Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Di Balik Warna
Di atas tebing yang menghadap hutan Lembang, Ratna berdiri dengan jaket kulit hitamnya yang robek di bagian lengan, rambutnya dikuncir tinggi, dan di tangannya—sebuah tablet transparan yang memancarkan peta digital dengan titik-titik panas yang bergerak lambat.
“Energi thermal tidak biasa terdeteksi. Sumber stabil, bukan reaksi alam,” gumamnya sambil mencubit layar.
Salah satu titik di layar menyala terang, hampir keunguan, dengan denyut berirama seperti jantung.
“Cat radioaktif…” katanya lirih.
Ia menekan tombol kecil di kerahnya.
“Director Cain, ini Junkcore. Target mendekati konfirmasi. Terdapat jejak aktivitas warna gamma—kemungkinan besar subjek WN-13 berada di wilayah Lembang, koordinat 107.6 BT dan 6.8 LS.”
Suara Cain terdengar dari earpiece-nya, tenang dan tajam seperti biasa.
“Jangan buang waktu, Junkcore. Tangkap dia hidup-hidup jika memungkinkan. Tapi jika dia sudah terlalu... cair, kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Ratna tersenyum miring.
“Kalau cair, tinggal diperas sampai habis.”
Ia meletakkan tablet, lalu menarik sebuah koper logam besar dari tanah. Dengan sekali gesekan sidik jari, koper itu terbuka dan menampilkan rangkaian logam hitam, kabel, dan modul armor.
“Waktunya kerja,” gumamnya.
Udara bergetar ketika armor mulai menyatu dengan tubuhnya. Pelat-pelat logam kaku menempel di tubuh Ratna dengan suara mendesis dan klik yang ritmis. Mata helm menyala merah, dan LED pada punggung serta dada berpijar seperti bara dalam mesin pabrik.
Junkcore telah bangkit.
Modul magnetokinesis di punggungnya mendesis, lalu mengangkatnya ke udara dengan dorongan medan elektromagnetik. Debu dan daun kering beterbangan dari tanah. Dengan kecepatan tinggi, Junkcore melesat ke arah barat—menuju kedalaman hutan Lembang.
Sementara itu, di markas Torque Queen, suasana justru tenang. Ajie sedang membersihkan pelat luar armor-nya dengan lap khusus, sementara Melly mencatat sesuatu di papan digital tentang jalur aliran cat.
Faisal sedang tertidur di kursi beanbag, mulutnya sedikit terbuka, dan setengah sandwich masih tergenggam.
“Gue rasa kita perlu warna baru,” kata Melly sambil menatap panel warna. “Lo udah coba campur biru dan ungu?”
Ajie tertawa kecil. “Jadi warna galau?”
“Bisa jadi cat penghilang mantan,” balas Melly cepat.
Tiba-tiba, suara beep panjang terdengar dari sistem keamanan markas.
Lampu merah menyala. Sirene kecil berdengung pelan.
Melly langsung berdiri. “Itu... gerakan udara cepat. Sesuatu masuk zona radar kita dengan kecepatan 800 km/jam.”
Ajie menoleh. “Burung? Jet?”
Melly menatap layar yang kini menunjukkan siluet armor berwarna hitam dengan LED merah berkedip.
“Bukan,” bisiknya. “Itu... manusia.”
Drone pengawas otomatis langsung keluar dari markas, terbang menembus pohon. Layar di markas menampilkan gambar real-time—Junkcore sedang melayang rendah, matanya bersinar merah, dan dua pelat senjata mulai terbuka dari bahunya.
Ajie melangkah mundur. “Siapa itu?”
Melly menelan ludah. “Ratna Wijayanti.”
“Temen lo?”
“Bukan. Dia pemburu.”
Di layar, Junkcore menatap lurus ke arah kamera drone dan menghantamnya dengan pelat bahu.
Layar langsung hitam.
Ajie dan Melly saling pandang.
Lalu, dari kejauhan... DOOOUUMMM!
Suara ledakan kecil terdengar dari sisi bukit. Getaran terasa hingga ke lantai markas.
Melly segera menekan tombol darurat. Armor dinding mulai bergerak menutup, panel senjata disiapkan.
“Dia tahu kita di sini,” kata Melly. “Dan dia gak datang buat ngobrol.”
Ajie berdiri tegak, mengenakan helmnya kembali.
Mata helm menyala ungu.
Dari atas bukit, siluet hitam bersinar merah mulai tampak di balik kabut.
Junkcore tiba.