Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan tinggalkan dia!
Hati Arumni mulai merasa lega, setelah puas menangis dan berkali-kali membasuh wajahnya di Wastafel. Arumni mengambil ponsel yang sejak tadi belum ia sentuh dari atas kasur. Arumni memantapkan diri, bahwa dirinya akan bicara dengan Galih dan juga Mita dengan perasaan bahagia.
Galih yang semalam tampak lusuh di rumah sakit, kini tampil segar setelah ia membersihkan diri dan menganti pakaian di rumah. Galih duduk menunggu Mita yang masih terbaring di atas ranjang, sambil menimang bayi mungilnya. Ada rasa ingin memberi kabar pada Arumni tentang rasa bahagianya, namun tidak jadi, Galih sadar kebahagiaannya saat ini adalah luka dalam bagi Arumni.
Ponsel Galih yang baru saja ia taruh di atas meja pun berdering. Saat ia lihat Arumni memangil dalam video call, Galih segera mengambilnya, betapa ia tak sabar ingin memberi tahu rasa bahagia nya itu pada Arumni.
Senyum Galih tampak mengembang dalam layar ponsel Arumni. "Pesona seseorang yang baru jadi ayah memang beda ya, mas?" ucapnya mengoda, walaupun sebenarnya hatinya rapuh namun Arumni berusaha tegar. "Aku boleh lihat wajah anak mu, mas?" ucapnya lagi.
Galih menganguk sambil menekan tombol layar belakang agar anaknya itu dapat terlihat Arumni.
Bulir-bulir kristal pun berjatuhan di pipi Arumni, namun bibirnya tetap membentuk bulan sabit. "Galih junior!" Lirihnya sambil menyeka air mata. "Anakmu sangat imut dan mengemaskan, andai aku ada di sana sudah pasti habis, rasanya ingin sekali aku cubit pipinya." ia tertawa kecil. "Di mana ibunya?" tanya Arumni kembali.
Galih masih belum membuka mulutnya, ia hanya mengelus puncak kepala Mita, hingga membuatnya terbangun. "Ada apa, mas?" ucapnya sambil membenarkan posisi, ia pun duduk bersandar di atas kasur. Galih segera memberikan ponselnya pada Mita, tampak Gambar Arumni dengan senyum yang dipaksakan.
"Hai, Mita!" ucapnya sambil melambaikan tangan di layar ponsel. "Bagaimana kabarmu? apa sudah lebih baik?"
"Mbak Arumni! aku, aku.."
Arumni tersenyum, "Aku kenapa?"
"Aku masih memulihkan diri pasca melahirkan, mbak! Makanya aku masih di sini. Aku berjanji akan segera pergi setelah tubuhku sedikit lebih baik." Mita begitu ketakutan.
"Aku percaya pada mu, Mita. Kamu tidak perlu berjanji, dan kamu tidak perlu kemana-mana."
Alis Mita pun saling bertaut. "Apa maksud mu, mbak?"
Arumni mengulas senyum. "Seindah apapun kita merencanakan masa depan, aku sudah menyisakan ruang ikhlas bahwa hari esok memang diluar kehendak kita. Jadi, jangan tinggalkan mas Galih, ya!"
"Mbak...!"
"Sudah dulu, ya? Aku masih punya sedikit pekerjaan." Arumni tersenyum lalu menutup telponya.
Arumni kembali menangis mengingatnya, sejujurnya ia sangat bingung, bertahan dengan rasa itu atau mengakhiri semua. Tidak lama, suara seseorang membuka pintu pun terdengar, Arumni segera menyeka air matanya, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya, namun ibu mertua sudah lebih dulu masuk, melihat Arumni dengan mata merahnya.
"Ibu!" Arumni berdiri gugup. "Baru jam segini ibu sudah pulang?" ucapnya sambil menyembunyikan sedihnya.
Bu Susi tidak menjawab, hanya menatap Arumni penuh pertanyaan yang tidak bisa diucap.
Tidak disangka, bu Susi datang bersama ibunya sendiri. "Arumni! ibu dengar dari Niken kamu sekarang bekerja? Apa itu benar? bukannya kamu waktu itu pamit sama bapak dan ibu mau ke Jakarta sama Galih? atau jangan-jangan Galih membohongi kamu, dia tidak sesukses yang orang katakan?" bu Sari terus mencecar pertanyaan-pertanyaan penuh tekanan, bu Sari terlihat begitu tidak terima dengan perlakuan Galih yang bu Sari pikir membohongi semua orang.
Bu Susi hanya diam, mengantupkan bibirnya rapat. sejujurnya bu Susi pun bingung dan tidak tahu dengan apa yang terjadi Antara Galih dan Arumni.
Arumni berdiri tercengang menatap sang ibu, ia tak ingin gegabah dalam memberi jawaban, karena sesungguhnya Arumni pun bingung, akan bagaimana kelanjutan hubungannya.
"Ibu duduk dulu, bu!" ucapnya sambil menarik tangan ibunya.
Bu Sari mengibaskan tangannya. "Tidak, Arumni! ibu hanya butuh jawaban. Galih tidak benar-benar sukses kan? makanya kamu masih kerja sendiri. Kamu masih bersusah payah mencari uang untuk mencukupi kebutuhan mu?" Bu Sari tampak sangat tidak terima, anak semata wayangnya itu belum pernah bekerja sebelumnya dan kedua orang tuanya tidak mengijinkan hal itu.
"Ibu dengar dulu, bu! semua tidak seperti yang ibu kira, aku bisa menjelaskan, bu!" seru Arumni.
"Tidak, Arumni! pokoknya ibu mau bilang pada bapak mu, biar kamu tinggal di rumah mu saja, tidak perlu bekerja kami masih sangup mencukupi mu!" Tegas bu Sari. "Maafkan aku, bu Susi! besok aku akan bawa bapaknya Arumni ke sini untuk mengambil Arumni kembali!" kata bu Sari sambil berjalan keluar.
Bu Susi hanya diam pasrah, dan membiarkan ibunya Arumni pergi begitu saja. Bu Susi bingung harus berkata apa, karena Arumni pun masih menyembunyikan masalahnya.
Setelah kepergian ibunya, Arumni duduk mendekati sang ibu mertua demi mengurangi rasa cemasnya. "Bu, ibu tenang saja ya!"
Bu Susi memalingkan wajah, menyembunyikan rasa sedihnya. "Bagaimana ibu bisa tenang, Arumni! kamu tidak pernah mau terbuka, bagaimana kami para orang tua tidak merasa khawatir?" ucapnya sambil duduk membelakangi Arumni.
Arumni memeluk ibu mertuanya dari samping tempat duduknya. "Aku dan mas Galih memang sedang ada masalah, bu! Tapi aku yakin kami bisa mengatasinya, jadi ibu tidak perlu khawatir ya, bu?"
Bu Susi hanya diam, dalam mata tertutup ia menjatuhkan butiran kristal. Betapa bu Susi sangat sedih dengan adanya jarak diantara mereka.
"Aku berjanji, masalah ini tidak akan berlarut. Aku dan mas Galih akan mengatasi secepat mungkin, bu. Aku akan bersiap, sebentar lagi jam ku masuk kerja. Ibu jangan mengkhawatirkan kami berlebihan ya, bu?" kata Arumni, lalu berdiri meninggalkan ibu mertuanya di ruangan itu sendiri.
**
Malam itu, kala Arumni masih dalam tempat kerjanya, bu Susi menceritakan semua yang terjadi pada pak Arif, termasuk menyusulnya bu Sari ke pasar karena tidak terima anaknya bekerja. Bu Sari salah paham, dan mengira anaknya bekerja untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Bu Sari jadi merasa dibohongi oleh Galih, yang pernah berpamitan akan membawa Arumni ke Jakarta untuk tinggal di rumah baru mereka.
Tidak ingin membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut, pak Arif pun mengajak istrinya ke rumah orang tua Arumni untuk menjelaskan.
"Pak Yadi, anak-anak kita memang sedang ada perbedaan pendapat, tapi dalam pernikahan itu wajar kan? kita tidak perlu ikut campur berlebihan, cukup mengawasi saja, selama mereka masih bisa mengatasinya." Pak Arif membuka obrolan sesaat setelah mereka berada di rumah orang tua Arumni.
"Tapi pak Arif, anak kami tidak pernah bekerja sama orang lain sebelumnya!" Seru bu Sari.
Pak Yadi, memegang pundak sang istri sambil menggelengkan kepala demi menurunkan nada bicaranya. "Iya, pak Arif, kami memahami hal itu, apa lagi usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun, ibarat ombak sedang besar-besarnya."
Ucapan pak Yadi cukup bijaksana dan mudah diajak berdamai. Namun lain dengan ibunya Arumni yang masih ingin ngotot menarik kembali anaknya.
Setelah berbicara panjang lebar, bu Sari akhirnya mau mengikuti saran suami dan kedua orang tua Galih, agar tidak perlu terlalu ikut campur dalam urusan mereka, dan membiarkan mereka mengatasi masalah mereka sendiri.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi