Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara Yang Terpilih
Langit pagi tampak jernih ketika Wang Lin dan Mei Ling melangkah menuruni bukit. Embun masih menempel di rumput, udara lembap menyentuh kulit dengan lembut. Suara burung terdengar sayup dari kejauhan, kontras dengan keheningan yang mereka bawa setelah semalam membakar langit.
Wang Lin berjalan di depan dengan tangan terlipat di belakang.Matanya menatap jauh ke lembah, di mana terlihat bayangan kota kecil yang mulai ramai oleh aktivitas manusia.
“Kau yakin tempat ini aman?” tanya Wang Lin tanpa menoleh.
Mei Ling mengangguk pelan.
“Untuk sementara. Kota Aurel bukan tempat yang besar, tapi cukup jauh dari pusat kekaisaran. Mereka tidak akan menyangka seorang seperti kau bersembunyi di sini.”
Wang Lin tersenyum tipis.
“Aku tidak bersembunyi. Aku cuma... istirahat.”
“Istirahat dari dunia, atau dari dirimu sendiri?” balas Mei Ling cepat.
Wang Lin menatapnya sekilas.
Ada kehangatan aneh di balik tatapan dingin itu, sesuatu yang tak terlihat ketika ia masih menjadi Dewa Asura yang kejam.
“Mungkin keduanya,” katanya sambil tertawa kecil. “Ternyata jadi manusia itu... cukup melelahkan.”
Mei Ling ikut tersenyum. “Kau bahkan belum mencoba sarapan manusia.”
Wang Lin mengangkat alis. “Sarapan?”
“Kau akan tahu setelah mencobanya. Tidak semua energi bisa diserap dari api dan amarah.”
Mereka berdua akhirnya tiba di gerbang kayu sederhana bertuliskan: Kota Aurel.Suara pasar, tawa anak-anak, dan aroma makanan mulai menyambut mereka.
Wang Lin berdiri terpaku sejenak, matanya mengamati semua hal dengan rasa heran.
“Jadi... begini rasanya hidup di dunia tanpa peperangan.”
Mei Ling menoleh sambil tersenyum lembut.
“Tenang, kau akan terbiasa. Tapi tolong, jangan membakar siapa pun hanya karena mereka menatapmu terlalu lama.”
“Heh, aku tidak sejahat itu,” Wang Lin terkekeh pelan.
Mereka berjalan menyusuri jalan batu, melewati pedagang yang menawarkan buah dan kain berwarna.
Sesekali anak-anak kecil berlari sambil tertawa, beberapa berhenti menatap Wang Lin dengan mata berbinar.
“Kakak tinggi banget!” seru salah satu bocah sambil menunjuk.
“Dan rambutnya kayak api!”
Wang Lin terdiam, sedikit canggung.
Mei Ling hanya menutup mulutnya, menahan tawa.
“Kau... tidak bisa menyembunyikan aura itu sepenuhnya,” katanya pelan.
“Bahkan manusia bisa merasakannya.”
“Aku mencoba, tapi mungkin... api ini terlalu keras kepala,” sahut Wang Lin dengan senyum kecut.
Mereka berhenti di depan kedai kecil bernama Warung Embun Pagi. Mei Ling menarik Wang Lin masuk dan memesan dua mangkuk bubur panas.
Saat uapnya naik, Wang Lin menatapnya ragu.
“Kau yakin makhluk seperti aku bisa makan ini?”
“Kalau tidak mencoba, kau tidak akan pernah tahu kenikmatan jadi manusia,” jawab Mei Ling santai.
Wang Lin mengambil sendok, meniup perlahan, lalu mencicipinya. Dalam Sekejap, matanya langsung melebar.
“Hangat... tapi lembut. Aneh... rasanya seperti—”
“Ketenangan,” potong Mei Ling. “Itu rasa yang sudah lama kau lupakan.”
Wang Lin menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Kau benar. Rasanya... seperti rumah.”
Mereka makan dalam diam beberapa saat, hanya ditemani suara pasar di luar. Namun di kejauhan, di balik hiruk pikuk kota, sepasang mata lain mengintai dari balik jendela penginapan.
Sosok berjubah hitam menatap ke arah mereka sambil memegang gulungan tua bertanda simbol Asura.
“Dia sudah lahir kembali,” gumamnya pelan.
“Dan jika dia benar-benar memegang Bara Asura... maka dunia ini akan menyala sekali lagi.”
Sore mulai turun di Kota Aurel.
Langit berubah jingga, dan aroma masakan dari warung-warung mulai memenuhi udara.
Wang Lin berjalan santai di sisi jalan, tangan di belakang kepala, terlihat jauh lebih rileks dibanding biasanya.
“Kau tahu,” katanya tiba-tiba. “Hidup sebagai manusia ternyata... tidak seburuk yang kukira.”
Mei Ling yang berjalan di sebelahnya tertawa kecil.
“Tentu saja tidak. Manusia tahu cara menikmati hal-hal kecil seperti makanan, tawa, atau... waktu sore seperti ini.”
“Hmph. Aku tidak pernah mengerti mengapa kalian menganggap hal kecil seperti itu berharga.”
“Karena bagi manusia,” balas Mei Ling,
“kebahagiaan tidak datang dari kekuatan, tapi dari siapa yang ada di sampingmu.”
Wang Lin menatapnya sekilas.
Ada sesuatu di balik ucapannya yang hangat, tapi juga menekan bagian hatinya yang dulu beku.
“Kau terdengar seperti pernah kehilangan seseorang,” ujarnya pelan.
Mei Ling tersenyum samar.
“Mungkin. Tapi bukankah semua orang pernah kehilangan sesuatu? Bahkan Dewa Asura sekalipun.”
Wang Lin tidak menjawab. Hanya menatap langit yang mulai berwarna ungu, lalu menghembuskan napas pelan.
Mereka berhenti di jembatan kecil yang membentang di atas sungai. Arusnya berkilau terkena sinar senja, menciptakan pantulan yang menenangkan.
“Tempat ini...” Wang Lin berbisik, “... mengingatkanku pada surga lama. Sebelum semuanya terbakar.”
Mei Ling menatapnya dalam diam. Ia tahu, di balik nada lembut itu, ada ribuan tahun kesepian yang tak pernah diucapkan.
“Kau tidak perlu menyesali masa lalu,” katanya akhirnya.
“Yang penting adalah apa yang kau lakukan dengan kesempatan kedua ini.”
Wang Lin mengangguk perlahan.
“Kesempatan kedua... ya. Tapi setiap kali aku merasakan ketenangan, aku tahu sesuatu buruk sedang menunggu di baliknya.”
Dan seolah alam menjawab, suara keras terdengar dari arah pasar.
“Ledakan!”
Orang-orang menjerit, berlarian ke segala arah.
Wang Lin dan Mei Ling segera berbalik, melihat asap hitam membumbung dari tengah kota.
“Sepertinya firasatmu benar,” kata Mei Ling sambil menyiapkan jimat di tangannya.
Wang Lin mengepalkan tangan, bola api kecil muncul di telapak tangannya.
“Aku hanya ingin makan malam tenang. Tapi rupanya dunia tidak memberi izin.”
Mereka berlari menuju sumber asap.
Di antara kepulan api dan reruntuhan, muncul sosok berjubah hitam dengan simbol Asura di dada.
Matanya bersinar merah darah, dan di tangannya menggenggam pedang panjang berukir runa kuno.
“Dewa Asura,” suara berat itu menggema. “Akhirnya kau menunjukkan dirimu.”
Wang Lin berdiri tegak, mata menatap tajam.
“Dan siapa kau sampai berani memanggilku dengan nama itu?”
“Kami,” jawab pria itu sambil tersenyum dingin, “adalah Para Penjaga Bara. Kami menjaga warisanmu agar tidak jatuh ke tangan manusia. Tapi sekarang—”
Ia menurunkan tudungnya, memperlihatkan wajah muda dengan bekas luka panjang di pipi.
“kami tahu bara itu sudah kembali padamu. Dan tugasku adalah mengambilnya... meski harus membunuhmu.”
Wang Lin tersenyum samar, lalu melangkah maju.
Udara di sekitarnya mulai bergetar, panas naik seperti kabut tipis.
“Membunuhku?” katanya pelan. “Kau tidak tahu... aku pernah membakar langit.”
BOOM!
Ledakan cahaya merah meledak di tengah jalan, membuat batu-batu terlempar ke udara.
Penduduk berteriak dan berlari, sementara dua kekuatan mulai bertabrakan di tengah api senja.
Mei Ling berlari ke arah samping, membentangkan jimat pelindung untuk menahan serpihan energi.
Matanya menatap Wang Lin yang kini diselimuti cahaya merah menyala.
“Dia... mulai membangkitkannya lagi,” bisiknya pelan.
Pertarungan baru telah dimulai dan kali ini, bukan hanya kekuatan, tapi masa lalu yang akan menuntut harga.