Wanita mandul, beban, miskin, tidak tau diri dan kata-kata cemoohan lain sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Laura Sabrina Puti. Tak hanya itu saja tetapi kekerasan dalam rumah tangga pun sering dia dapatkan tentunya dari sang suami juga dari ibu mertuanya. Laura, tentu saja dia hanya diam atas perlakuan kedua orang yang sialnya sangat ia sayangi itu.
Dia lalui semua kepahitan dan kesedihan menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak sehat ini sendirian. Hingga suatu ketika, rasa sayangnya kepada suami serta ibu mertuanya mengup begitu saja saat dengan tegasnya sang suami memperkenalkan wanita lain yang akan dijadikan istri kedua. Tentu saja tanpa persetujuan dari Laura. Laura hanya bisa menangis sejadi-jadinya setelah pertengkaran besar yang terjadi. Sungguh Laura benci perselingkuhan. Ia bertekad akan membalas dendam.
Mampukah Laura membalas perbuatan mereka? Dan apakah balas dendamnya akan berhasil? BACA SEGERA!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Erlinawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan akhir
Laura melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kearah salah satu ruangan yang ada di lantai dua rumah tersebut setelah dirinya tadi mendengar deruman suara mobil milik sang suami yang meninggalkan pekarangan rumah mewah tersebut. Jadi sudah di pastikan pergerakannya ini akan aman tanpa khawatir akan di ketahui oleh siapapun.
Laura menatap kearah pintu berwarna hitam di depannya. Tanpa ragu, tangannya bergerak untuk mengetuk pintu tersebut. Cukup lama Laura menunggu perintah seseorang di dalam ruangan itu hingga saat ia sudah menyerah karena berpikir jika sang pemilik ruangan tidak ada di dalam, bahkan tubuhnya sudah ia putar bersiap meninggalkan depan ruangan tersebut, namun ternyata tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya bersamaan dengan itu suara bariton dari seseorang terdengar.
"Masuk!" Perintahnya yang membuat Laura menolehkan kepalanya kearah sumber suara.
Terlihat disana seseorang yang tengah ia cari sedang duduk dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Laura sempat berpikir, jika orang itu sedari tadi berada di dalam ruangan, kenapa dia tidak kunjung memberikan perintah dirinya agar segera masuk kedalam ruangannya? Hah, persetan dengan hal itu, Laura memilih untuk segera masuk kedalam ruangan itu dan bertepatan dengan tubuhnya yang sudah berada di dalam, pintu ruangan tersebut menutup sendiri secara otomatis.
Laura diam tak langsung bicara. Jujur, ia bingung harus mulai darimana. Sedangkan laki-laki yang berada di hadapannya saat ini terus menatap kearah dirinya. Hingga suara decakan ia dengar, tanda jika laki-laki itu sudah bosan menunggu.
"Jangan buang-buang waktumu hanya untuk diam disini. Kamu tidak lupa bukan jika kamu harus segera bersiap-siap untuk pergi ke pesta pernikahan suami kamu? Jadi katakan tujuan kamu mendatangi ruangan saya sekarang?" ujar laki-laki tersebut mendesak Laura agar segera membuka suara.
Laura tampak menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya, "Saya setuju dengan rencana yang Papa tawarkan ke saya tiga hari yang lalu."
Keputusan itu membuat laki-laki yang tak lain adalah Maikel menaikan salah satu alisnya.
"Bukannya kamu waktu itu menolak mentah-mentah rencana yang telah saya buat itu? Lalu alasan kamu menerimanya kenapa?" tanya Maikel sembari menyangga kepalanya dengan kedua tangan.
"Sa---saya pikir waktu itu saya bisa menyusun rencana sendiri tapi setelah tiga hari berlalu saya tidak kunjung mendapatkan ide yang pas untuk membalas dendam ke mereka semua," jelas Laura apa adanya.
"Kamu tidak bisa mendapatkan ide sama sekali karena selama tiga hari itu pula fokus kamu selalu tertuju ke Julio. Bahkan saya pikir kamu akan tetap menjadi wanita bodoh seperti biasanya yang terus saja akan diam sampai nyawa kamu melayang di tangan mereka," sindir Maikel yang membuat Laura menundukkan kepalanya. Ia akui selama tiga hari ini ia merasa sangat-sangatlah bodoh. Harusnya ia fokus saja dengan rencananya untuk membalas perbuatan mereka, tapi nyatanya ia justru masih berkeinginan untuk memperbaiki rumah tangganya yang sudah runtuh tak tersisa itu. Sungguh, Laura saat ini merutuki kebodohannya itu. Dan sekarang, ia tersadar jika tak ada lagi yang bisa ia harapkan dari Julio dan dari hubungan rumah tangga mereka. Ia juga sudah tak ingin mendapatkan kekerasan fisik maupun mental dari Julio dan Beti. Cukup bodoh saja, Laura tidak ingin dia menjadi gila.
Tak ada tanggapan dari Laura, Maikel kembali bersuara, "Apa keputusanmu ini memang sudah kamu pikirkan secara matang-matang?"
Laura menegakkan kepalanya lalu dengan cepat ia menganggukkan kepalanya.
"Tidak akan ada kata menyesal dikemudian hari?"
"Tidak akan," jawab Laura tanpa ragu-ragu yang membuat Maikel mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah kalau begitu. Saya harap kamu memang tidak akan pernah menyesal di kemudian hari. Dan untuk surat perceraian kamu dengan Julio akan saya urus. Jika nanti sudah selesai, akan saya berikan ke kamu. Dan untuk saat ini, kembalilah. Kamu harus siap-siap datang ke acara pernikahan suami kamu," ujar Maikel yang sebenarnya terdengar sangat menyebalkan di telinga Laura. Ayolah ia sudah kepalang benci dengan Julio. Apalagi dengan acara yang akan di selenggarakan beberapa menit lagi itu. Tapi ayah mertuanya itu justru selalu mengungkit jika ia harus pergi ke pesta pernikahan Julio yang sayangnya masih berstatus suaminya sendiri. Ingin sekali Laura mengumpati Maikel, tapi mana berani dirinya, yang ada saat ia benar-benar mengumpat, saat itu pula lidahnya akan terbelah menjadi dua. Dan lebih baik dirinya menahan segala umpatannya itu, dan memilih untuk segara undur diri.
Pintu itu tertutup bertepatan dengan hilangnya Laura dari balik pintu tersebut, kini Maikel menerbitkan senyum miringnya.
"I got it," gumam Maikel dengan senyum penuh arti.
...****************...
Laura kini telah berada di sebuah gedung, dimana acara pernikahan kedua Julio di adakan. Tak ada satu orangpun di dalam ruangan itu yang mengenalnya kecuali keluarga Julio sendiri karena saat ia menikah dengan Julio, pernikahan mereka sengaja di sembunyikan dari khalayak ramai dengan alasan Julio tidak ingin nyawa Laura menjadi incaran musuh bisnisnya. Cih, alasan klasik. Kalau memang Julio takut orang yang dia cintai akan terluka, kenapa saat menikah dengan Almira pernikahan mereka di gelar sangat meriah dan di buka secara publik? Dan Laura sadar sekarang, alasan yang Julio berikan dulu bukanlah alasan yang sesungguhnya, melainkan laki-laki itu hanya tak ingin para media ataupun orang lain mengetahui jika dia menikah dengan perempuan yatim piatu dan hidup penuh kesederhanaan. Laura juga paham, pernikahan mereka tidak sepenuhnya karena Julio mencintai dirinya melainkan laki-laki itu menjadikan Laura sebagai alat penghasil anak. Dan setelah dia tidak mendapatkannya dari Laura, Julio justru berpindah ke lain hati. Sungguh Laura tak paham jalan pikiran suaminya itu, sebegitu mudahkan dia mempermainkan sebuah pernikahan yang sakral ini?
Laura tersadar dari pikirannya, saat suara seseorang yang teramat ia kenal menusuk telinganya.
"Bagaimana? Apakah kamu bahagia melihat suamimu berada di atas pelaminan dengan wanita lain yang sangat-sangat cantik dan jauh di atas kamu?" Laura memutar bola matanya malas.
"Tunggu, tanpa kamu jawab pun saya tau jika kamu sangat tersiksa sekarang, hahahaha. Memangnya enak. Makanya jadi perempuan itu jangan mandul. Di tinggalin kan sekarang. Oh ya satu lagi, semoga harimu selalu bahagia ya saat melihat suamimu hidup penuh kebahagiaan dengan keluarga barunya," ujar Beti yang entah sejak kapan dia berada di samping Laura. Sedangkan Laura, ia tetap bungkam, bukan karena dirinya masih takut dengan ibu mertuanya itu melainkan ia hanya tak ingin membuang-buang waktunya sekaligus tak ingin membuat kekacauan. Ayolah ini bukan saatnya dia membuat kekacauan, tapi ada saatnya hal itu akan ia lakukan.
Beti yang tak kunjung mendapat balasan dari Laura, ia memilih untuk pergi karena ada beberapa tamu yang harus dia sapa.
"Biarkan saja dia dilanda kesedihan dan sakit hati yang luar biasa, biar dia tau rasa," gumam Beti dengan lirikan sinisnya kearah Laura sebelum tatapan itu berubah menjadi teduh saat ia mulai menyapa tamu putranya.