Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Pembicaraan Singkat, tapi Berat
"Tidak sesederhana itu, Ma. Dulu, aku pun berpikir demikian. Ku kira aku memang harus banyak bersabar pada Erin, aku sadar betul ia bukan perempuan biasa. Dia anak gadis yang cerdas dan cantik, nyaris sempurna untuk gambaran luar. Aku coba untuk merangkulnya, menjadikan dia bidadari surga yang mulia. Sayangnya, bahkan 3 bulan lewat; nampaknya aku telah gagal. Aku gagal untuk membentuknya, melawan setiap emosinya yang membara, karena aku berpikir suatu saat karakter itu akan kalah sampai akhirnya aku menyerah." Rambo menghela napas, untuk kesekian kalinya berusaha tak mengalihkan kontak mata dari Papa Hendro.
"Dia adalah anak yang berbakti, Lagi-lagi ku katakan, dia terlalu sempurna untuk menggambarkan gambaran dirinya secara fisik. Tetapi sayangnya, aku menikahi dia untuk menjadi istri, bukan menjadi anak gadis yang harus selalu ku maklumi." Lanjut Rambo.
Papa Hendro menaikkan pandangan kembali pada Rambo. Meski tadinya ia mencoba untuk tenang dan santai, kini agaknya Rambo sudah mengguncang emosi sang mertua dengan buruk. Papa Hendro mengangkat badannya dari tempat duduk.
"Jaga bicara kau Rambo! setelah mengambil anakku lalu sekarang kau mengata-ngatai nya, seakan dia adalah penyebab semua masalah dalam rumah tangga kalian. Kenapa? apa karena kau sudah bosan dengan badannya jadi mau kau balikkan dia padaku begitu saja?"
"Perempuan itu kalau sudah cerai dia berbekas, laki-laki mana yang mau terima anak bukan perawan, janda lagi. Tapi kalau laki-laki mau duda mau apa pun tidak akan berbekas. Kamu tidak mikir ke situ, masa depan putri kami." Timpal mama Santi, kini dengan emosi yang sama meledaknya dengan sang suami.
"Aku belum pernah sentuh Erin. Kami belum pernah berhubungan badan, Ma Pa."
"Halah, kelakar. Kau mau tipu kami kah? Mana ada suami tidak sentuh istrinya sendiri, 3 bulan!"
Ayah mertua Rambo itu, selalu menyela jawaban Rambo. Namun yang kurang sedap adalah saat ia bicara dengan mimik wajah dan ekspresi badan yang kurang menyenangkan, buat geram. Terakhir, ia mengacungkan 3 jari, penggambaran pada kata 3 bulan.
"Sudah ku katakan Pa, aku selalu terima dan memaklumi Erin selama kami menikah. Dan keinginan ini, Erin sendiri yang minta. Katanya, belum siap hamil dan punya keturunan. Dua baru dipandang pimpinan kantornya, jadi Erin belum izinkan aku untuk menyentuhnya." Jawab Rambo, semua mengalir apa adanya, termasuk semua jawaban Rambo kali ini. "Papa mungkin tidak paham, sebab nampaknya papa selalu diperhatikan, apalagi mau merasakan apa yang ku alami. Kalau aku jangankan sarapan rutin begini, aku bisa makan di rumah saja sudah bersyukur setengah mati."
"Cukup!!! aku tidak akan respon apa pun untuk ini. Bawa putri kami ke sini, bawa juga keluarga kau. Sebelum temui aku sendiri begini. Aku tak akan menyetujui apa pun selagi belum ku dengar juga alasan darinya."
Rambo bangkit dari kursinya, kali ini ia paham bahwa posisi dirinya kini hanya buat keributan saja di rumah sang mertua. Rambo angkat badan, "Baik pa. Aku ambil Erin dari keluarganya baik-baik, karena itu akan ku kembalikan juga ia dengan cara yang benar dan terhormat. Terima kasih banyak Pa, Ma. Aku pamit pulang dulu."
Kepergian Rambo menimbulkan bekas berdebar di dada Papa Hendro, mertuanya. ia memang sudah cukup tua untuk marah-marah, terutama bila mengingat kondisi kesehatan jantungnya. Di satu sisi Rambo boleh bernapas lega saat ini, sampai makin tak sabar untuk menyampaikan kabar ini segera pada Marwah, belahan jiwanya.
Sementara dibalik itu itu, tepatnya pada rumah Rambo yang klasik. Erin turun dari lantai dua rumah, menemui Marwah di dapur.
"Marwah---" katanya dari belakang tubuh Marwah.
Marwah segera memutar badan, matanya membulat saat menemui sosok Erin dengan tampilan yang berbeda. Wajah sayu pucat dengan mata sembab, kantung mata tebal kehitaman, barang langka selama Marwah datang kerja di situ.
"Bu? ada apa?"
"Aku mau bicara dengan kamu!" Jawab Erin cepat.