Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Florencia: Acak
“Pak Sang …,” panggil Florencia, tepat ketika Sang berjalan di depan mejanya menuju ke ruangan kantor yang berjendela kaca besar dan pintu tak pernah tertutup itu.
Suaranya yang rendah dan mendengung itu tidak mungkin tidak dikenal oleh siapapun yang mendengarnya, apalagi Sang.
Sang berhenti dan melihat si jangkung Florencia berlari-lari kecil ke arahnya. Gaya khasnya itu tak mungkin tidak diacuhkan. Hari itu rambutnya dicepol biasa, sedangkan poninya bergoyang-goyang seperti tirai di depan keningnya.
Seperti biasa, busana yang dikenakan Florencia selalu menarik perhatian. Ia mengenakan dress panjang hitam biasa, tetapi luarnya ditutupi dengan knitwear checked oversized cardigan dengan warna putih dan pink terang. Sepatu high sneakers merah menjadi alas kakinya, menyempurnakan gaya ajaib sekaligus menariknya itu.
“Nih, buat Bapak,” ujarnya sembari menyerahkan sesuatu.
Sang mengernyit, kemudian tertawa. “Apaan ini?”
“Nggak tahu. Mirip Bapak soalnya. Jadi aku beli,” ujar Florencia sembari terkekeh.
Sang melihat sebuah gantungan kunci boneka kain berisi dakron dengan kepala berbentuk karakter seekor kucing hitam bermata bulat sempurna.
“Kok bisa? Mirip darimananya?” ujar Sang masih tertawa kecil.
Florencia ikut tertawa. “Mata Bapak kan bulat gitu.”
“Dan karena kulit saya hitam?”
Florencia mendelik, pipinya mengembang.
Sang tertawa lebih keras melihat respon terkejut Florencia. “Bercanda, bercanda …,” ujarnya, tahu bahwa Florencia tidak bermaksud seperti itu.
“Aku nggak bilang gitu, lho, Pak. Nggak ada aku bilang spesifik soal warna kulit. Tapi, ya, mau gimana lagi, kan, Pak?” Florencia kini yang tertawa.
Keduanya sama-sama tertawa dalam rentang waktu yang lama. Namun, Sang sudah tak memperpanjang lagi. “Thanks, ya, Flo. Lumayan, buat gantungan kunci mobil,” ujarnya.
Florencia kemudian segera berlalu, meninggalkan Sang yang mesam-mesem sendiri melihat betapa konyol bentuk gantungan kunci tersebut.
Setelah kejadian di kantornya itu, sisa hari berjalan normal bin biasa. Florencia yang sepagi ini sudah kembali melakukan sesuatu yang acak kepada Sang tidak menyisakan aktifitas apapun yang menyambungkan kejadian pagi itu.
Sang merasakan ada semacam percikan yang aneh di dasar hatinya yang paling dalam. Sialnya, ia tak tahu itu apa. Selain tak berhasil mendefinisikan, Sang pun tak berniat untuk menggalinya lebih dalam saking tidak pahamnya ia apa dengan jenis perasaan tersebut.
Kepala kucing hitam dengan sepasang mata bulat sempurna itu sukses menggantung di kunci mobilnya.
“Acak banget kamu, Flo,” gumamnya.
Sang melirik ke arah meja Florencia. Wajah gadis itu tak terlihat, tertutup layar laptop dan tumpukan berkas. Namun, cardigan kotak-kotak putih pink-nya itu menandakan sungguh ia sedang berada di satu titik yang ada. Gadis itu ada di sana.
Sang terhenyak.
Mengapa kehadiran sosok itu kini memberikan semacam tanda tanya. Ada perasaan aneh mengenai keberadaan seorang Florencia. Entah aura macam apa yang dibawanya.
Ah, paling-paling karena gadis itu memang sosok yang aneh, yang luar biasa nyeleneh. Kadang mengganggu, kadang … hmm … kadang apa ya? Sang tak berhasil mendapatkan kata yang tepat.
Sang melorotkan tubuhnya di kursi.
Kok sampai kepikiran seperti ini, sih? Lelah sekali mendadak rasanya. Artikel yang ditulis para penulis di divisinya itu belum selesai-selesai ia cek. Pikirannya melayang entah kemana. Satu judul ditinggal, lompat ke judul lainnya. Satu paragraf selesai ia baca, mendadak ia lupa apa isinya tadi.
Mendadak Sang tersenyum sendiri tanpa tahu penyebabnya. “Kayak orang gila,” batinnya. “Persis kayak si Sia Sia,” lanjutnya.
Kembali, tanpa sadar, seharian penuh, otak Sang penuh dengan pikiran tentang Florencia. Gara-gara ihwal sederhana. Tanpa tanda-tanda, Florencia memberikannya gantungan kunci pagi ini kepadanya. Sesederhana dan seacak itu.
Bahkan ketika sudah waktunya pulang kerja pun, tidak ada komunikasi yang intens antara Sang dan Florencia, padahal sebelumnya, bahkan di awal hari, keduanya berhasil tertawa bersama, cukup lama bahkan, akibat kejadian yang remeh tetapi bermakna tersebut.
Sang teringat bahwasanya Florencia memang senang melakukan hal-hal yang selalu tidak stabil. Kadang terlihat selalu hadir, selalu heboh, selalu berinteraksi olehnya. Kadang sama sekali seperti hilang ditelan bumi.
Hari ini adalah gabungan keduanya.
Masalahnya, kenapa Sang berpikir bahwa segala tindakan Florencia ada hubungannya dengannya? Bukankah wajar-wajar saja seseorang memiliki sifat tertentu.
Mungkin di alam bawah sadarnya, Sang berharap Florencia menggunakan waktunya lagi untuk ‘mengganggunya’, apalagi pagi ini dengan gaya khas acaknya itu, Florencia datang dengan segala raut wajah cerianya itu.
Dan itu tak terjadi sama sekali, sepanjang hari. Maka, muncullah perasaan ‘tak biasa’ itu, yang mengganggu sekaligus membuatnya bertanya-tanya.
Malam harinya, Gendhis heboh melihat gantungan kunci imut yang dibawa ayahnya dari tempat kerja dengan tidak sengaja.
Gendhis menyentuhi boneka kepala kucing itu dengan penuh minat.
“Dari Ie Ie Sia Sia,” kata Sang melihat ketertarikan Gendhis yang jelas terlihat itu.
“Lucu banget, sih, Pa,” respon Gendhis.
“Mau? Ambil aja,” ujar Sang kepada anak perempuannya itu.
“Nggak deh, Pa. Bagus kok jadi gantungan kunci mobil Papa,” tolak Gendhis. Matanya masih berbinar-binar terpesona dengan sosok kucing hitam bermata bulat tersebut.
“Itu dari Sia Sia, Sayang? Dalam rangka apa?” tanya Florentina melihat kehebohan anak perempuannya itu.
Sang mengedikkan bahunya. “Tahu sendiri dia orangnya acak,” jawab Sang santai.
Memang benar apa yang ia katakan, meskipun tidak secara mendetail bahwa Florencia sengaja membeli gantungan kunci boneka itu karena berpikir bahwa ada kemiripan diantara ia dan karakter tersebut.
“Yang lain dikasih juga?” lanjut tanya Florentina. “Barangkali oleh-oleh apa buah tangan, gitu?” tanya Florentina lagi dengan selidik.
Sang kembali mengedikkan bahunya. “Nggak tahu. Tapi, ya mungkin aja. Namanya aja random,” Sang terkekeh.
Florentina ikut tersenyum, paham maksud suaminya itu, mengingat siapa seorang Florencia itu. Memang susah membicarakan seorang Florentina kepada orang lain. Mereka yang mengenalnya, terutama dari sisi luar, pasti tahu bahwa tidak mudah untuk memahami sifat, karakter dan perilaku sosok tersebut. Namun, di sisi lain, Florentina tidak berniat untuk membuat nama Florencia menjadi lebih buruk, atau menjadi bulan-bulanan pembicaraan yang tidak baik, apalagi mengejek. Ia ingat sekali mengatakan bahwa ia dan Florencia sama-sama introver, meskipun berbeda aliran. Florentina menarik diri dari dunia dengan menutup mulutnya, sedangkan Florencia tidak membuka diri kepada dunia, tetapi terus berbicara.
Di sisi lain, Sang sama sekali tidak menutupi apapun mengenai Florencia kepada istrinya tersebut. Buktinya, gantungan kunci yang diberikan Florencia pun diketahui Florentina bahkan Gendhis.
Saat itu Sang hanya masih bertanya-tanya tentang percikan kecil yang aneh di dalam dirinya tentang sosok Florencia. Ia belum merasakan ledakan besar yang kelak akan terjadi, dan ia tak siap dengan itu, tak akan ada yang pernah siap dengan situasi seperti itu.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk