Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuduhan Palsu
"Aku harus pulang, Em. Ini sudah pagi."
Wajah Emma cemberut saat menatap Reyhan merapikan pakaiannya dengan cepat. Kedua tangan bersilang di dadanya.
"Kamu nggak suka lama-lama sama aku, Rey? Padahal aku masih ingin sama kamu."
"Emma, sadarlah. Kita sudah terlalu jauh. Dan aku memiliki Adelia di rumah. Aku harus pulang. Tolong..."
"Ya sudah kamu hati-hati ya, Sayang. Sampai jumpa saat kita di kantor," sahut Emma dengan sikap manja sambil memberi pelukan kecil.
Reyhan mengusap rambut Emma dengan lembut. "Iya. Aku pamit dulu ya."
"Ok. Hati-hati."
Pagi itu udara begitu dingin, aroma hujan semalam masih melekat di pekarangan rumah. Reyhan baru saja sampai di rumah setelah begadang dalam rutinitas baru perselingkuhannya.
Namun bukan rasa rindu yang menyambutnya—melainkan tumpukan tas belanjaan mahal yang belum sepenuhnya selesai Adelia bereskan.
Kotak-kotak sepatu berlabel internasional, baju-baju baru yang warnanya mencolok, dan beberapa kantong kertas butik yang bahkan Reyhan jarang lihat sebelumnya.
Kening Reyhan berkerut. "Dari mana semua ini? Aku tidak pernah memberinya uang belanja sebanyak ini … Apa dia mulai—"
Langkahnya terasa berat saat masuk kamar. Adelia masih tertidur pulas di ranjang, tubuhnya tampak kecil dibalut selimut tipis. Ujung gaunnya masih sedikit lembap, seolah semalam ia kehujanan.
"Del…" panggil Reyhan, suaranya rendah namun mengandung kecurigaan. Ia menyentuh bahu istrinya, mengguncangnya lembut.
Adelia terbangun pelan, ia menguap. "Rey? Kamu sudah pulang? Maaf aku ketiduran…"
"Barang-barang itu…" suara Reyhan terdengar dingin. "Dari mana?"
Adelia menunduk, menggenggam ujung selimut. "Itu … Vincent yang kasih…"
"Vincent? Siapa dia?!" Reyhan langsung meninggi, tatapannya menusuk.
"Teman masa kecilku. Dia nggak sengaja ketemu aku semalam saat aku ingin mencari soto … dan—"
"Jangan bohong, Del! Apa kamu pikir aku bodoh?!" Reyhan menepis tangan Adelia saat wanita itu mencoba menggenggamnya.
"Kamu pikir aku nggak tahu berapa harga tas dan gaun seperti itu!"
"Reyhan! Jangan suudzon padaku! Aku nggak pernah melakukan apa yang kamu pikirkan sekarang!"
"Kalau begitu kenapa menerima semua itu? Apa kamu sudah menjual diri pada pria lain hanya untuk barang-barang mewah itu, Del?" Apa bayi itu bukan anakku? Atau ... memang ada campur tangan Vincent pada bayi itu."
Plak! Tangan Adelia bergetar setelah menampar wajah Reyhan. Air matanya jatuh deras. "Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu? Aku ini istrimu, Reyhan! Istrimu! Apa sedikitpun kamu nggak percaya padaku?"
Reyhan terdiam sesaat, wajahnya menegang. Rasa bersalah sempat menghampiri, tapi egonya menutupinya. "Kamu nggak pernah cerita ada teman masa kecil. Lalu tiba-tiba pria itu muncul dan memberimu hadiah. Apa aku harus percaya begitu saja?"
"Bukan aku nggak mau cerita. Tapi aku pun takut. Kamu makin jauh. Ditambah kehadiran Vincent itu tiba-tiba saat aku ingin makanan di luar."
Adelia mulai menangis, tubuhnya gemetar. Ia memeluk perutnya yang sudah mulai membuncit. "Bahkan sekarang pun kamu udah mulai berubah. Aku nggak mau kehilangan kamu…"
Reyhan hanya menatapnya dingin, lalu berbalik. "Jangan pernah terima apapun dari pria itu lagi."
"Kalau aku nggak sengaja ketemu dia lagi, Rey? Kamu mau apa?" desak Adelia menantang, suaranya pecah.
"Kalau sampai ada yang kulihat lagi seperti ini, jangan salahkan aku kalau aku benar-benar pergi, Del.”
Dan dengan itu, Reyhan keluar dari kamar, meninggalkan Adelia terisak sendirian.
"Aku bahkan tidak berbuat buruk, tapi kenapa selalu aku yang jadi korban," lirih Adelia pelan di sela-sela tangisnya.
Sore itu Reyhan duduk sendirian di teras rumah, memandang hujan yang turun rintik-rintik. Ingatannya masih dipenuhi pertengkaran pagi tadi.
"Apa aku terlalu jauh? Apa benar Adelia hanya korban amarahku?" batinnya bertanya-tanya. Tapi bayangan Adelia memeluk barang belanjaan itu terus menghantui pikirannya.
Seharian penuh mereka tidak saling menyapa, setelah perdebatan kecil terjadi. Keduanya lebih banyak diam. Seolah tidak ada orang lain yang tinggal di tempat yang sama.
Ponsel Reyhan bergetar. Pesan masuk dari Emma: 'Mau temani aku bertemu keluargaku di Singapura nggak? Mereka ingin bicara sesuatu denganmu, Rey.'
"Singapur? Itu artinya aku harus menginap lagi di sana. Dan Adelia di Jakarta akan sendirian," bisiknya pelan.
Namun, Reyhan belum bisa mengambil keputusan. Ia sama sekali tidak membalas pesan itu.
Di sisi lain, kediaman Jonathan.
"Jadi benar, Karin? Kamu mengajukan perceraian?!" Suara Ny. Jonathan bergema di ruang keluarga yang mewah itu.
Karin duduk tegak, wajahnya dingin namun elegan. "Ya, Ma. Aku sudah memproses semuanya. Sesuai perjanjian pranikah, aku tidak mengambil harta lebih dari yang sudah disepakati sebelumnya."
"Berani sekali kamu bicara begitu di rumah ini! Apa kamu pikir menikahi Reno hanya untuk mengeruk harta lalu pergi begitu saja?!" bentak Ny. Jonathan, wajahnya memerah karena amarah.
Karin menghela napas panjang, lalu menatap ibu mertuanya dengan mata yang tajam. "Bukti memang tidak ada, Bu. Tapi aku mendengar langsung—Reno dan Emma sempat bermesraan bersama. Apakah aku harus mempertahankan pernikahan seperti itu hanya demi bisnis keluarga kita?"
Ny. Jonathan mengetukkan jarinya ke meja. "Kau istri, kamu seharusnya bisa mengerti kalau pria sesekali khilaf—"
"Maaf, Mama." Karin memotong dengan suara tenang namun menusuk. "Pernikahan ini terjadi karena bisnis kita menyatu. Tapi bukan berarti Reno sebagai suami berhak membuat keonaran dengan bermain di belakang aku. Kalau aku harus memilih: akan lebih memilih kehilangan harta daripada kehilangan harga diri."
Reno mengepalkan tangan. "Karin, kau nggak pernah mencintaiku sejak awal. Jangan memutarbalikkan fakta!"
"Justru karena aku tidak mencintaimu, Ren … aku bersikap adil. Kamu bebas mencintai siapa saja, dan aku bebas pergi tanpa membawa kehancuran bagi kalian. Bukankah kamu juga dengan mudahnya pergi dari masa lalumu dulu?"
Hening panjang memenuhi ruangan. Ny. Jonathan menatap Karin dengan tatapan tajam.
"Jaga ucapanmu itu, Karin! Kamu tidak berhak menghakimiku."
"Dan kamu juga tidak berhak menahanku karena di sini bukan penjara."
"Apa kamu pikir kau pintar, Karin?" ucapnya dingin.
"Bukan pintar, Mama. Aku hanya wanita yang cukup waras untuk meninggalkan rumah tangga yang sudah lapuk sebelum semuanya runtuh di depan publik. Bagaimana kalau seandainya saja aku mengumumkan fakta bahwa Reno berselingkuh dengan Emma. Meskipun aku tidak memiliki bukti, tapi ... pihak wartawan sendiri yang akan mengoreknya. Itu jauh lebih buruk dibandingkan dengan perceraian ini, bukan?"
"Kurang ajar kamu, Karin! Ini balasanmu atas pernikahan kita!"
Karin hanya tersenyum sinis. Ia tidak merasa takut atas bentakan Reno. "Kau ... kau harusnya cukup sadar, Ren. Tidak selamanya berdiri di belakang ibumu ini menjadi sebuah keajaiban dengan membuat segala hal yang kamu mau."
"Jangan semakin lancang, Karin. Aku bisa saja membunuhmu sekarang."
"Silahkan lakukan yang kamu mau. Karena aku sudah lebih dulu merekam pembicaraan kita. Dalam satu klik! Rekaman ini akan tersebar jika kamu ... memang berniat mengancamku."
"Karin, kamu..." Reno terdiam sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Ny. Jonathan menghela napas berat. Dalam hatinya ia kesal, tapi ia juga mulai resah dengan kehadiran Emma—wanita itu sudah terlalu dekat dengan kedua putranya. 'Emma … kau jauh daripada yang aku pikirkan,' pikirnya sambil meremas jemarinya.