Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Dua Hari Jadi Pacar Pura-Pura
Aku baru keluar dari kelas ketika layar ponselku berkedip klik. Pengirimnya Cakra.
Cakra: Turun ke kantin atau gue jemput?
Tidak ada emotikon. Tidak ada penjelasan. Cuma kalimat pendek yang seolah-olah itu perintah, tapi entah kenapa membuat detak jantungku memantul sampai ke ubun-ubun—seperti loncat-loncat di atas trampolin kecil.
Aku menemukan dia bersandar di dinding dekat tangga, tangan di saku celana, kemeja seragam digulung sampai siku—tangan yang berotot terlihat jelas. Cahaya sore menyinari wajahnya dari samping, membuat garis rahangnya terlihat lebih keras, tapi matanya malah tampak lebih… lembut. Seperti bulan yang baru muncul di malam hari.
Dan persis seperti biasa, dia hanya melirik sekali ke arahku.
Tapi lirikan itu—hanya sepersekian detik—cukup buat aku berhenti bernapas setengah detik. Kenapa dia bisa ngeliat aku kayak begitu?
Kita berjalan berdampingan keluar sekolah, tapi rasanya tidak benar-benar berdampingan. Cakra menjaga langkahnya sedikit lebih lambat, sejajar denganku, tapi tangannya sesekali bergerak—naik sedikit, mau nyentuh lengan aku tapi ditahan. Tidak jadi. Lalu turun lagi. Lalu diulang lagi. Seperti jam yang berputar tapi tidak pernah sampai tujuan.
Aku pura-pura tidak memperhatikan. Memandang jalan depan seolah ada peta tersembunyi di atas aspal.
Padahal aku memperhatikan. Semua. Setiap gerakan jari dia, setiap detik tangannya mau menyentuh, setiap langkah yang dia sesuaikan.
Kita makan di sebuah tempat kecil dekat sekolah—bukan restoran mahal yang ada meja berdekorasi, tapi warung nasi goreng yang cukup nyaman, bau bawang gorengnya sedap sampai ke ujung hidung. Cakra langsung ke kasir, memesan makanan untuk kita berdua tanpa bertanya. Seolah dia sudah hafal seleraku. Padahal jelas-jelas belum—kita baru kenal betul-betul selama dua hari.
“Eh itu—” aku mulai bicara ketika makanan datang.
“Apa?” dia mengangkat kepala.
“Lo pesenin yang gue suka?” Nasi goreng spesial dengan telur mata sapi—persis yang aku selalu pesan kalo sendirian.
“Feeling aja,” jawabnya sambil mengaduk es tehnya. “Kalau salah, bilang. Gue pesen lagi.”
Tapi ternyata tidak salah. Rasanya pas banget—tidak terlalu pedas, tidak terlalu asin—seperti dia memang tahu apa yang aku butuhkan.
Setelah makan, dia bawa aku ke sebuah toko aksesoris dan stationery yang lokasinya sedikit tersembunyi. Lalu—tanpa peringatan apapun—dia mengambil keranjang belanja yang ada di pintu.
“Pilih yang lo mau.”
Aku langsung panik. Badanku kaku, mata bulat melihat rak-rak barang di depan.
“A—apa? Buat apa?”
“Buat makan.”
“Ini… bakal ditambah ke biaya perjanjian?” Kalimat itu keluar dari mulutku tanpa disadari—keras, tapi penuh ketakutan.
Cakra berhenti. Tangannya yang lagi pegang keranjang berhenti di udara. Tatapannya naik pelan, mengunci mataku—dan dalam pandangannya itu, ada sesuatu yang membuat aku merasa seperti sedang diteliti sampai ke dalam hati.
Detik itu, jantungku terasa seperti baru dilempar ke lantai dan diinjak-injak.
“Kalau gue bilang enggak?” Suaranya rendah, tapi terdengar tegas.
Aku tidak bisa menjawab. Lidahku kaku.
“Kalau gue bilang gue cuma pengin ngasih sesuatu ke cewek gue?”
“Tapi aku bukan cewek lo beneran…” Kataku pelan, seperti bisikan yang takut didengar.
“Dua hari pacaran pura-pura,” kata dia, suaranya tenang tapi penuh makna, “tetap pacar gue.”
Kalimatnya ringan, tapi ada sesuatu di balik nada itu—sesuatu yang membuat aku menelan ludah dengan susah. Seolah dia ingin mengatakan lebih banyak, tapi tidak tahu cara mengucapkannya.
Aku tidak menjawab. Dia pun tidak menjelaskan lebih dari itu. Hanya kembali memegang keranjang dan mengangkat dagu ke arah rak barang. “Pilih aja.”
Setiap aku mengambil barang—sebuah pulpen warna-warni, sebuah kalung manik-manik kecil, sebuah buku catatan dengan sampul bunga—Cakra tidak komentar. Cuma memperhatikan.
Terlalu memperhatikan.
Tatapannya mengikuti gerak tanganku yang sedikit gemetar, ekspresinya tidak banyak berubah, tapi matanya… matanya seperti menyimpan banyak hal yang tidak diucapkan. Sesekali dia mengangguk kecil, seolah menyetujui pilihanku. Sesekali bibirnya terangkat tipis—seperti sedang menahan senyum yang malas dia keluarkan, tapi tidak bisa ditahan.
Aku pura-pura sibuk melihat rak paling ujung. Menyentuh barang-barang tanpa benar-benar melihatnya.
Padahal aku sibuk menahan diriku sendiri—menahan hasrat untuk melihatnya lagi, menahan napas agar tidak terengah-engah, menahan perasaan yang mulai tumbuh seperti rumput di lahan kosong.
Saat kita keluar dari toko dengan plastik belanjaan di tangannya dia nggak mau aku pegang sendiri, bilang “gede banget, gue yang angkat”, sesuatu mencubit perasaanku. Seperti jarum yang menusuk perlahan-lahan.
Dua hari jadi pacar pura-pura. Dua hari dapat uang transfer dari dia. Dua hari dibeliin makan dan barang-barang.
Ya Tuhan… apa aku ini cewek bayaran?
Rasa bersalah itu naik pelan, dingin, dan membuat tenggorokanku kaku. Aku menatap plastik di tangannya—barang-barang yang aku inginkan tapi nggak berani beli sendiri. Kebutuhanku memang ada—uang itu bantu banget buat keperluan sehari-hari. Tapi kenapa rasanya begitu buruk? Seperti aku menjual diriku sendiri untuk uang.
Tapi kebutuhan tetap kebutuhan.
Dan Cakra—entah kenapa—membuat semuanya terasa lebih rumit. Seolah dia tidak cuma ngasih barang karena kontrak, tapi karena dia ingin. Dan itu yang membuat aku takut.
Saat kita berada di pinggir jalan, menunggu lampu hijau untuk menyeberang, angin sore mulai bertiup—dingin sampai bikin kulitku merinding. Cakra tiba-tiba memiringkan kepala, menatapku dari samping. Matanya terlihat lebih gelap di bawah kegelapan sore.
“Kenapa ngelamun?”
“A—nggak. Cuma capek.” Jawabku cepat, terlalu cepat.
Dia tidak percaya. Aku tahu dari caranya menatap—mata dia sedikit menyipit, seolah tahu bahwa aku bohong.
Tapi bukannya memaksa, dia justru memasukkan tangan ke saku jaketnya yang tebal. Lalu dia melihat tanganku yang menggenggam lengan jaket sendiri, gemetar sedikit karena dingin.
“Tangan lo dingin banget,” gumamnya, suara rendah seperti bisikan.
Dia meraih tanganku—pelan, sangat pelan—seperti takut aku akan mundur. Dan ketika tangannya menyentuhku, dia menyimpannya di kantong jaketnya bersama tangannya sendiri. Tangan Cakra itu hangat banget, menyelimuti tanganku yang dingin sampai ke tulang jari.
Aku terpaku. Badanku tidak bisa bergerak. Semua sensor tubuhku hanya merasakan kehangatan tangannya yang memegang.
“Nggak usah mikirin macem-macem,” kata dia rendah, mata dia masih melihat jalan depan. “Tadi gue ajak lo jalan bukan buat nambah biaya.”
“...Terus?” Suaraku kecil, seperti kelinci yang takut diserang.
Dia menatap lampu merah yang belum berubah—lampu itu menyala terang di antara kegelapan sore. Senyumnya muncul tipis. Sangat tipis. Tapi cukup buat hatiku berdebar lebih kencang.
“Karena gue pengin.”
Aku tambah bingung. Tambah deg-degan. Tambah takut juga.
Karena semakin lama, rasanya semakin tidak seperti pura-pura. Seolah-olah kontrak itu sudah hilang, dan yang tersisa hanyalah aku… dan dia.
✨Bersambung…