Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pagi yang canggung.
Sinar matahari pagi mulai menyelinap masuk melalui celah tirai tebal, membangunkan Gita dari tidur singkatnya di pinggir ranjang.
Lehernya terasa sedikit kaku, tetapi ia langsung teringat di mana ia berada. Ia menoleh ke samping. Derby masih tertidur pulas, wajahnya yang damai kini kembali diselimuti ketenangan, seolah ketegangan semalam hanyalah mimpi buruk.
Gita menyentuh bahunya.
Memijat sebentar disana,karena sedikit kram.
Setelahnya kembali menatap kakak iparnya,memastikan pria lemah itu belum bangun.
Kehangatan yang menjalar dari balik piyama sutra Derby terasa nyata. Rasa lelah semalam membuatnya benar-benar tertidur di sana, di samping pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai sosok yang kaku dan dominan.
Ia perlahan menarik diri, beranjak hati-hati agar tidak membuat ranjang berderit.
Tepat saat kakinya menyentuh lantai, mata Derby terbuka. Tatapannya yang tajam langsung menangkap gerak-gerik Gita.
"Mau kemana?" suaranya masih serak khas orang bangun tidur, namun intonasinya kembali memerintah.
"Aku mau mandi, Kak. Lalu ke bawah, menyiapkan sarapan," jawab Gita pelan.
Derby terdiam sesaat, seolah sedang memproses. "Aku juga butuh bantuan. Pindahkan aku ke kursi roda dulu," titahnya.
Gita mengangguk patuh. Selama seminggu terakhir, ia sudah mulai terbiasa dengan ritual pagi ini. Ia mengambil kursi roda yang terlipat di sudut ruangan, membentangkannya di sisi ranjang, dan dengan hati-hati membantu Derby yang lumpuh sementara untuk berpindah.
Ini bukan tugas yang mudah; tubuh Derby lebih besar dan lebih berat darinya.
"Hati-hati, Gita. Jangan sampai gips-ku terbentur," peringatan Derby selalu menyertai setiap gerakan.
Gita mengangguk paham,lalu mendudukkan kakak iparnya dengan hati hati.
Setelah Derby duduk dengan nyaman, Gita memandangi pria itu. Tiba-tiba, ia teringat permintaan aneh Derby malam tadi.
"Kak," panggil Gita ragu. "Soal semalam... terima kasih sudah percaya padaku untuk menemanimu."
Derby menatapnya lurus. Wajahnya kembali memasang ekspresi datar. "Aku sudah bilang, itu adalah cara paling efisien. Bukan masalah kepercayaan. Rasa sakitku semalam membuatku tidak bisa bertele-tele," jelas Derby, menepis keintiman yang sempat tercipta.
Note: Penolakan lembut itu terasa dingin, namun Gita tahu, itulah cara Derby melindungi dirinya sendiri—dan mungkin juga Gita—dari kejanggalan situasi mereka.
Gita tidak mendebat. Ia mengambilkan handuk dan pakaian ganti untuk Derby. "Aku akan mandi di kamar bawah sebentar, Kak. Setelah itu, aku akan bantu Kakak mandi di kamar mandi sini," ujar Gita, lalu segera melangkah keluar.
"Tunggu!"
interupsi Derby tegas.
"ya kak?"
"mandikan dulu aku sebentar,setelahnya kamu bisa mandi."
"baiklah kalau begitu,ayo kita mandi."
Gita mendorong kursi roda ke kamar mandi,setelahnya membuka pakaian kakak iparnya itu satu persatu.
Walau sudah beberapa kali memandikan Derby,Gita tetap saja merasa canggung,apalagi saat membersihkan dari pinggang ke bawah,wajahnya pasti merona dan tangannya pasti sedikit gemetar.
Gita menelan ludah saat melihat pusaka kakak iparnya yang tergolek diantara kedua paha.
meski sedang tertidur,tetap saja ukurannya jumbo,bagaimana kalau sampai hidup dan siap bertempur? pasti ukuran nya berlipat lipat lebih besar.
"Apa yang kamu pikirkan? kenapa berhenti?" pertanyaan Derby membuat Gita tersadar dan gelagapan.
"Maaf kak,aku sedang menggosoknya." ucapnya lirih.
Gita cepat cepat menyelesaikan tugasnya sebelum dia bepikir semakin aneh.
apalagi diusianya yang masih muda,suaminya sudah lama tidak menyentuhnya,membuat adrenalin nya langsung bereaksi.
***
Di ruang makan, hanya ada dua piring sarapan: milik Gita dan milik Derby.
Sejak kecelakaan Derby, suasana rumah terasa sangat sepi, ditambah kepergian mendadak Darren.
Gita menyuapkan makanan ke mulutnya dengan pikiran melayang. Ia melihat ponselnya, berharap ada pesan lain dari Darren, tetapi nihil. Suaminya benar-benar hilang tanpa jejak, meninggalkan Gita untuk mengurus segala kerumitan sendirian.
Terdengar suara roda bergulir dari lorong. Derby didorong oleh salah satu pelayan menuju meja makan.
"Bik, setelah ini antar saya ke perpustakaan. Ada beberapa dokumen yang harus saya tanda tangani," perintah Derby kepada pelayan itu.
pelayan itu mengangguk patuh,setelahnya meningkatkan kedua sosok itu sarapan.
Derby mulai makan, gerakannya anggun meski sedang duduk di kursi roda. Gita hanya mengamati.
"Makanlah, Gita. Jangan melamun," tegur Derby, menyadari tatapan Gita.
"Aku sedang... memikirkan mas Darren," Gita memberanikan diri. "Aku tidak tahu dia pergi ke luar kota untuk urusan apa. mendadak pula."
Derby menghentikan sendoknya, menatap Gita tajam. "Darren itu suami yang tidak bertanggung jawab," ucap Derby lugas, nadanya dipenuhi kekecewaan. "Ia tahu aku sedang lumpuh, tahu kamu di sini, dan dia tetap pergi hanya karena urusan proyek. Seharusnya dia bisa menanganinya dari jarak jauh, atau menundanya."
Kata-kata itu menyentak Gita. Ia sering merasa begitu, tetapi mendengarnya dari Derby membuat rasa sakitnya berlipat ganda.
"Jangan mencari pembenaran untuk suamimu, Gita. Kenyataan dia meninggalkanmu di sini, sendirian, untuk mengurusku, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa ia memprioritaskan pekerjaannya di atasmu. Dan aku tidak menyukainya," tambah Derby dingin.
Gita menunduk, tidak mampu membantah.
lebih dari ini pun sudah terjadi,,bathin Gita pilu.
"Mengapa Kakak memintaku pindah kamar kalau tujuannya hanya untuk membantu? Kenapa bukan suster atau salah satu pelayan?" tanya Gita, suara lirih,dia harus mendapat jawaban yang klise.
Derby menyandarkan punggungnya. Ekspresinya sedikit melunak, seolah teringat akan sebuah rahasia.
"Suster butuh istirahat, dan pelayan tidak tahu letak barang-barang pribadiku. Selain itu..." Derby berhenti, menatapnya dalam. "Hanya kamu yang bisa kupanggil di tengah malam tanpa membuat kegaduhan. Dan, aku lebih mempercayaimu untuk menangani obat-obatan pribadiku, Gita. Kamu istri adikku tidak mungkin mencelakai ku kan?."
Penjelasan itu terasa seperti campuran alasan logis dan... sesuatu yang lain.
"Lagi pula," lanjut Derby, suaranya kembali datar, "Aku sudah bilang padamu untuk jangan berpikir yang macam-macam. Selama kamu fokus pada tugasmu, tidak akan ada masalah. Tidurmu kaku dan dangkal, itu bagus. Aku tidak perlu takut kamu tidur terlalu nyenyak hingga tidak mendengar panggilanku."
Jawaban itu, meski kembali mendominasi, justru meredakan sedikit kegelisahan Gita. Ia sadar, Derby hanya memanfaatkan situasi untuk efisiensi, tetapi ada celah kecil yang terbuka, menunjukkan bahwa di balik kekakuannya, Derby mulai bergantung padanya.
Gita menghela napas, menerima takdirnya untuk sementara waktu.
"Baiklah, Kak. Aku mengerti," katanya, bangkit dari kursi. "Aku akan membantu Kakak ke perpustakaan sekarang."
Ia mendorong kursi roda Derby.
Saat melewati lorong, ia melihat sekilas pantulan mereka di cermin besar. Seorang pria yang terluka dan mendominasi, dan seorang wanita yang terikat dan patuh. Mereka terlihat seperti sebuah pasangan yang... sangat akrab, sebuah pemikiran yang segera ditepisnya.
Mereka tiba di perpustakaan. Derby menunjuk ke sebuah rak buku tua.
"Ambilkan aku buku bersampul kulit cokelat itu, yang paling atas," pinta Derby.
Gita berjinjit, meraih buku itu, dan menyerahkannya.
Derby mengambilnya. "Terima kasih," katanya, dan kali ini, ucapan itu kembali terasa lebih tulus dari biasanya.
Gita merasakan debaran halus di dadanya. Situasi ini, kebersamaan yang dipaksakan ini, entah mengapa mulai terasa seperti benang yang perlahan-lahan mengikatnya, jauh dari kehidupan yang ia miliki bersama suaminya.
bersambung...