selama ini!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena emosi yang meluap-luap. "Setelah selamat dari kematian, aku baru tahu selama ini aku bukan apa-apa bagi kalian. Keluarga yang penuh drama dan kebohongan tidak perlu aku banggakan, apalagi dipertahankan."
Tatapan Flower menyapu wajah setiap orang di ruangan itu, matanya penuh dengan kebencian yang selama ini terpendam. "Ketika aku di ambang kematian, keluargaku sendiri mengatakan aku sedang berpura-pura. Dari kalian, apakah ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja? Tidak! Orang luar yang menyelamatkanku! Kalian berusaha menghancurkanku, tapi orang lain yang berusaha membuatku bangkit! Lalu, kenapa aku harus menolak? Selagi aku masih di sini, aku tidak akan bangkit sampai kapanpun!"
Flower mengangkat tangannya, menunjuk langsung ke arah Cici yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pura-pura prihatin. "Kalian awasi saja anak dan adik kesayangan kalian ini! Sementara aku, bukan bagian dari keluarga ini lagi!"
Cici menghela napas panjang, memasang ekspresi seolah-olah ia benar-benar terluka dengan ucapan Flower. "Flower, jangan bicara seperti ini. Kau hanya akan membuat Papa dan Mama serta Kakak kita sedih," ucapnya dengan suara lembut, tapi jelas sekali kepura-puraan yang menyelimutinya.
Flower tertawa sinis. "Sedih? Mereka justru semakin senang kalau aku keluar. Karena itu yang mereka inginkan, bukan? Yang mereka harapkan adalah dirimu!" Matanya membara penuh kemarahan dan kebencian yang selama ini ia pendam. "Aku bodoh dan tidak sepintarmu! Yang bisa akting dan berpura-pura di depan mereka! Dan hanya orang buta yang percaya padamu!"
"Diam!" bentak Alan tiba-tiba. Wajahnya memerah karena amarah, seolah tidak terima dengan semua tuduhan Flower.
Flower mengangkat kepalanya dengan angkuh. "Kau bukan kakakku lagi, jadi tidak berhak memerintahku!" jawabnya tegas, menatap Alan dengan mata tajam.
Zoanna, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya meledak dalam kemarahan. "Anak kurang ajar! Kenapa aku bisa melahirkan anak seperti ini!" suaranya melengking, penuh kejijikan.
Flower menatapnya dengan dingin, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. "Aku juga menyesal kenapa keluar dari rahimmu, Nyonya Zoanna!" ucapnya penuh penekanan, membuat semua orang menahan napas. "Seharusnya saat itu kau serahkan saja aku pada orang lain. Mungkin hidupku akan lebih bahagia."
"Flower Florencia, apa yang kau inginkan sebenarnya? Apakah keributan yang kau lakukan akan membuatmu puas?" tanya Wilson, suaranya penuh sindiran dan tatapannya tajam menembus sosok Flower.
"Iya, aku puas sekali," jawab Flower lantang, sorot matanya dipenuhi kemarahan dan luka yang lama terpendam. "Karena aku meluapkan perasaan yang aku pendam selama ini. Aku dilahirkan di keluarga yang tidak bahagia. Orang tuaku tidak adil. Kedua kakakku juga sama. Selain menyalahkan aku, mereka tidak pernah peduli atau percaya padaku. Lantas, untuk apa aku harus patuh pada perintah kalian? Anggap saja aku sudah mati." Suaranya bergetar, namun bukan karena takut, melainkan karena penuh emosi yang tertahan.
Flower berbalik, bersiap untuk melangkah keluar dari rumah yang selama ini menjadi sangkarnya. Namun, di saat itu, tangan halus menahan lengannya. Cici, dengan wajah penuh kepura-puraan, mencoba menghentikannya.
"Adik, jangan pergi. Tolong tinggalah. Aku akan membantumu membujuk papa dan mama untuk memaafkanmu," ucap Cici dengan nada yang dibuat-buat, matanya berkaca-kaca seolah penuh kepedulian.
Flower menatapnya tajam, lalu dengan gerakan cepat menepis tangan Cici dari lengannya. Cici, yang memang sudah bersiap dengan aktingnya, sengaja membiarkan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dan tepat seperti yang direncanakannya, ia jatuh dengan dramatis, tangannya mendarat di atas serpihan kaca dari bingkai foto yang berserakan di lantai.
"Aahh! Sakit!" rintih Cici dengan suara gemetar, tangannya tampak berdarah.
"Cici!" seru Yohanes, Zoanna, dan Alan bersamaan. Mereka segera berlari mendekatinya, ekspresi mereka berubah cemas.
Zoanna memegang tangan Cici dengan panik. "Tanganmu terluka," ucapnya dengan suara penuh kekhawatiran.
Alan berbalik menatap Flower dengan tatapan berapi-api. "Flower, apa sudah puas dengan perbuatanmu? Cici sampai terluka karena ulahmu!" bentaknya, nada suaranya mencerminkan kemarahan yang tak tertahan.
Namun, Flower hanya tertawa dingin, tidak sedikit pun menunjukkan rasa bersalah. "Kenapa tidak mati saja, agar tidak menyusahkan?" ucapnya sinis, matanya menatap Cici dengan penuh kebencian. "Maling tetap maling, walau sepintar apa pun dia berpura-pura. Sifat serakahnya tidak akan hilang. Jadi lebih baik mati saja."
Seisi ruangan terdiam sejenak. Kata-kata Flower seperti belati yang menusuk ke dalam hati mereka, terutama bagi Cici yang masih berusaha mempertahankan citra sebagai korban. Namun bagi Flower, ini adalah kebebasannya. Ia sudah tidak peduli lagi.
"Apakah Kim Anderson yang mengajarimu menjadi seperti ini? Melawan keluarga dan menyakiti kakak sendiri? Cepat minta maaf pada Cici!" perintah Alan, suaranya tegas dan mengintimidasi.
"Tidak mau! Hanya orang rendahan yang tidak layak mendapat permintaan maaf dariku!" jawab Flower dengan nada penuh penghinaan.
Wilson, yang sejak tadi hanya mengamati, kini melangkah maju dengan ekspresi tidak percaya. "Sejak kapan kau bisa menghina orang? Cici adalah keluarga sendiri," ujarnya, suaranya lebih datar namun tetap menyiratkan ketidaksenangan.
Flower tertawa sinis. "Kalau kalian begitu sayang padanya, didiklah dia menjadi manusia yang berguna. Jangan menjadi sampah," balasnya sebelum beranjak pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah penuh keyakinan.
Zoanna yang sejak tadi menahan diri, kini menghela napas berat. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Anak ini... kenapa berubah menjadi orang lain?" gumamnya dengan nada kecewa.
Yohanes yang duduk di sofa, kini menegakkan tubuhnya. Matanya menyipit penuh kecurigaan. "Alan, selidiki seberapa jauh hubungan dia dengan pria itu!" perintahnya tanpa ragu.
Alan mengangguk tanpa berpikir dua kali. "Iya, Pa!" jawabnya mantap.
Sementara itu, Zoanna yang memeluk Cici yang masih duduk di lantai dengan luka di tangannya menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
"Cici, bagaimana dengan tanganmu, pasti sangat sakit, kan?" tanya Zoanna
"Ma, aku tidak apa-apa. Luka ini tidak sebanding dengan luka yang dialami Flower," ucapnya dengan suara lirih, berusaha menunjukkan kebesaran hatinya meskipun wajahnya penuh kepura-puraan.
Zoanna langsung memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Kamu begitu baik padanya. Jangan simpan dalam hati. Dia sudah berubah dan tidak tahu diri," ujarnya dengan nada penuh simpati.
Wilson yang berdiri di dekat mereka menarik tangan Cici yang terluka, mengamati luka itu dengan saksama. Dia menghela napas dan menatapnya tanpa ekspresi.
"Luka ini juga tidak dalam, tidak perlu terlalu serius," ujarnya dengan nada datar.
Alan menatapnya dengan tatapan tajam, merasa tidak senang dengan reaksi Wilson. "Wilson, Cici sudah terluka! Kenapa kau bicara seperti ini? Pergi ambilkan obat!" perintahnya dengan nada menuntut.
Wilson tidak segera bergerak. Ia mendongak menatap Alan, lalu berkata, "Flower pernah koma selama sebulan dan tetap bertahan hidup. Luka kecil ini tidak mematikan. Jadi, Cici tidak perlu bersikap seolah-olah dia sangat menderita."
Mata Alan menyala penuh kemarahan. "Wilson, apakah kau dipengaruhi oleh Flower? Jangan banyak bicara, pergi ambil obatnya sekarang juga!"
Wilson mendengus, lalu dengan santai melangkah menuju kamarnya tanpa mengindahkan perintah Alan. "Ambil sendiri!" balasnya sebelum menghilang di balik pintu.
"Alan, Gunakan cara apa saja, untuk menyingkirkan Kim Anderson dan... Buat dia dikeluarkan dari rumah sakit itu!" perintah Yohanes.
terimakasih untuk kejujuran muu 😍😍😍 ..
sally mending mundur saja.. percuma kan memaksakan kehendak...
kim gak mau jadi jangan di paksa
ka Lin bikin penasaran aja ihhh 😒😒😒
penasaran satu hall apakah Flower akan pergi dari Kim atau bertahan sama kim 🤨