Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liontin Tulang : Janji Tumbal
Truk pikap Fajar melaju kencang, membelah malam di jalanan berkelok menuju kota. Di belakang bak, Bian dan Tiara meringkuk, tersembunyi di balik terpal lusuh. Dinginnya angin malam menusuk tulang, tetapi itu lebih baik daripada hawa dingin mematikan yang ditinggalkan oleh Arwah Tumbal di Desa Raga Pati.
Bian mencengkeram erat Liontin Tumbal yang didapatkan dari Jaga. Tulang kecil itu terasa panas, bukan hanya hangat.
"Kita sudah jauh, Bian. Apa kita sudah aman?" bisik Tiara, suaranya dipenuhi harapan yang rapuh.
"Kita harus aman," jawab Bian, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Kutukan itu terikat pada desa, pada rumah. Kita sudah keluar dari perbatasan. Dan Mbah Pawiro..."
Bian terdiam. Ia teringat bayangan gelap Mbah Pawiro di puncak bukit, melambaikan tangan.
Apakah itu hanya ilusi yang diciptakan oleh ketakutan mereka, atau apakah Sang Dalang berhasil selamat dan kini menjadi Entitas yang lebih mengerikan?
Truk Fajar berhenti mendadak di sebuah pom bensin tua yang remang-remang, sekitar dua jam perjalanan dari Desa Raga Pati.
Fajar turun dari mobil, wajahnya pucat pasi. Ia melihat Bian dan Tiara melompat dari bak, pakaian mereka kotor dan compang-camping.
"Kalian harus turun di sini," kata Fajar, suaranya tegang. "Aku harus putar balik sebelum pagi. Kalian bisa menumpang bus pertama ke kota besar."
"Fajar, dengarkan kami," Bian maju, mencoba menjelaskan. "Ada sesuatu yang terjadi di Desa. Mbah Pawiro—"
"Aku tahu!" potong Fajar, matanya memancarkan ketakutan. "Aku tahu Mbah Pawiro sering melakukan ritual aneh. Aku tahu desa itu dikutuk. Itu sebabnya aku lari! Tapi kalian... kalian tampak seperti baru keluar dari kuburan. Apa yang sebenarnya kalian lakukan?"
Bian ragu. Bagaimana ia bisa menjelaskan tentang Arwah wanita yang kepalanya berputar, Mbah Pawiro yang menjadi abu dan berubah menjadi Arwah?
"Kami menemukan arwah yang dikurung," ujar Tiara, memilih kata-kata yang paling bisa diterima. "Arwah itu kini bebas. Dan kami membawa sesuatu yang diinginkannya."
Fajar melirik Liontin Tulang di tangan Bian. "Benda apa itu? Buang! Buang sekarang juga! Itu bukan peninggalan bagus!"
"Tidak bisa!" balas Bian. "Jaga bilang ini adalah ikatan janji kakekku kepada arwah itu. Ini yang dicari oleh Arwah Tumbal."
Fajar menggelengkan kepalanya. "Kalian tidak mengerti. Di Raga Pati, yang dicari Arwah Tumbal bukan benda. Yang dicari adalah darah dan penebusan. Kalian tidak lari dari desa. Kalian hanya membawa Kutukan itu ke kota. Liontin itu hanya pemancing!"
Fajar menolak mendengarkan lebih lanjut. Ia mengeluarkan dompetnya, menyerahkan sejumlah uang tunai yang lumayan kepada Bian. "Ambil ini. Lupakan Desa Raga Pati, lupakan rumah itu. Jangan pernah kembali. Dan tolong, jangan libatkan aku lagi. Aku harus pergi."
Fajar masuk ke truknya, dan dalam beberapa detik, ia sudah menghilang di kegelapan jalan. Bian dan Tiara ditinggalkan sendirian di pom bensin yang sepi.
Mereka mencari toilet untuk membersihkan diri sebentar. Saat Tiara mencuci wajahnya di wastafel yang buram, ia memandangi Bian di cermin.
"Fajar benar," gumam Tiara. "Kita membawa ini semua. Dan liontin ini..."
Bian mengeluarkan Liontin Tumbal itu. Bentuknya seperti tulang paha kecil yang diukir dengan simbol yang sangat primitif. Anehnya, setelah keluar dari radius Desa Raga Pati, panas liontin itu tidak lagi menyengat, tetapi terasa dingin—seperti es.
"Jaga bilang ini adalah kunci kebebasan Arwah itu," Bian mencoba mengingat kata-kata terakhir Jaga. "Kita harus membawanya ke tempat gelap... untuk memenuhi sumpahnya."
"Tempat paling gelap... Maksudnya kuburan? Atau ruang bawah tanah?" Tiara merasa mual.
Saat Bian dan Tiara sedang berdiskusi, mereka tidak menyadari bahwa di sudut toilet, bayangan yang sangat pekat berkumpul. Bayangan itu tidak terpengaruh oleh lampu neon pom bensin yang berkelip-kelip.
Tiba-tiba, suara ketukan jari yang sangat keras terdengar dari dinding wastafel yang terbuat dari keramik putih.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu cepat, berirama, dan sangat dekat.
Bian dan Tiara terkesiap, menoleh ke arah suara.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu datang dari dalam dinding. Seolah ada yang dikurung dan mencoba keluar.
"Arwah Tumbal," bisik Tiara, matanya melebar. "Dia... dia sudah mengikuti kita."
Bian mencengkeram tangan Tiara, bersiap untuk lari.
Saat itulah, dari lubang saluran pembuangan air di lantai, muncul sehelai rambut hitam panjang yang mereka lihat di rumah. Rambut itu merayap pelan, seperti ular, keluar dari lubang, diikuti oleh cairan hitam kental yang berbau seperti tanah basah.
Rambut itu tidak berhenti. Ia terus merayap, melewati kaki mereka, dan melilit pergelangan kaki Bian, seolah tali pengikat yang tak terlihat.
"Tidak ada tempat bersembunyi, Pranoto," suara parau menusuk pikiran mereka. "Kau harus membayar dosamu. Berikan apa yang menjadi milikku."
Bian berteriak kesakitan, karena lilitan rambut itu terasa seperti ribuan jarum tajam yang menusuk kulitnya.
Tiara tahu mereka tidak bisa melawannya secara fisik. Ia memandang Liontin Tumbal di tangan Bian.
"Liontin itu, Bian! Coba berikan padanya!" seru Tiara.
Bian, dalam kepanikan, mengayunkan tangannya, menjatuhkan Liontin Tulang itu ke lantai.
Begitu liontin itu menyentuh keramik, rambut hitam yang melilit kakinya langsung tersentak mundur dengan cepat, seolah terbakar. Cairan hitam itu lenyap.
Namun, Liontin itu tidak diam. Setelah jatuh, liontin itu berguling sendiri, menuju ke arah Bilik Toilet terakhir yang terkunci.
Dari bilik itu, terdengar suara tawa melengking yang sangat dingin.
"Baiklah, aku akan menunggu..."
Bian dan Tiara bergegas mengambil liontin itu. Kali ini, liontin itu terasa sangat panas lagi, bahkan lebih membakar daripada sebelumnya.
"Dia tidak ingin mengambilnya begitu saja," ujar Bian, terengah-engah. "Dia ingin kita membawanya ke tempat yang ia inginkan."
Mereka meninggalkan pom bensin itu secepat kilat. Mereka menyadari bahwa lari dari Desa Raga Pati adalah sebuah kebodohan. Mereka tidak lari dari kutukan, mereka justru menjadi kurir bagi kutukan itu.
Mereka berjalan kaki di sepanjang jalan raya yang gelap. Bian melihat sehelai rambut hitam yang menempel di ujung sepatunya.
Ini adalah kenyataan baru mereka. Mereka adalah pembawa kutukan.
Bian menoleh ke belakang, melihat ke arah hutan yang berbatasan dengan jalan raya.
Di antara pepohonan yang gelap, ia melihat kilasan mata yang bersinar dalam kegelapan, mata yang sangat besar dan tajam. Bukan mata Arwah Tumbal.
Itu adalah mata yang penuh pengawasan, mata yang familier, Jaga.
Jaga tidak mati. Ia selamat dari serangan Arwah Tumbal dan Mbah Pawiro, dan kini, ia mengikuti mereka, bergerak dalam bayang-bayang. Ia adalah satu-satunya pelindung mereka, namun bisu dan tak terlihat.
Bian merasa ketakutan, tetapi juga sedikit lega. Jaga tahu apa yang harus dilakukan dengan Liontin itu.
Namun, saat Bian menatap lebih tajam ke mata yang bersinar itu, ia melihat bayangan yang sangat samar, sebuah siluet yang melingkari tubuh Jaga, seperti ular hitam raksasa, bayangan yang menyerupai Mbah Pawiro.
Bian menyadari kebenaran yang mengerikan. Mbah Pawiro mungkin sudah menjadi tumbal bagi Arwah Tumbal, tetapi kekuatan manipulasinya kini telah berpindah, dan ia menggunakan Jaga sebagai mata dan kaki untuk mengawasi mereka dari kejauhan.
Jaga mungkin ingin membantu, tetapi kini ia dikendalikan oleh bayangan Mbah Pawiro yang menjadi Entitas baru.
"Tiara," bisik Bian, suaranya tercekat. "Kita tidak sendirian. Dia ada di luar sana."
Tiara melihat ke arah hutan. Ia tidak melihat Jaga, tetapi ia merasakan kehadiran yang dingin dan mengawasi.
Mereka terus berjalan, tanpa tujuan, tetapi Liontin Tumbal di tangan Bian tiba-tiba terasa begitu dingin, menunjuk ke satu arah.
Itu adalah arah yang berlawanan dari desa, menuju kota besar, menuju tempat yang paling tidak mereka duga.
Tempat itu adalah satu-satunya bangunan yang tersisa dari masa lalu kakek mereka. Sebuah bangunan tua yang di dalamnya, kakek Pranoto telah meninggalkan lebih dari sekadar rumah terkutuk.
Kutukan Arwah Tumbal Desa kini telah mengikuti mereka ke persembunyian yang mustahil.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"