Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Pagi itu, Bagas datang ke sekolah dengan pikiran kacau. Bayangan tentang Alya yang diseret paksa oleh pria asing terus menghantuinya, membuat dadanya sesak sejak malam tadi. Ia datang lebih awal, berharap bisa bertemu Alya dan mendapatkan penjelasan langsung dari gadis itu.
Setibanya di sekolah, Bagas langsung menuju gerbang tanpa menoleh ke mana pun. Langkahnya cepat, sorot matanya gelisah. Ia yakin hari ini Alya akan datang. Ia bertekad akan bicara, akan memaksa gadis itu jujur.
Namun, waktu terus berjalan. Bel pertama berbunyi. Kelas dimulai. Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Tapi bangku Alya tetap kosong. Tak ada tanda-tanda kehadirannya. Dan itu membuat dada Bagas semakin sesak.
Dia duduk gelisah di kursinya. Setiap kali pintu kelas terbuka, kepalanya refleks menoleh, berharap Alya muncul dengan wajah lelah seperti biasa. Tapi yang datang hanya angin. Hampa.
Hingga siang menjelang, Bagas benar-benar yakin " Alya tidak datang ke sekolah hari ini."
Dan pikiran itu menghantamnya lebih keras dari tinju kemarin.
"Apa Alya baik-baik saja?"
"Apakah dia terluka?"
" Apa pria itu kembali menyakitinya?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Bagas, tanpa jawaban. Yang ia dapatkan hanya keheningan. Sebuah sunyi yang menyesakkan.
Saat bel pulang berbunyi, Bagas tidak langsung keluar kelas. Ia menatap ponselnya. Sudah berkali-kali ia mengirim pesan sejak pagi.
" Alya, kamu di mana?"
" Tolong kabari aku."
" Aku cuma mau tahu kamu baik-baik aja."
Tapi tak satu pun dari pesan itu dibaca. Tak ada centang dua. Tak ada balasan.
Dengan cepat ia keluar dari sekolah, menyalakan motor tuanya, dan melaju menuju rumah Alya. Angin menerpa wajahnya, tapi dingin itu tak mampu mendinginkan kegelisahan dalam dadanya.
Setibanya di sana, Bagas turun dan berdiri di depan pagar. Rumah itu tampak sunyi. Jendela tertutup, tirai tertarik rapat. Ia mencoba memanggil dari luar pagar, mengetuk dengan nada panik, bahkan sempat menggedor.
Namun tak ada suara. Tak ada yang keluar. Rumah itu kosong. Seolah penghuninya menghilang begitu saja dari dunia.
Bagas kembali mengirim pesan, lalu mencoba menelepon.
Nada sambung terdengar sebentar… lalu panggilan diputus.
Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Menunggu notifikasi. Menunggu sesuatu. Apa saja. Tapi layar itu tetap membisu.
Ia duduk di trotoar, membiarkan motor tuanya berdiri di pinggir jalan. Matanya memandangi rumah yang kini hanya menjadi simbol dari semua misteri yang tak terjawab.
Ke mana kamu, Alya? pikirnya.
Bagas menunduk, menggenggam rambutnya sendiri. Ia nyaris putus asa. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, rasa takut benar-benar menguasainya.
...
Rehan masih duduk di meja makan, menatap pintu yang kini tertutup rapat, lalu menghela napas panjang. Tangannya yang semula menggenggam sendok kini bertumpu di meja. Di depannya, satu benda kecil tergeletak begitu saja. ponsel milik Alya.
Matanya menatap ponsel itu sekilas.
Retak. Hampir di seluruh layarnya.
Tanpa banyak pikir, ia meraih ponsel itu. Dinginnya terasa asing di tangannya. Ia tahu seharusnya tak menyentuh barang pribadi orang lain, tapi... bukankah Alya adalah miliknya? Istrinya.
Dan rasa itu... rasa ingin tahu... atau lebih tepatnya, rasa cemburu... mulai menggerogoti pikirannya.
...
Beberapa menit kemudian, Reihan berada di ruang kerja pribadinya. Ruangan itu sepi, lampu kuning temaram menggantung di atas meja kayu besar yang rapi. Ia duduk, menunduk, menatap ponsel Alya yang masih ia genggam. Satu ketukan. Layarnya menyala. Tak ada sandi. Terbuka.
Ia diam beberapa detik. Jari-jarinya menggulir layar.
Lalu...
Pesan-pesan dari satu nama muncul beruntun. Bagas.
“Kenapa kamu nggak masuk hari ini?”
“Alya... kamu baik-baik aja, kan?”
“Aku khawatir...”
Reihan membeku. Rahangnya mengeras. Matanya menajam, membaca satu per satu kalimat seolah mereka adalah peluru yang ditembakkan langsung ke dadanya. Bagas... Teman sebangku Alya. Pria yang kemarin tertawa bersama gadis itu.
Berani-beraninya... batin Rehan mulai mendidih.
Dan seolah semesta sengaja menguji kesabarannya, ponsel itu tiba-tiba berdering.
Nama yang sama muncul besar di layar. Bagas menelepon.
Reihan menatap nama itu sejenak. Kemudian, tanpa ekspresi, ia menekan tombol merah. Menolak panggilan.
Detik berikutnya, ponsel berdering lagi. Bagas menelepon kembali.
Kali ini Rehan berdiri. Sorot matanya berubah. Dinginnya bisa membekukan udara ruangan. Ia menatap layar itu seperti ingin membakar nama yang terpampang di sana.
Klik. Ia tolak lagi panggilannya.
“Berani sekali dia menganggu istriku...” gumamnya rendah, tapi beracun.
Tangannya mengepal. Dada Rehan naik turun cepat. Rasa marah dan cemburu berbaur jadi satu, membuatnya ingin menghancurkan sesuatu. Kepalanya dipenuhi bayangan. Bagas menyentuh Alya, Bagas membuat Alya tersenyum, Bagas ada di hatinya...
Tidak.
Itu semua tidak boleh terjadi.
Dengan satu gerakan cepat, Rehan mematikan ponsel Alya. Tanpa ragu, ia membuka laci meja, menarik tempat sampah kecil dari bawah meja, dan melemparkan ponsel itu ke dalamnya begitu saja.
Duk!
Ponsel itu mendarat di dasar tempat sampah dengan dentuman pelan, namun cukup keras untuk memuaskan ego Rehan sejenak.
Ia berdiri mematung. Dada masih naik turun.
“Kalau dia pikir bisa mengambil Alya dariku... dia salah besar.”
Rehan berjalan pelan ke arah jendela besar di ruang kerjanya, membuka tirai sedikit, memandangi langit mendung di luar sana.
Ia tahu Alya akan marah. Mungkin akan berteriak, menangis, atau mengumpat saat tahu ponselnya hilang. Tapi Rehan tak peduli.
.