Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 16
Semalaman Amar tidak bisa memejamkan matanya. Apalagi setelah mendapatkan informasi dari dokter kalau Aliyah kritis.
Amar bingung setengah mati. Hari sudah menjelang pagi, sementara keadaan Aliyah masih mengkhawatirkan. Sedangkan dirinya juga harus bekerja, tapi tak mungkin ia meninggalkan istrinya begitu saja.
Drrrtt ...
Semenjak semalam, Amar mengganti semua notifikasi ponselnya dengan mode getar. Terlihat di layar ponsel, ternyata Nana yang menghubunginya. Amar lantas segera mengangkat panggilan itu.
"Ha-"
"Hua ... Ibu ... Mbu ... Ibu ... Mbu ... " baru saja Amar mengangkat panggilan Nana, tapi yang terdengar pertama kali justru lengkingan tangisan Gaffi dan Amri.
"Yah, ayah, bagaimana ini? Gaffi sama Amri dari tadi nangis terus. Nana udah coba diemin, tapi nggak mau diem juga. Mana udah jam segini, tapi Nana belum mandi. Nana kan mau sekolah, Yah. Gimana ini?" terdengar suara sarat akan frustasi dari Nana membuat Amar memijat pangkal hidungnya. Terlalu fokus dengan Aliyah dan pekerjaan, membuat Amar lupa kalau di rumah ada anak-anaknya yang membutuhkan ibunya. Tapi saat ini ibu dari anak-anaknya saja belum pasti kondisinya. Meskipun operasi berjalan lancar, tapi kondisi kesehatan Aliyah yang menurun membuatnya kritis.
"Ayah, ibu mana? Ibu udah bangun kan? Gaffi sama Amri manggil ibu terus, Nana harus apa?" Keluh Nana yang sudah hampir menangis. Sepanjang malam ia selalu kepikiran keadaan sang ibu, lalu di pagi ini ia justru dihadapkan dengan tangisan kedua adiknya.
Dulu, biasanya Nana merasa kesal dengan lengkingan tangis keduanya, tapi kali ini tangisan itu justru membuat hatinya pilu. Bagaimana kalau ibunya benar-benar pergi meninggalkan mereka? Bagaimana nasibnya dan adik-adiknya?
Seketika Nana teringat pada Nafisa. Tak terbayang kalau wanita itu menggantikan ibunya. Bila sebelumnya Nana begitu mengidam-idamkan Nafisa menjadi ibunya. Selain karena cantik, Nafisa juga baik dan suka memberinya uang jajan.
Tapi itu dulu.
Sekarang?
Nana justru merasa jijik.
Bagaimana kalau Nafisa benar-benar menggantikan ibunya?
Nana menggeleng cepat. Ia tak mau ibunya digantikan oleh perempuan lain. Terlebih perempuan itu adalah Nafisa. Apa yang dilihatnya kemarin benar-benar membuatnya jijik.
"Ibu ... Ibu belum sadarkan diri," jawab Amar lirih.
Nana syok. Padahal dari kemarin pagi ibunya tidak sadarkan diri, lalu hingga kini ibunya belum juga sadarkan diri.
Lantas bagaimana kalau ibunya benar-benar pergi.
Nana takut. Benar-benar takut.
"Yah ... "
"Sebentar lagi ayah pulang. Kamu tolong jaga adik-adik ya. Hubungi guru kamu, bilang kalau kamu hati ini tidak bisa sekolah," pesan Amar sebelum panggilan ia tutup.
Amar meraup wajahnya frustasi. Lalu ia beranjak dan berdiri di depan kaca yang menampakkan Aliyah yang seluruh tubuhnya telah ditempeli berbagai peralatan medis. Jantungnya bagaikan diremas.
Setelah sekian lama acuh tak acuh dengan perkembangan anak-anaknya, bahkan Amar sama sekali tidak peduli apa yang anaknya butuhkan dan inginkan, tapi hari ini terpaksa ia turun tangan mengurusi anak-anaknya.
Amar lantas meminta izin pada perawat untuk pulang sebentar mengurus anak-anaknya. Setelah itu, ia pun segera pulang.
Setibanya di rumah, kepala Amar sontak berdenyut nyeri. Semua barang berantakan. Cangkir kotor pun masih di meja. Bahkan cangkirnya kemarin pagi pun masih terkapar di atas meja. Belum lagi, suara lengkingan Gaffi dan Amri menambah keruwetan pikirannya.
"Ayah," panggil Nana yang sudah berderai air mata. Melihat adik-adiknya tak ada yang mau diam membuat Nana jadi ikut menangis. Sejak tadi yang adik-adiknya teriakan hanya ibu, ibu, dan ibu. Nana benar-benar bingung.
Amar menghela nafas panjang, lalu ia segera menghampiri Gaffi dan Amar yang sedang tantrum karena tidak menemukan Aliyah.
"Gaffi, Amri," panggil Amar.
Mendengar suara Amar, Gaffi pun mengkeret. Ia pun beringsut dari tempat tidur dan masuk ke dalam selimut seperti seorang yang benar-benar ketakutan. Tubuhnya bergetar membuat Amar sampai terhenyak.
Lalu ia mencoba mendekati Amri. Berbeda dengan Gaffi yang memilih bersembunyi, Amri justru makin berteriak. Apalagi saat Amar meraih Amri dalam gendongannya, bocah 2 tahun itu langsung berontak. Ia terus bergerak ingin melepaskan diri sambil berteriak kencang.
"Amri, ini ayah, Nak!" ujar Amar pelan. Tapi Amri terus memberontak seakan Amar adalah orang asing baginya.
"Mbu ... Mbu ... Ikut Mbu ... " teriak Amri sambil terus memberontak.
Amar sudah mencoba segala cara untuk mendiamkan Amri, tapi bocah 2 tahun itu tetap saja memberontak.
"AMRI, KAMU BISA DIEM NGGAK SIH? AYAH PUSING TAU NGGAK! PUSING!" teriak Amar kencang sampai urat-urat di lehernya menonjol. Nana dan Gaffi yang mendengar teriakan Amar sampai terkesiap.
"Assalamualaikum, astaghfirullah pak Amar, kenapa bapak bentak anak bapak seperti itu? Nggak boleh, pak," peringat tetangga Amar yang baru saja datang untuk melihat keadaan anak-anak Aliyah.
Amar terkejut saat mendapati tetangganya datang ke rumah.
"Bukan maksud saya seperti itu, Bu. Tapi sejak tadi Amri tidak mau diam jadi saya terpaksa meninggikan suara saya," ujar Amar membela diri.
"Tapi tetap aja nggak boleh, Pak. Bapak tahu, membentak anak kecil khususnya balita itu berpotensi merusak perkembangan otak anak. Jadi tolong Anda bisa lebih bersabar. Apalagi yang Amri lakukan itu termasuk wajar. Ia yang sehari-hari bersama ibunya lalu tiba-tiba ibunya menghilang, jelas saja dia bingung. Anak-anak tidak bisa mengungkapkan kegelisahan dan kebingungannya. Mereka hanya bisa menangis jadi tolong pahami anak Anda. Anda ini orang tuanya, seharusnya Anda paham akan hal itu," jelas tetangga Amar berusaha tenang. Meskipun dalam hati sebenarnya ia ikut kesal melihat sikap Amar.
Lalu wanita paruh baya itu meraih Amri ke dalam gendongannya. Tak disangka, Amri langsung memeluk leher wanita itu sambil sesenggukan.
"Cup, cup, cup, diem ya anak ganteng, anak baik. Jangan nangis lagi ya, Sayang. Amri kangen ibu, ya?" ucap ibu itu sambil mengusap punggung Amri berharap Amri bisa lebih tenang.
"Mbu ... Dedek mau ibu. Mbu ... Mbu ... ikut, Mbu," lirih Amri sesenggukan.
Amar memejamkan matanya. Amar selama ini memang tidak dekat dengan anak-anaknya. Kesibukannya sekali menjadi alasan. Pulang bekerja pun tak pernah ia manfaatkan untuk menemani anak-anaknya baik belajar ataupun bermain. Sepulang kerja, biasanya ia hanya manfaatkan untuk bersantai-santai sambil main ponsel sampai matanya mengantuk. Kemudian ia tidur dan bangun pada pagi harinya untuk bekerja. Pun setiap akhir pekan, Amar lebih suka bersantai-santai. Namun berbeda dengan beberapa Minggu ini, ia justru lebih memilih bertemu Nafisa dan menghabiskan waktu dengan rekan kerjanya itu. Jadi ia nyaris tak pernah ada waktu untuk dekat dengan anak-anaknya. Baginya, tugasnya hanya bekerja dan mencari nafkah, sedangkan urusan rumah dan anak-anak adalah urusan Aliyah selaku ibu rumah tangga.
Sibuk termenung dengan pikirannya, tiba-tiba ponselnya kembali bergetar. Kali ini atasannya lah yang menghubunginya.
"Halo ... "
"Amar, apa-apaan kau ini? Ini sudah jam berapa, kenapa kau belum ke kantor? Dan mana laporan yang aku minta kemarin? Kenapa belum ada di atas mejaku?" tegas atasan Amar.
Amar terhenyak. Ia hampir saja lupa. Jadi ia mengatakan kalau ia sedang menjaga istrinya yang sedang kritis. Amar juga mengatakan kalau laporan yang atasannya itu minta sudah ia selesaikan dan sekarang ada di laci meja kerjanya.
Selang beberapa menit setelah panggilan ditutup, atasannya kembali menghubunginya.
"Kau mau membohongiku, hah? Tak ada laporan itu laci meja kerjamu."
"Tapi pak, aku benar-benar sudah membuatnya dan menyimpannya di dalam sana."
"Tak usah beralasan. Bukankah saya sudah bilang jangan sampai kau membuat satu kesalahan lagi? Tapi ternyata kau masih melakukannya. Jadi siap-siap saja kau akan menerima surat peringatan pertama."
"Tapi pak ... "
Tut tut tut ...
"Aaargh ... " Amar mengerang frustasi. Bagaimana bisa laporan itu menghilang? Padahal ia saja sudah susah payah membuatnya.
"Ayah, Gaffi demam tinggi," pekik Nana tiba-tiba.
Amar terkejut. Ia pun segera menghampiri Gaffi yang masih bersembunyi di balik selimut. Saat mata mereka bersirobok, Gaffi kembali ketakutan dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Amar pun segera memegang dahi Gaffi dan benar saja, Gaffi sedang mengalami demam tinggi. Bahkan tubuhnya sampai bergetar hebat. Amar bingung. Benar-benar bingung. Kenapa masalah datang bertubi-tubi menimpanya seperti ini?
...***...
...**HAPPY READING **...
...❤️❤️❤️...
𝐭𝐨𝐢𝐥𝐞𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐢𝐛𝐮
𝐝𝐨𝐚 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐨𝐚 𝐢𝐛𝐮
𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐭𝐦 𝐚𝐧𝐤 𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮
𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮 𝐥𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐠 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐚𝐧𝐚𝐤𝟐𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐬𝐤𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐧𝐲𝐚 😭😭😭😭😭
𝐜𝐢𝐫𝐢𝟐 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐡𝐝𝐮𝐩 𝐦𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐤 𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐤 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐦𝐞𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐩 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐩𝐧𝐲 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚
𝐦𝐚𝐦𝐚𝐦 𝐭𝐮 𝐚𝐦𝐚𝐫 𝐬𝐮𝐤𝐮𝐫𝐢𝐧