Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14: Siapa?
Irma, gadis yang bisa dibilang tidak terlalu tinggi itu berdiri di atas pabrik, milik keluarganya. Irma menatap mesin-mesin pembuat cemilan lama yang sudah tak terpakai, dibuang sayang, dijual tidak berharga.
Ingatan-ingatan yang sempat terjadi muncul kembali, Irma kecil yang berlari kesana kemari dan dikejar papanya, Huang, sampai...
Flashback on
Irma, rok birunya yang menjuntai kesana kemari karena dirinya yang berlari menuju pabrik, tangannya yang mungil memegang sertifikat bertuliskan 'Irma Nurairini mendapat peringkat 1 di angkatan 2015'
"Papa! Papa!" Irma dengan gembira membuka pintu masuk ke pabrik. "Pa, Irma dapet ranking..."
Omongannya terpotong, ketika melihat Huang terduduk lemah, punggung yang biasanya tegap dan memancarkan aura optimis, kini bergetar, menunduk dan terasa sangat jelas sedih. "Satu.."
Irma menghampiri Huang, hal yang mengagetkan pun terlihat, sang papa menangis, lantai sudah basah akibat air matanya. "Pa, papa kenapa? Aku dapet ranking satu pa."
Huang berbalik dan memeluk anaknya itu, bingung rasanya, biasanya Huang menangis karena prestasi Irma semakin meningkat, namun kali ini Irma tangisan ini bukanlah karena bangga atau terharu. "Pa, papa bakal nepatin janji papa kan? Papa luangin waktu buat jalan-jalan bareng aku dan mama."
"I... iya nak."
Flashback off
Irma tersenyum miris. "Hal yang bikin mobil, sepeda, tv, semua yang nemenin gua dari kecil di jual untuk bertahan hidup."
"Dan semenjak Andrew dateng, ekonomi keluarga semakin membaik," Irma terduduk, memeluk kedua kakinya. "Tapi... gua harus ngorbanin kebebasan, harga diri dan... jati diri gua."
Irma menangis, tidak ada yang bisa membuatnya bahagia seperti dulu, keputusannya hanya akan merugikannya, putus atau menjauh dari Andrew hanya akan membuat Irma kembali miskin dan terasa mau mati.
Kalau Irma mempertahankan hubungan ini, Irma hanya akan mendapat rasa sakitnya setengah mati. Ditengah Irma yang sedang tenggelam dengan keadaannya saat ini, terdengar suara mesin drone yang mendekat.
Irma mendongak, terlihat drone putih dengan sebuah surat terikat disana. "Loh? Kenapa ada drone disini?"
Drone itu bergerak kesana kemari, karena penasaran, Irma berdiri, menghampiri drone itu dan melepaskan ikatan kertas.
Hi kak! Aku liat dari jauh, kayaknya kakak sedih kenapa? Kesini dong, aku punya hadiah buat kakak, aku ada di bangunan kearah jam 3 kalo disposisi pabrik, aku tunggu ya :)
Irma pun menengok ke arah yang ditulis di kertas, terdapat sebuah bangunan, ralat rumah berlantai 4 yang sudah terlihat tua, diatapnya terdapat seorang pria, walaupun tidak jelas wajahnya, hanya ada satu orang yang terlintas dipikirannya. "Andra?"
Irma yang penasaran langsung turun, keadaan pabrik yang masih ramai, berbeda dari beberapa tahun lalu yang sepi dan memancarkan kesedihan.
Irma mengayuh sepeda masa kecilnya, entah mengapa semakin ia yakin bahwa pria tadi adalah Andra, semakin semangat ia mengayuh sepeda, tidak memperdulikan kedua kakinya yang mulai mati rasa.
Setelah menempuh enam kilo lebih, Irma akhirnya sampai di rumah tua, dan tanpa pikir dua kali ia langsung masuk melalui gerbang yang tidak dikunci tersebut. Irma terdiam, ia adalah orang yang penakut, tapi kenapa dia langsung masuk tanpa pikir-pikir dahulu?
"Ah bodolah, udah terlanjur," Irma pun masuk, sunyi, kotor, belumut, itulah kondisi rumah yang ia masuki. Tapi Irma tak peduli, ia berlari kecil ke tangga dan naik hingga ke lantai atas.
Bingung, itulah yang ada dipikiran Irma, kondisi atap rumah ini cukup bersih, tergeletak lah sebuah kardus putih dengan sedikit corak hitam.
Irma yang penasaran, menghampiri kardus itu dan langsung membukanya, terlihat beberapa bungkus cilor didalam plastik terikat dengan secarik kertas.
Aku nggak tau kak Irma kenapa, tapi semoga kak Irma suka cilor ini. Keep smile in your face :)
Irma mengambil salah satu bungkus cilor, memakannya, ia terduduk lemas, air mata mengalir di pipinya. "Bapak, engkau mengirimkan malaikat dalam bentuk manusia untuk menenangkan hatiku."
.......
Malam harinya, suasana Andra bersama sahabat-sahabatnya berkumpul disebuah meja dicafe Alexandria, tempat biasa mereka menghabiskan waktu. Wajah mereka tampak fokus menatap ponselnya, biasa, main game online yang memancing emosi.
"Aduh!" pekik Andra ketika seseorang menelponnya, wajahnya yang kesal berganti bingung ketika membaca kontak bertuliskan 'Kak Irma' menelponnya.
Indra menatap Andra dengan wajah penuh tanda tanya. "Kenapa Dra?"
Andra tersenyum, menyembunyikan rasa bingungnya. "Nggak apa-apa kok, eh gua ijin keluar dulu ya, nyokap gua nelpon."
Semua pun mengiyakan dengan santai, namun berbeda dengan yang lain, Bagas menatap Andra penuh selidik. "Jangan lama-lama dra... takutnya kita kalah."
Andra memberikan ibu jarinya dan tersenyum. "Tenang bro!"
Andra pun berjalan keluar cafe sembari mengangkat telepon. "Kenapa kak?" tanya Andra to the point.
"Dra... kamu dimana?" tanya Irma terdengar sesenggukan.
"Aku lagi ngumpul sama anak-anak di cafe Alexandria," jawab Andra dengan santai.
"Kamu masih lama disana kan? Ada yang mau aku omongin, jadi aku mau kesana," ucap Irma.
"Nggak usah!" cegah Andra. "Kenapa kakak mau kesini? Kan bisa lewat telpon."
"Nggak enak kalo lewat telpon, dan aku omongin hal yang penting," jelas Irma.
Andra terdiam, memikirikan sesuatu. "Bahaya kalo kak Irma kesini, bisa puyeng pala gua kalo dia ketemu Farel."
"Eum... kak, kita ketemu di restoran Ezel, yang pas aku sakit, mau?" tawar Andra.
Irma terdiam, berpikir sejenak. "Boleh."
Andra melihat jam tangannya yang menunjukkan sudah pukul 10 malam. "Aku nyampe kesana mungkin 30 menit."
"Oke, aku tunggu disana," ucap Irma. "Bye."
"Bye," sahut Andra sebelum akhirnya Irma mematikan telepon.
Andra menaruh kembali ponsel ke kantung celana panjang hitamnya, ia berbalik badan dan masuk kembali ke dalam Cafe Alexandria, wajahnya tampak kebingungan. "Kak Irma kenapa? Kok kedengeran lagi sedih."
Ia telah sampai di meja tempat sahabat-sahabatnya, mereka tampak fokus dengan ponselnya. "Oi Dra, gimana? Nyokap lu nelpon karena apa?" tanya Mora tanpa mengalihkan pandangannya.
Andra menaruh bokongnya di kursi disamping Farel, mengeluarkan ponselnya dan kembali bermain game. "Katanya setengah sebelas harus udah nyampe rumah."
Debrong yang dengan gilanya memakan kentang goreng pun tersedak. "Uhuk! Apa? Baru kita main tiga ronde, masa kau udah pulang aja?"
"Wajar lah Brong," bela Indra. "Dia anak satu-satunya, beda sama kita yang punya empat sampe enam bersaudara, kalo dia mati, nggak ada yang gantiin."
Farel merangkul Indra dan menatap Debrong, "bener tuh kata Indra," setujunya. "Lagian kita masih bisa maen lain kali."
"Udah, serius ke game, kita udah kalah turret nih," ucap Bagas dengan nada datar, matanya yang dingin melirik Andra.
Mereka pun bermain game bersama. "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," Andra menaruh ponselnya diatas meja bersamaan dengan yang lainnya.
Farel merenggangkan tubuhnya. "Gila, di mythic susah juga, ini pertama kalinya kita maen 25 menit."
Indra membunyikan jari-jarinya. "Kayaknya anak yang udah ngerti moba dah tuh, bunuh in creep dan turtle biar cepet kaya dan beli item, gak cuman ngincer player doang."
Andra melihat jam di ponselnya. "Eh gua cabut dulu ya, udah jam 10 lewat 15, takutnya ngggak keburu, emak gua nyanyi ntar."
Farel terkekeh pelan. "Bener juga, hati-hati dijalan."
Andra satu persatu tos dengan sahabat-sahabatnya. "Dah," Andra berjalan keluar dari cafe menuju parkiran.
Baru saja ingin menaikkan motornya, tiba-tiba seseorang yang terdengar familiar. "Dra," Andra berbalik badan, Bagas, tatapannya yang dingin menganggetkan Andra.
"Kenapa Gas?" tanya Andra.
"Yang nelpon lu Irma kan?" ucap Bagas to the point.
Andra tampak kaget, lalu kemudian menetralkan kembali wajahnya. "Kenapa lu bisa ngomong gitu?"
Bagas terkekeh. "Gua kenal dari umur empat tahun Dra, nyokap lu bebasin dimana aja asalkan ngasih kabar, dan itu akan diganti kalau langgar peraturan, apa gua salah?"
Andra menghela napas. "Okay, fine, yang nelpon gua Irma dan dia mau ketemu, kenapa gas?"
Bagas menepuk pundak Andra. "Lain kali liat sekitar lu, kemaren gua denger Eca, waktu Eca bareng Irma dan yang lain jalan di mall, ada yang ngikutin mereka, hati-hati takutnya itu anak buah Andrew."
"Loh? Emangnya yang lain gak nyadar?" tanya Andra.
Bagas menggeleng. "Nggak, dia dari jauh dan kayaknya masih bisa ngedenger omongan mereka, biasa, cewek kalo lagi omongannya gede banget kayak toa."
Andra menggaruk pelipisnya. "Okay, gua bakal hati-hati, Eca ada clue nggak? Kayak kacamata atau apa gitu."
"Kulitnya sawo matang, ada luka di lehernya," jawab Bagas. "Kalo bisa lu pindah-pindah tempat Dra, dan diem-diem fotoin dia, bukti buat polisi."
"Thank you," Andra menjabat tangan Bagas.
Bagas tersenyum. "Santai, udah lu buruan nyamperin Irma, ntar dia keburu diapa-apain sama anak buah Andrew."
Andra mengangguk, ia menaiki motornya. "Dah!" ia melambaikan tangannya sebelum akhirnya menjalankan motornya.
Andra menghela napas sembari mencengkram kuat stang motornya. "Kak Irma kak Irma, kasian banget sih, dan ya, gua bakal selametin lu dari orang-orang brengsek, mungkin..." ia menggantungkan ucapannya. "Mungkin."
To be continue