Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Bertemu Laras
Sekitar satu jam lebih waktu yang Rania habiskan untuk mengobrol dengan Ajeng, bahkan hari mulai bergerak sore, dan Rania baru memutar motornya diparkiran.
Mereka banyak membahas tentang masalalu, tentang Rania yang malu-malu saat pertama kali bekerja, dan kesan pertama Rania tentang Ajeng yang memiliki wajah judes. Kalau diingat-ingat rasanya sangat konyol.
Saat memakai helm, tak sengaja pandangan Rania menangkap sosok yang sangat ia kenali meski hanya melihat postur bagian belakangnya saja. Sosok gadis itu berdiri dipinggir jalan sambil memainkan ponsel.
Rania menyalakan mesin motor dengan pandangan menyapu sekitar, memastikan tidak ada sosok sosok Bumi disekitar gadis yang berdiri didepan sana.
''Laras,'' Panggil Rania sesaat setelah motor yang ia kendarai berhenti tepat disamping Laras. Yang dipanggil pun langsung menoleh. ''Kamu kenapa sampai disini? Masih memakai baju seragam dan berdiri dipinggir jalan sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat?''
Laras meringis mendengar omelan Rania. Tapi dalam hati, Laras merasa senang karena tandanya Rania masih peduli dengannya meski batal menjadi kakak ipar. Dan kalau tidak salah, hubungan Rania dengan kakak nya berjalan kurang baik.
Karena masih ada jarak diantara mereka, Laras berinisiatif mengikis sisa jarak diantara mereka.
''Aku datang ke sini dengan teman untuk mengerjakan tugas kelompok, mereka sudah pulang karena dijemput lebih awal oleh ayah mereka.''
''Kenapa tidak menumpang saja pada temanmu itu?''
''Sudah ditawari, tapi aku yang menolak.''
''Kenapa?''
''Merasa tak enak karena jarak rumah kami sangat jauh, tidak searah,'' Sambil berdialog, diam-diam Laras memperhatikan penampilan Rania. Terlihat baru dan asing tapi tetap cantik. ''Mbak sendiri kenapa ada disini?''
''Aku juga baru saja bertemu dengan teman. Ya sudah, bagaimana kalau aku antar saja? Hari sudah mulai gelap, aku akan khawatir kalau kamu menolak tawaranku.''
Sebetulnya, Laras sudah menghubungi Bumi sebelumnya agar datang menjemput, dan dibalas 'ya' oleh sang empu. Sepertinya juga kakaknya sedang menuju ke tempat karena katanya ia baru saja bertemu dengan klien disekitar sini.
Tapi berhubung Rania memberikan tumpangan, Laras tidak akan menolak tentu saja. Kalau boleh jujur, Laras sedikit rindu mengobrol dengan Rania.
''Boleh, deh!''
Laras memakai helm yang ia pinjam dari teman saat datang ke sini, kebetulan belum sempat ia kembalikan tadi.
''Sudah?''
''Sudah!''
Motor matic berwarna putih yang dikendarai Rania mulai bergerak menjauh. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Bumi sudah ada disana sebenarnya, tapi ia memilih diam dan memperhatikan dari jauh.
Dan tak lama setelah motor Rania bergerak menjauh, Bumi mengikuti dari belakang. Tidak mengikuti, sih, hanya menjaga mereka dari belakang secara diam-diam sekalian pulang.
''Memakai pakaian seperti itu di sore hari, apa dia tidak takut masuk angin?''
...----------------...
''Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini saja. Kamu bisa menghubungi ayah kalau tidak berani jalan kaki sendirian sampai rumah.''
Laras tidak banyak bertanya saat Rania menurunkan dirinya di halte dekat rumah, yang mana, Laras harus berjalan kaki lagi untuk sampai komplek rumahnya. Tidak terlalu jauh, dan sepanjang jalan sudah diterangi oleh lampu-lampu.
Helm yang baru saja dilepas, berakhir dipeluk didepan perut. Laras melempar senyuman lebar pada Rania.
''Tidak perlu. Apa mbak lupa kalau aku adalah orang paling pemberani dirumah?''
Rania tersenyum tipis. ''Ya, sepertinya aku lupa.''
''Apa mbak ingin meminjam jaketku? Hari mulai malam dan dingin. Angin malam tidak baik untuk kesehatan, loh.''
Saat memperhatikan sekitar, suasana memang sudah berubah gelap. Reflek Rania mengusap ke-dua sisi lengan saat angin berhembus menerpa kulitnya.
''Memang dingin, tapi sepertinya tidak perlu. Aku akan menambah kecepatan agar sampai rumah dengan cepat.''
''Sudah, ambil saja. Aku masih punya banyak jaket dirumah untuk dipakai esok hari,'' Laras sudah mendorong-dorong jaketnya pada Rania, tapi perempuan yang lebih tua darinya itu masih saja menolak. ''Mbak tidak perlu mengembalikannya, aku tidak akan menagih, kok. Jadi pakai saja, ya?''
''Jawabanku tetap tidak, Laras. Jika kamu terus memaksa malah menahan waktuku lebih lama dan hari semakin larut.''
Menghela napas pasrah. ''Ya sudah, mbak boleh pergi sekarang. Terimakasih dan hati-hati dijalan. Kabari aku kalau sudah sampai rumah.''
''Baiklah. Aku akan tetap mengabari kalau sudah sampai rumah meski sebetulnya jarak rumah kita tidak sejauh itu.''
Laras terkikik senang. Apalagi melihat Rania juga ikut tertawa, Laras menyimpulkan bahwa Rania sudah baik-baik saja sekarang.
''Aku pergi dulu,'' Ucap Rania. Laras membalasnya dengan anggukan tangan disertai lambaian tangan didepan dada, agak susah karena ia juga membawa helm dan jaket.
Setelah motor Rania tidak terlihat lagi, baru satu langkah Laras ambil, silau lampu mobil dan suara klakson menghentikan langkah Laras. Saat memutar tubuhnya, Laras melihat mobil itu adalah milik kakaknya.
''Apa?''
''Masuk ke dalam!''
Dua alis Laras menukik dengan mata menyipit. Ia tidak mendengar suara kakanya dengan jelas, hanya melihat gerakan mulut saja.
''Aku tidak dengar!''
Dari dalam mobil, Bumi berdecak dan terpaksa menyembulkan kepalanya keluar. ''Cepat masuk ke dalam mobil.''
Kali ini Laras mendengarnya lebih jelas. Maka dari itu, ia segera berjalan mendekati mobil kakaknya dan masuk dibagian kursi penumpang.
''Kenapa kebetulan sekali kita bertemu disini— eh! Kenapa malah putar balik? Jalan rumah kita ada disana,'' Sambil menunjuk ke arah halte. ''Abang tidak sedang mabuk, 'kan?''
''Tidak. Santai saja.''
''Santai santai. Aku hanya memastikan saja, karena aku tidak mau dalam satu mobil yang sama dengan orang mabuk.''
''Cerewet sekali.''
Laras mengamati jalanan didepan sana. Tak lama, ia menoleh ke arah Bumi. ''Sebenarnya kita ingin kemana, sih? Aku lelah, tahu! Aku ingin segera sampai rumah dan tidur.''
Tidak ada jawaban dari Bumi. Laras berdecak dibuatnya, berakhir menyandar lesu pada kaca. Awalnya Laras tidak tahu kemana Bumi akan membawanya pergi.
Tapi, semakin jauh mobil melaju, Laras dapat melihat punggung Rania didepan sana. Dan sampai disini Laras baru tahu kemana arah mobil ini dan tujuan Bumi yang sebenarnya.
''Abang menguntit mbak Rania, ya?''
''Seperti yang kamu lihat,'' Balas Bumi tanpa mengalihkan pandangannya dari depan sana. Tidak mau membuang satu detik pun waktu untuk melihat sang kekasih.
''Sekarang mbak Rania terlihat berbeda dengan yang dulu. Lebih ... Hot? Kurasa begitu. Tidak lama lagi pasti akan memiliki pasangan baru.''
''Jaga bicaramu.''
''Loh. Memangnya kenapa? Apa abang berharap mbak Rania terus sendirian sampai gila?''
''Sudah aku bilang jaga bicaramu, Laras!'' Suara Bumi sedikit meninggi, mengejutkan Laras yang masih bisa bersikap santai meski tahu kakaknya sudah dilanda emosi karena ucapannya.
Suasana mobil berubah hening karena tidak ada lagi yang membuka suara sepanjang perjalanan, entah itu Bumi ataupun Laras.
Bumi bisa lega saat melihat Rania mulai memasuki halaman rumahnya dengan selamat. Setelah Rania masuk ke dalam rumah, baru Bumi membawa laju mobilnya menjauhi area rumah Rania. Ia hanya ingin memastikan Rania sampai rumah dengan selamat, itu saja.
Saat diperjalanan pulang, Bumi mengingat kalau ia sempat meninggikan suara pada Laras tadi. Itu juga karena reflek saja karena kesal dengan ucapan adiknya. Hembusan napas panjang terdengar saat mendapati bibir adiknya manyun sampai kaca mobil.
''Beli barang apapun yang kamu mau, nanti abang yang akan bayar semuanya.''
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....