Seorang CEO yang tak sengaja mendapatkan amanah dari korban kecelakaan yang ditolongnya, untuk menyerahkan cincin pada calon pengantin wanita.
Namun Ia malah diminta Guru dari kedua mempelai tersebut untuk menikah dengan mempelai wanita, yang ditinggal meninggal Dunia oleh calon mempelai pria. Akankah sang CEO menikah dengan mempelai wanita itu? Akankah sang mempelai wanita setuju Menikah dengan sang CEO?
Dan sebuah masalalu yang mempelai wanita itu miliki selalu mengganggu pikirannya. Kekhawatiran yang ia rasakan selalu menghantui pikirannya. Apakah masalalu yang menghantui pikiran mempelai wanita itu?
Cerita ini hanya khayalan Author, jika ada kesamaan tokoh, kejadian itu hanya kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Perdebatan di Meja Makan
Ayra terlihat sedang membantu beberapa art menyiapkan sarapan di meja makan. Pak Erlangga dan Nyonya lukis turun dari lantai dua dan melihat sesuatu pemandangan yang membuat mereka tersenyum simpul. Nyonya Lukis cepat berjalan ke arah Ayra.
"Sayang..... Biarkan mereka mengerjakan itu. Kamu menantu dirumah ini bukan pembantu."
"Tidak apa-apa Ma. Ini salah satu cara agar Ayra mendapatkan pahala ma karena salah satu melayani suami."
Pak Erlangga duduk di kursi paling sudut dan Nyonya lukis pun duduk di sebelah nya. Ayra menuangkan air putih ke dalam gelas kedua mertuanya dan telah menyiapkan teh untuk nyonya lukis dan Kopi untuk pak Erlangga.
"Sluuurp."
"Hem.... Nikmat sekali. Kamu yang buat kopinya Ay?"
Pak Erlangga mencium aroma harum kopi di cangkir yang baru saja ia tempelkan pada bibir nya.
"Iya pa. Kurang pas sama yang biasa? atau kurang enak?"
"Berbeda rasanya lebih nendang hehehe."
"Alhamdulilah kalau Papa suka."
"Rasanya seperti buatan mama mu saat Bram masih belum ada."
Nyonya lukis menoleh kearah pak Erlangga. Tangganya yang sedang mengolesi roti dengan selai coconut pun terhenti.
"Oh ya? Itu pasti Ay menyajikan nya dengan air yang mendidih langsung dari atas kompor."
Lalu kembali melanjutkan kegiatan nya yang tertunda. Ayra mengamini apa yang ibu mertuanya ucapkan.
"Mama bisa tahu?"
"Hehehe.... Apa papa bilang kalian adalah wanita spesial. Dulu waktu papa masih bukan siapa-siapa dan punya apa-apa, mama mu ini selalu di dapur menyiapkan sendiri kebutuhan buat Papa, namun seiring waktu papa yang meminta agar mama mu cukup disamping papa biar asisten yang mengerjakan pekerjaan rumah "
"Masyaallah.... Maka Papa termasuk suami idaman."
Nyonya lukis melihat Ayra tak membuka piringnya dan hanya minum air putih bertanya kenapa tidak ikut makan. Ayra menjelaskan jika ia biasa sarapan nasi dan itu nanti saja karena sedang disiapkan oleh Bik Asih.
Bram menghampiri meja makan dengan keringat yang membanjiri tubuhnya. Wajah putih nya terlihat memerah.
"Bram? kamu sakit?"
Pak Erlangga bertanya padanya karena melihat bekas kerokan di leher Bram.
"Tidak. Hanya saja tubuhku dan leherku terasa kaku, semalam tak tahu diapakan oleh menantu Papa dan Mama."
Bram masih segan menatap istrinya itu. Ayra berdiri meletakan sandwich yang sudah ia siapkan bersama bik Asih tadi ke dalam piring dihadapan Bram.
Bram masih tampak cuek. Bram mengambil intercom dan mendial angka 1.
"Asih. Siapkan air mandi ku dan tambahkan bath salt."
Bram meletakkan intercom di sebelah nya. ia meminum jus jambu yang biasa ia minum dipagi hari dan mengunyah sandwich nya.
Ayra tersenyum senang karena pagi ini kali pertama ia melakukan sesuatu yang terlihat suami nya menikmati hasil dari usaha nya.
Ayra membuat sendiri jus jambu dan sandwich itu untuk sarapan Bram namun dengan bantuan bik Asih.
Ayra melangkah meninggalkan meja makan.
"Biar Ayra yang siapkan mas."
"Saya memerintahkan Asih. Bukan kamu!"
Suara ketus Bram terdengar setelah lelaki yang memiliki senyum manis itu menelan habis sandwich yang ada di mulutnya.
Ayra duduk kembali di kursinya. Dia menarik ujung bibirnya hingga muncul senyum manis menghiasi wajah putihnya.
"Mas boleh marah, bentak aku. Aku tahu mas belum bisa menerima aku menjadi istri mas. Tapi tolong biarkan aku melakukan sesuatu yang bisa menjadi ladang pahala bagi ku mas. Salah satunya melayani mu."
Bram yang tak sengaja menatap wajah Ayra akhirnya membuang pandangan nya ke arah Papa dan Mamanya.
"Terserah kamu!"
"Bram..,."
Mama Lukis memandang putra sulungnya yang terkenal perfeksionis dan disiplin itu.
"Mama mau kemana?" Bram melihat mamanya dengan pakaian dan dandanan yang tak seperti biasa dipagi hari.
Ayra pamit kepada kedua orang tuanya meninggalkan meja untuk menyiapkan air mandi suaminya yang tadi ia dengar.
"Kamu dan Ayra ikut ya?"
"Kemana Ma?"
"Coba tebak kemana?"
"Jangan bilang pergi ke butik Tante Marisa."
"Ide bagus. itu setelah kita menjemput Bambang dan Istrinya."
"What's? Sepagi ini?"
Bram menatap Papanya nya baru saja menghabiskan kopi hitamnya.
"Papa sudah bilang lelaki yang dipegang Janjinya. Giliran mu membuktikan janji mu yang baru saja masih kau langgar."
"Hhhhh...... Papa hanya minta aku untuk tak menceraikannya bukan memintaku ku menerima nya!"
Bram pergi meninggalkan meja makan dengan muka masam.
"Bram ikutlah, kamu tahu Bambang. Akan sulit bagi Papa untuk berbicara dengan adik mu itu."
Suara bariton pak Erlangga membuat Bram berhenti dan berbalik sambil memegang ujung handuk kecil yang tergantung di lehernya dengan kedua tangannya.
Kakak dari Bambang dan Beni ini tersenyum ke arah pak Erlangga.
"Itu karena Papa tidak pernah ada untuk mereka disaat mereka butuh Papa."
"Bram.... Pokoknya kamu dan Ayra ikut."
Nyonya Lukis melipat kedua tangannya di depan dada melihat sang anak kembali memprovokasi Papanya.
"Baiklah Ma. Itu karena aku khawatir Mama akan pingsan lagi karena harus melihat anak dan suami Mama bersitegang."
Bram setengah berlari ketika menaiki anak tangga menuju kamarnya.
soalnya saya banyak kenal orang dari berbagai daerah meskipun pernah mondok, tp tidak sedetail itu tau tentang najis
mau komen keseeell.. ternyata udah ada yg mewakili😆