Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15.
Bukan kemenangan itu sendiri, melainkan bagaimana bahagia yang terpancar dari wajah cantik Naina saat namanya diumumkan sebagai pemenang. Senyum lebar gadis itu membuat Julian merasa lega sekaligus puas. Entah kenapa, hatinya ikut tenang hanya karena melihat Naina berbahagia.
Langkah Julian mantap, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya. Di depan sana, Naina tampak melambaikan tangan berulang kali, seolah tak sabar menemuinya.
“Akhhh, kelamaan!” seru Naina, sebelum akhirnya berlari kecil dan langsung berhambur ke dalam pelukan Julian. Kali ini, Julian tak lagi terkejut. Ia berdiri tegak, menopang tubuh mungil itu dengan tenang, membiarkan kehangatan pelukan mereka bertahan lebih lama.
“Selamat, karena sudah menang,” ucap Naina sambil mendongak, matanya berbinar penuh semangat. “Kan sudah aku bilang, kamu itu layak. Apalagi…”
“Apalagi?” Julian mengangkat alisnya, pura-pura tak sabar.
“…tampan banget.”
"Hais bibirnya pakai melet gitu, kalau aku cium too much nggak ya?" batin Naina saat tanpa sadar Julian membasahi bibirnya.
Gadis itu terlalu hanyut. Matanya tak berkedip, pandangannya terus berlabuh pada bibir itu setiap kali Julian bicara. Tanpa sadar, jemari halusnya terulur, berani menyentuh benda kenyal itu.
Krekk!
“Aishhh, sakit!” Naina meringis, wajahnya cemberut sambil menahan perih ketika Julian tiba-tiba menggigit jarinya.
“Ngapain, hmm?” suara Julian merendah, tangannya bergerak ke pinggang gadis itu, menahannya dalam dekapan hangat.
“Ti… tidak! Hanya… hanya tadi aku lihat lalat di bibirmu,” dalih Naina gugup, berusaha menutupi rasa malunya.
Julian tersenyum samar. “Ruangan ini steril, dari mana ada lalat?” tanyanya santai, seakan tahu gadis itu sedang berbohong.
“E-emm, Julian… kamu kan menang ya...” Naina buru-buru mengalihkan topik. “Bagaimana kalau kita merayakannya? Aku traktir makan, yuk!” Ia menarik tangannya, mengajak pergi.
Tapi Julian tak beranjak. Ia tetap berdiri kokoh, matanya menatap dalam.
“Kenapa?” bisik Naina heran.
Julian tak menjawab. Ia justru mendekat, meruntuhkan jarak di antara mereka.
Cup!
Deg! Jantung Naina seperti mau meledak saat bibir Julian benar-benar menyentuh bibirnya.
“Julian!” suaranya tertahan, lebih mirip teriakan kecil bercampur keterkejutan.
“Untuk menghapus jejak lalatnya,” sahut Julian ringan, seolah itu hal biasa. “Masa rela bibir ini dihinggapi lalat?” tambahnya dengan senyum tipis yang sukses membuat wajah Naina semakin panas.
Gadis itu menunduk, buru-buru melangkah menjauh dengan pipi merah padam, sementara Julian hanya terkekeh melihat tingkahnya.
...----------------...
Naina dan Julian kini duduk berhadapan di sebuah restoran mewah bergaya Italia, tempat favorit Naina sejak lama. Namun, berbeda dari biasanya, suasana kali ini terasa janggal. Naina lebih banyak diam, hanya memainkan garpu di tangannya. Kontras sekali dengan sikapnya yang biasanya selalu cerewet dan penuh energi.
Julian yang memperhatikannya jadi salah paham. Tatapannya tak lepas dari wajah Naina, membuatnya sibuk dengan pikirannya sendiri.
Apa aku keterlaluan? Dia nggak suka, ya?
Bayangan kecupan singkat tadi kembali mengganggu kepalanya. Kenapa aku bisa nekat begitu?
"Kenapa aku diam saja? kenapa aku seolah menikmati hal itu? ayolah Naina, jangan gampang baper, ingat kisah cintamu yang kandas dengan Aaron, dia berbuat semaunya saat kamu bucin, jangan sampai terulang lagi!" Sama halnya dengan Julian, Naina juga sedang perang pikiran dan rasa aneh di hatinya yang memang bertolak belakang.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, membuat keheningan yang biasanya nyaman kini justru terasa canggung.
"Yang tadi."
"Julian."
Mereka berdua saling menatap saat baru saja bersamaan membuka suara.
"Kamu duluan!" ujar Julian.
"Kamu saja!" timpal Naina cepat.
Julian tersenyum tipis, lalu menghela napas.
"Maaf untuk yang tadi... kamu tidak suka, ya?" gumamnya dengan suara rendah, seolah takut menyinggung lagi.
Naina tidak langsung menjawab. Tangannya hanya bergerak memainkan garpu, menekan-nekan piring yang berisi makanan. Sesaat kemudian ia mendongak, menatap Julian, lalu menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa," ucap Naina tersenyum canggung.
.
.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, seorang pria berpakaian serba hitam duduk tenang. Topi yang ia kenakan nyaris menutupi matanya, membuat wajahnya sulit dikenali. Tatapannya tak lepas dari meja tempat Naina dan Julian berada.
Cekrek!
Tidak hanya melihat, dia juga memotret kebersamaan mereka secara diam-diam.
Beberapa menit kemudian, saat Julian dan Naina meninggalkan restoran, pria itu bangkit. Langkahnya ringan, namun arahnya jelas mengikuti keduanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...