Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cedera dan Mual
Sudah lewat beberapa malam sejak kejadian Lucas bertemu dengan Damian dan kini keadaan sudah lebih tenang. Termasuk dengan hubungan Amori dan Lucas yang berjalan cukup pesat. Amori masih suka bertingkah bodoh dan salah tingkah setiap Lucas memberikannya perhatian. Tapi belakangan Amori sudah bisa membalas ucapan Lucas dan tidak selalu gagu.
“Mor, Lucas minta ganti bandage.”
“Oke, sebentar.” Amori menaruh kembali box berisi makan siang Lucas dan segera menghampiri pria itu. “Kurang kencang ya? Kayaknya saya belum terlalu mahir. Apa nggak Dani aja yang pasangin?” Lucas menggeleng. Ia menunduk, menatap Amori sambil tersenyum lembut.
“Karena keringat, bukan karena kamu kurang mahir.” Amori menyembunyikan senyumnya dan melanjutkan pekerjaannya. Ia menekan di beberapa tempat tertentu, agar plester yang ia pasangkan di sekitar lutut Lucas cukup kuat dan nyaman.
“Lucas!” mereka menoleh dan melihat Tyler Walsh yang menyuruh Lucas untuk kembali ke lapangan dengan segera. Terlihat tanpa beban, Lucas kembali ke lapangan setelah sempat mengucapkan terima kasih pada Amori.
Latihan berjalan seperti biasa. Mereka melakukan pertandingan uji coba dengan salah satu tim IBL setelah makan siang selesai. Walaupun berada dalam kondisi yang masih cedera, Lucas tidak terlihat kesulita. Ia tetap menampilkan performa yang baik dalam membantu timnya mencetak angka.
“Lucas!” bola yang dioper cepat ke arahnya berhasil Lucas tangkap dan dengan konsentrasi penuh, ia berhasil mencetak 3 poin. Lucas sempat melihat ke tribun, dan menemukan Amori yang bertepuk tangan untuknya. Senyumnya pun ikut tercetak lebar karenanya.
Pertandingan berjalan cukup sengit. Bonding di antara anggota timnas sudah mulai terbentuk dengan chemistry yang cukup baik. Namun tetap, masih ada beberapa anggota tim yang memiliki rasa tidak suka dengan keberadaan Lucas. Mereka berpikir, ada banyak pemain lokal yang lebih pantas menempati posisi Lucas.
Bola memantul jauh setelah tembakan lawan melenceng dan mengenai ring. Arga Pratama, dari tim nasional, dengan cepat mengambil posisi box out, mendorong sedikit tubuh lawannya untuk mengamankan area rebound. Tangannya terangkat tinggi, dengan mata yang fokus mencari kemana ia harus mengoper bola.
Melihat posisi Lucas yang cukup terbuka, menunggu di luar area tiga angka, ia dengan cepat mengoper bola. Dengan sigap Lucas mengambil bola dan mendorong tempo permainan, berlari membawa bola ke garis tengah.
Dua rekan sayapnya ikut berlari membuka ruang, mengawal Lucas dengan Arga yang ikut berlari dan ikut mengisi jalur tengah. Namun seolah tidak membaca taktik, seorang pemain lain ikut bergerak ke arah Lucas, dan ketika bola beralih ke Arga, pemain itu dengan cepat menabrak Lucas dan membuat rekannya itu terlempar dan membentur permukaan lantai dengan cukup kencang.
Pertandingan itu mendadak berhenti, dengan erangan Lucas yang terdengar cukup memilukan. Dani dengan cepat berlari ke tengah lapangan, diikuti oleh beberapa petugas medis. “Lutut lo Cas?” Lucas mengangguk. Matanya mengernyit kesakitan ketika petugas medis berusaha meluruskan kakinya.
Amori menyaksikan Lucas yang dibopong ke sisi lapangan dengan raut yang khawatir. Ia ingin menghampiri, tapi sudah ada begitu banyak orang yang mengurus Lucas. Perutnya pun tiba-tiba bergejolak, hingga dengan cepat ia berlalu ke toilet terdekat.
Amori memuntahkan hampir semua makan siangnya. Ia terengah, dan ketika melihat wajahnya dari pantulan kaca di washtafel ia tidak tahan untuk tidak mengeluh. Sudah beberapa hari ini ia merasa mudah sekali mual. Kata Nora, itu mungkin bawaan hamil. Tapi morning sickness bukannya hanya terjadi di pagi hari?
Amori menambahkan perona bibirnya sebelum kembali ke stadion. Tapi ketika baru keuar dari kamar mandi ada sosok yang terlihat terengah menghampirinya. “Mba Amori, dicari Lucas.” dengan terburu-buru mereka berjalan ke ruang perawatan. Disana Lucas masih berbaring di atas ranjang, dengan lutut yang sedang dibalut dengan perban khusus.
“Gimana Dan?” Dani menoleh sekilas pada Amori yang berdiri di sampingnya.
“Lumayan, memar gara-gara kebentur. Tapi anaknya ditanya bilang oke oke doang.” Amori menautkan tatapannya dengan milik Lucas. Pria itu terus menatapnya, seolah meminta sesuatu yang Amori tak pahami. Dadanya terasa bergetar, tapi ia dengan cepat menepis perasaan aneh apapun yang muncul.
Setelah seleai, satu persatu orang keluar dari ruangan. Termasuk dokter yang sudah seleai menangani Lucas. “Mor, titip Lucas ya. Gue mau ngomongin jadwal terapinya, kayaknya harus dimajuin.” Amori mengangguk pelan. Matanya masih terpaku pada lutut Lucas yang dibebat erat.
“Amor.” suara Lucas membuat pandangan mata Amori pada lutut Lucas terputus. Ia melihat Lucas mengulurkan tangannya, dan langsung menghampiri pria itu. Tangannya langsung digenggam dan dipeluk di dada.
“Tadi kemana?” Amori membiarkan Lucas menggenggam tangannya walau gugup. Entah perasaannya saja atau benar, tapi Lucas menghela seolah lega dengan kehadirannya.
“Kamar mandi. Kamu, gimana? Apa yang dirasa?” suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia rencanakan. Sedikit gemetar tanpa sadar.
Ketika tatapannya akan kembali turun pada lutut Lucas, pria itu meremat lembut tangannya hingga tatapan mereka kembali bertaut. “Nggak sakit. Don’t be worry.” Lucas tersenyum menenangkan. Tapi Amori tak terpengaruh.
“Kamu harus jujur, kalau mau cepet pulih.”
“Saya benar nggak apa-apa. Cuma—-awwww!” Pria itu memekik sambil menekuk tubuh. Tangannya memegang lutut yang sengaja Amori pukul walau pelan.
“Katanya nggak apa-apa?” ringisan Lucas perlahan berubah menjadi kekehan geli walau wajahnya masih merengut kesakitan.
“Ya kalau dipukul tetep sakit, Amor.” Ia lalu bangkit duduk, membuat Amori meringis khawatir. “See? Saya udah nggak apa-apa.” melihat sirat khawatir masih pekat di netra Amori, Lucas memberikan sentuhan lembut di pipinya.
“Somehow i think, you have the same feeling for me. And i hope that's true.” Wajah Amori sontak memanas. Ia ingin menarik tangannya dari genggaman Lucas, tapi pria itu menggeleng tidak mengizinkan.
“Saya—ambil barang dulu. Kayaknya ada yang ketinggalan di bench.” suaranya terdengar terbata, terbaca jelas oleh Lucas kalau ia hanya sebuah alasan untuk menghindar.
Sekali lagi Amori berusaha untuk menarik tangannya, tapi Lucas kembali menahan. “Stay.” suara rendah Lucas terdengar tegas dan lugas. Tatapannya menyorot lebih serius dan membuat tubuh Amori kaku tak bia lagi berusaha kabur.
“S–saya—” mencoba mencari alasan yang lebih meyakinkan, Amori malah semakin tergagap dibawah tatapan Lucas. Pria itu bukannya mengerti kalau Amori butuh udara lebih banyak untuk menjernhkan otaknya yang mendadak beku, malah semakin mengikis jarak di antara mereka.
Lucas mencondongkan tubuhnya, hingga jarak wajah mereka membuat napas Lucas berhembus hangat di permukaan wajah Amori. “Saya tahu, kalau kamu sadar betul bagaimana perasaan saya ke kamu.”
Amori menelan ludahnya susah payah, pandangannya tidak bisa berhatahan lebih dari satu detik membalas tatapan Lucas. Ia melihat jelas, pandangan Lucas selalu berpindah dari mata ke bibirnya yang setengah terbuka.
“Amor—” dengan gerakan perlahan yang menyesakkan, wajah Lucas semakin mendekat sementara milik Amori kaku tak tiba bergerak. Tapi baru saja Lucas memeringkan kepalanya, gejolak di perut Amori kembali datang dan menghancurkan suasana.
***
Bersambung....