Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang yang mencurigakan
Setelah film selesai diputar di layar lebar dan lampu bioskop perlahan kembali menyala, suasana di dalam ruangan mulai riuh oleh suara penonton yang berdiri dan bercakap-cakap sambil beranjak pergi. Kai sebenarnya masih menyimpan niat untuk mengajak Lesham berjalan-jalan lagi ke suatu tempat, mungkin sekadar mengitari pusat kota atau duduk di sebuah kafe yang buka hingga larut. Namun, niat itu langsung ia urungkan begitu matanya menangkap raut wajah gadis itu diam, tak bergeming di kursinya, dengan tatapan kosong yang seperti menembus layar di depannya. Terlihat jelas pikirannya sedang melayang entah ke mana, seolah ada sesuatu yang jauh lebih berat menguasai benaknya dibandingkan cerita film yang baru saja mereka tonton.
Dalam hati, Kai menyadari bahwa memaksanya untuk melanjutkan jalan-jalan hanya akan membuat suasana kian canggung. Ia memilih untuk mengalah, lalu mengarahkan mobil ke jalan pulang. Namun, di tengah perjalanan, ketika melewati sebuah deretan ruko yang sebagian masih terang oleh lampu, hidungnya menangkap aroma masakan yang begitu menggoda. Spontan, ia membelokkan kemudi dan menepi di depan sebuah rumah makan yang cukup ramai, terlihat dari bayangan para pengunjung yang bergerak di balik pintu kaca.
Ia mematikan mesin, menoleh sebentar ke arah Lesham yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan masih sama kosongnya seperti tadi. “Sebelum pulang, kita makan dulu,” ucap Kai sambil melepaskan sabuk pengamannya, lalu segera keluar dari mobil.
Lesham hanya melirik sekilas, tidak mengeluarkan komentar apa pun, tetapi tetap mengikuti langkahnya menuju pintu masuk. Begitu mereka melangkah masuk, udara hangat bercampur aroma rempah langsung menyambut, membuat suasana terasa sedikit lebih nyaman. Seorang pelayan menyodorkan buku menu, namun Kai tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Ia memesan sup ayam untuk keduanya, teh chamomile untuk dirinya, dan segelas susu hangat untuk Lesham.
Setelah pesanan dicatat dan buku menu diambil kembali, Kai menyandarkan punggungnya, tetapi pandangannya tak lepas dari Lesham yang duduk di seberang. Gadis itu masih saja memandangi lalu lalang orang di trotoar melalui jendela, seakan apa yang terjadi di luar sana jauh lebih penting daripada percakapan yang mungkin terjadi di meja ini.
“Ada masalah?” tanya Kai akhirnya, dengan alis sedikit berkerut. Nada suaranya terdengar tulus, tetapi ada juga rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan. “Sejak di bioskop tadi, kau terlihat murung.”
Lesham perlahan menoleh, tubuhnya sedikit condong ke depan. Nada suaranya mengecil saat ia berkata, seolah tak ingin kata-katanya didengar oleh orang lain. “Kau tahu? Aku sedang dibuntuti seseorang.”
Kai sontak terdiam, memandangnya lebih serius. “Kau yakin?”
Lesham mengangguk pelan namun mantap.
“Sejak kapan?” tanya Kai, nadanya kini lebih rendah, hampir seperti gumaman yang hanya bisa terdengar oleh mereka berdua.
“Sejak kita menonton tadi,” jawab Lesham tanpa sedikit pun keraguan.
Kai menegakkan tubuh, matanya bergerak cepat menyapu area sekitar, mencari tanda-tanda orang yang mencurigakan. “Kau yakin orang itu masih ada di sini? Aku tidak melihat siapa pun yang tampak mencurigakan,” ujarnya sambil menurunkan suaranya lebih lagi.
“Dia sudah tidak ada di sini,” jawab Lesham. “Sepertinya dia berhenti mengikutiku.”
Kai menghela napas, lalu mencondongkan badan ke depan. “Apa kau punya musuh sekarang? Baru kali ini aku mendengar ada orang yang membuntutimu. Pantas saja wajahmu tampak berbeda sejak tadi.”
Tak lama kemudian, pesanan mereka tiba. Kehangatan sup ayam yang mengepul dan aroma teh chamomile mulai memecah ketegangan. Mereka memutuskan menunda pembahasan itu dan memilih menikmati hidangan yang rasanya ternyata cukup memanjakan lidah.
Namun, di tengah makan, Lesham tiba-tiba membuka topik yang membuat sendok di tangan Kai terhenti di udara.
“Aku ingin mengikuti pelatihan taekwondo,” ucapnya dengan nada datar.
Kai mengangkat sebelah alis, tatapannya penuh rasa heran. “Tiba-tiba saja?”
“Aku bosan tinggal di rumah besar itu. Hanya tidur, makan, lalu sekolah. Rasanya seperti terjebak di dalam kotak yang sama setiap hari,” jawab Lesham, suaranya tenang tetapi tersirat kejenuhan yang dalam.
Kai bersandar di kursinya, melipat kedua tangan di dada. “Terserah kau saja, asal jangan melakukan hal yang aneh. Oh ya, ngomong-ngomong… di sekolah, kau masih diganggu oleh mereka? Anak-anak yang dulu membully-mu itu?”
“Masih… tapi tidak sesering dulu.” Lesham menatap supnya sebentar sebelum melanjutkan, “Bagaimana dengan tubuhku yang di rumah sakit itu? Ada tanda-tanda perubahan?”
Kai mengerutkan alis, mencoba mengingat. “Sejauh ini, tubuhmu belum menunjukkan pergerakan apa pun. Tapi aku masih bingung sampai sekarang… kalau jiwamu masuk ke tubuh anak ini, lalu di mana jiwa anak itu? Apakah dia masih berkeliaran di luar sana? Aku… kasihan padanya. Hidupnya pasti tidak tenang.” Bibirnya sedikit memanyun, menandakan pikirannya sedang melayang ke arah yang tidak ia mengerti sepenuhnya.
“Entahlah,” gumam Lesham. “Aku belum merasakan tanda-tanda dia menemuiku, baik di dalam mimpi maupun di dunia nyata.”
Malam itu, perjalanan pulang mereka berubah menjadi lebih waspada ketika Kai mulai menyadari motor berwarna hitam yang sejak keluar dari rumah makan tetap berada di belakang mobilnya, menjaga jarak dengan konsisten. Kai memperlambat laju mobil, dan pengendara motor itu ikut melambat. Dari pantulan kaca spion, ia bisa memastikan bahwa ini bukan kebetulan.
“Pegang sabuk pengamanmu,” ucap Kai singkat, nada suaranya tegas namun terkendali.
Lesham segera meraih sabuk pengaman, jemarinya sedikit bergetar. “Apa yang akan kau lakukan?”
Kai tidak langsung menjawab. Matanya fokus pada jalan, pikirannya menghitung rute alternatif. Ia membelokkan mobil ke jalan kecil yang sepi, diapit bangunan tua yang sebagian sudah kosong. Lampu jalan di sini redup, beberapa bahkan mati sama sekali.
Motor itu tetap mengikuti.
Kai tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai perhitungan daripada kegembiraan. “Bagus… dia terpancing.”
Ia menambah kecepatan secara tiba-tiba, lalu memotong jalan ke sebuah gang sempit yang nyaris tak cukup untuk dua mobil berpapasan. Ban mobil berdecit pelan, aroma karet terbakar samar tercium. Lesham merapatkan tubuh ke kursi, matanya membulat, napasnya memburu.
Motor itu ikut masuk, tetapi di ujung gang, Kai melakukan manuver mendadak berbelok tajam ke halaman parkir sebuah gedung kosong, mematikan lampu mobil, lalu berhenti di sudut gelap di antara dua truk kontainer.
Lesham menahan napas, tubuhnya menegang.
Beberapa detik kemudian, suara motor melintas di luar gang. Pengendara itu rupanya terus melaju lurus, tidak menyadari bahwa mobil Kai sudah menghilang dari pandangan.
Kai menunggu lima belas detik lagi, memastikan situasi benar-benar aman sebelum menyalakan mesin kembali dan keluar dari tempat persembunyian.
“Dia tidak akan tahu ke mana kita pergi,” ucapnya datar, meski matanya tetap menyimpan kewaspadaan.
Lesham menghela napas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya yang masih cepat. “Kalau kau bosan hidup, jangan mengajakku bodoh, astaga jantungku masih berdetak kencang”
Kai hanya tersenyum tipis. “Heheh.... Maaf”
Namun, begitu mereka kembali ke jalan raya utama, Lesham secara refleks menoleh ke kaca spion. Di kejauhan, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, ia melihat siluet motor hitam yang sama terparkir di pinggir jalan, seperti sedang menunggu.
Bulu kuduknya langsung meremang. “Kai, ternyata Orang itu masih mengikuti kita.”
Kai tidak menoleh, hanya menggenggam setir lebih erat. “Kalau begitu, kita harus cari tahu… siapa dia, dan apa maunya saat ini, dia seperti ingin mengincar sesuatu darimu.”
Mobil itu kembali melaju, namun atmosfer di dalamnya terasa jauh lebih berat dan dingin dibandingkan ketika mereka berangkat dari bioskop tadi.