Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Jinwoo berdiri di tengah kekacauan toko yang hancur berantakan, rak-rak patah, kaca-kaca pecah memenuhi lantai, dan dinding penuh retakan akibat duel singkatnya dengan Elizabeth. Matanya yang tajam menyapu sekeliling. Lalu, dengan nada santai yang menusuk, ia berkata:
“Apakah aku masih bisa potong rambut di sini?”
Hening.
Suasana itu seperti tusukan dingin di jantung setiap orang yang hadir. Elizabeth berdiri kaku, wajah cantiknya memerah antara malu, marah, dan bingung. Ia merasa pria di depannya tidak pernah serius sejak awal. Semua tatapan, semua kata-kata, bahkan serangan mengerikan barusan… seolah hanya permainan kecil baginya.
Elizabeth mengepalkan tangan. Dia sadar. Mustahil dirinya bisa menang melawan monster ini. Bukan hanya kekuatannya, tapi aura di balik tatapan Jinwoo membuat tubuhnya merinding.
“Apakah kau tidak lihat kondisi toko ku?” Elizabeth akhirnya bersuara, suaranya bergetar meski ia berusaha tegar. “Dan kau masih memikirkan soal potong rambut? Bahkan jika aku masih bisa, aku tidak yakin kau mampu—”
Kalimatnya terhenti ketika Jinwoo mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya yang lusuh. Sebuah kartu hijau zamrud yang berkilauan.
Emerald Card.
Semua orang di ruangan itu—para pegawai, pelanggan yang belum sempat lari, bahkan Elizabeth sendiri—membelalak.
“Aku benar-benar ingin potong rambut,” ujar Jinwoo tenang.
Elizabeth terkejut begitu dalam. Emerald Card… hanya dimiliki oleh kurang dari lima orang di seluruh dunia. Itu bukan sekadar kartu bank, melainkan simbol status, kekuasaan, dan pengaruh yang bahkan bisa mengguncang politik internasional. Pemiliknya bukan orang biasa.
Keringat dingin mengalir di pelipis Elizabeth. Gelandangan? Tidak mungkin. Orang ini jelas bukan orang sembarangan.
Jinwoo melipat tangannya, menatapnya datar. “Kenapa diam seperti patung begitu? Apakah otakmu rusak karena hempasan angin tadi?”
Elizabeth buru-buru merapikan pakaian dan rambutnya, berusaha menutupi kegugupannya. Lalu, dengan senyum yang dipaksakan, ia menunduk sopan.
“Jadi… model rambut apa yang Anda inginkan, Tuan?”
Jinwoo hanya menatapnya kosong, sedikit heran dengan perubahan drastis Elizabeth. Dalam hati ia berbisik:
“Sepertinya kartu bank milik Ezekiel bisa mengubah sifat seseorang ya? Ezekiel… aku pinjam dulu uangmu. Semoga kau tidak marah di surga.”
Elizabeth menoleh ke bawahannya dengan cepat. “BERSIHKAN SEMUANYA! Siapkan alat cukur, ruangan VIP, dan buat semuanya sempurna! CEPAT!”
Para pegawai langsung bergerak panik, membersihkan puing-puing kaca, menyingkirkan rak-rak patah, hingga mengganti kursi yang rusak. Elizabeth sendiri terus berkeringat dingin.
“Sial… sial… Elizabeth, lihat apa yang sudah kau lakukan. Kau hampir menyinggung seseorang yang jelas-jelas bukan manusia biasa. Jika kariermu runtuh karena ini… bagaimana nasib reputasimu?”
Tak lama, ruangan VIP sudah siap. Dengan senyum getir, Elizabeth menunjuk ke arah pintu emas berornamen mewah.
“Silakan lewat sini, Tuan. Ruangan VIP menunggu Anda.”
Jinwoo melangkah masuk. Begitu sampai di dalam, ia menatap sekeliling: sofa kulit hitam, cermin besar berlapis emas, aroma wangi mahal yang menyebar di udara. Ia mengangguk santai.
“Lumayan.”
Elizabeth yang berdiri di belakangnya hampir jatuh pingsan mendengar komentar itu. Lumayan? Ini ruangan yang bahkan presiden Amerika pun harus menunggu giliran untuk masuk, dan dia bilang lumayan?!
Jinwoo duduk di kursi besar, sementara seorang pemotong rambut profesional dengan tangan gemetar mendekat. “M-mau… dipotong model bagaimana, Tuan?”
“Apa saja. Yang penting rapi.” jawab Jinwoo.
Pemotong itu mengangguk cepat, lalu mengangkat gunting peraknya. Tangannya bergetar, tapi ia memaksakan diri untuk menggunting ujung rambut hitam Jinwoo yang panjang.
KREEEK!
Gunting mahal itu bengkok.
Pemotong itu terdiam. Elizabeth mengerutkan alis. “Kenapa lama sekali?”
“I-itu… anu, Nyonya… gunting kita tidak sanggup…” suaranya bergetar.
Elizabeth mendekat, wajahnya berubah pucat ketika melihat gunting perak itu patah seolah baru dipakai untuk memotong baja. Ia menoleh, melihat beberapa gunting lain yang coba dipakai bawahannya—semuanya patah, bengkok, atau retak.
Jinwoo mengangkat alis. “Rambutku ternyata merepotkan juga, ya? Aku akan membayar semua gunting itu. Tapi pertanyaan, bagaimana kalian bisa melayaniku kalau semua alatmu hancur?”
Elizabeth menggertakkan gigi. Dalam kepanikannya, sebuah ide muncul. Ia mengangkat tangannya, aura psikis berputar di sekelilingnya, lalu menciptakan sepasang gunting energi transparan yang berkilauan.
Ia mendekat, mencoba dengan hati-hati menyentuhkan gunting energi itu pada rambut Jinwoo. Untuk pertama kalinya, terdengar suara klik yang sempurna, sehelai rambut hitam jatuh ke lantai.
Elizabeth hampir lega menangis.
Jinwoo menoleh, menatapnya santai. “Kau sepertinya cerdik juga. Kau lebih baik jadi tukang potong rambut daripada Hunter Rank-S.”
TIK! Urat di pelipis Elizabeth menegang.
Dalam hati ia menjerit: “BRENGSEK! Aku Elizabeth, Hunter Rank-S yang dihormati seluruh dunia, pahlawan yang pernah menaklukkan Void Wyvern di Amerika… dan sekarang aku jadi TUKANG CUKUR? Ini penghinaan! Untung tidak ada yang melihat!”
Namun ketika ia menoleh, ia melihat salah satu bawahannya yang tadi ia usir keluar, masih berdiri di sudut dengan mata melebar. Elizabeth segera memberi tatapan tajam, penuh ancaman.
Bawahan itu menelan ludah keras-keras dan mengangguk cepat, memberi isyarat bahwa ia tidak akan membuka mulut.
Elizabeth kembali memotong rambut Jinwoo dengan gerakan halus, meski wajahnya memerah menahan rasa malu. Setiap helai rambut yang jatuh terasa seperti belenggu kehormatannya yang runtuh.
Jinwoo hanya bersandar santai di kursinya, menikmati layanan. “Ah… akhirnya. Rambut rapi, hidup jadi lebih enak.”
Elizabeth menggertakkan gigi lagi. Dalam hati, ia hanya bisa berdoa satu hal: “Semoga tidak ada satupun orang di dunia ini tahu aku, Elizabeth sang Singa Betina, pernah jadi tukang potong rambut seorang pria misterius… yang entah dari mana datangnya.”
Rambut terakhir yang dipotong jatuh ke lantai, bersama dengan sisa-sisa jenggot yang menutupi wajah Jinwoo selama entah berapa lama ia terjebak di “neraka” itu. Elizabeth menaruh gunting dengan kasar, wajahnya sedikit memerah, bukan karena malu tapi karena jengkel. Tangan indahnya basah dan penuh potongan rambut, membuatnya terlihat berantakan jauh dari citra pemilik salon elite.
“Sudah selesai,” gumam Elizabeth dengan nada ketus, lalu menepuk bahunya sendiri seakan ingin melepaskan beban yang menempel. Ia lalu mengambil handuk, membersihkan wajah Jinwoo dengan cepat, dan tanpa sadar melakukan pijatan lembut di sekitar rahang dan pelipisnya. Sentuhan itu tidak disengaja untuk memberi kenyamanan, namun entah bagaimana, ada sesuatu di balik ketenangan pria ini yang membuatnya refleks memperlakukan Jinwoo lebih lembut.
Sesaat kemudian, salah satu bawahannya datang sambil membawa setumpuk pakaian yang sudah dipilih khusus untuknya. Kemeja, setelan formal, bahkan mantel panjang yang biasanya hanya dikenakan oleh orang-orang berkelas tinggi.
“Silakan berganti pakaian di ruang sana, Tuan,” ucap bawahan Elizabeth hati-hati.
Jinwoo hanya mengangguk pelan lalu berjalan masuk ke ruang ganti.
Elizabeth, begitu pria itu hilang di balik tirai, langsung menggerutu keras.
“Dasar pria menjengkelkan! Rambutnya kusut kayak akar pohon, jenggotnya tebal macam monster gunung, dan sekarang tanganku jadi kotor gara-gara dia. Menyusahkan sekali! Kalau bukan karena situasi, aku sudah—” Ia menghentikan omelannya sejenak, mendecak kesal, lalu menambahkan lirih, “Semoga aku tidak pernah bertemu dia lagi di masa depan.”
Namun, saat tirai ruang ganti bergeser dan Jinwoo melangkah keluar, seluruh ruangan seketika membeku.
Elizabeth yang tadinya bersedekap dengan wajah masam, tiba-tiba kehilangan kata-kata. Napasnya tercekat, matanya membelalak. Bahkan bawahannya, yang sudah terbiasa melihat pria kaya, tampan, dan berwibawa, tertegun seakan-akan mereka sedang melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
Pria yang berdiri di hadapan mereka bukanlah monster yang tadi penuh debu, jenggot, dan rambut acak-acakan. Yang mereka lihat sekarang adalah sosok dengan wajah tajam, garis rahang sempurna, sorot mata gelap penuh wibawa, dan tubuh tegap yang memancarkan aura kekuatan murni. Semua itu dibungkus dengan setelan yang seakan dibuat khusus hanya untuknya.
Ketampanannya tidak sekadar fisik—ia memancarkan semacam pesona tak terlihat, sebuah charm yang membuat dada siapa pun yang melihatnya berdebar.
Beberapa pegawai wanita memerah pipinya, ada yang sampai menutup mulut menahan napas. Bahkan pria-pria di sana pun merasakan semacam tekanan aneh, kombinasi dari karisma dan aura berbahaya yang membuat mereka ingin menunduk.
Elizabeth, yang biasanya bisa mengendalikan diri dalam segala situasi, untuk pertama kalinya merasa lututnya lemas. Ia menelan ludah, dadanya berdegup tidak wajar. “...Mustahil,” bisiknya. “Aku sudah melihat banyak Hunter, bangsawan, bahkan pria paling tampan yang rela membayar mahal hanya untuk sekadar dipoles di salon ku. Tapi ini...” Ia menggeleng keras-keras, berusaha membuang pikiran yang mulai liar. “Tidak, tidak! Jangan konyol. Dia itu monster. Bukan manusia.”
Sementara itu, Jinwoo berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi datar. Perlahan, ia menyentuh rambut barunya yang pendek dan rapih, lalu rahang yang kini bersih dari jenggot. Bibirnya terangkat tipis.
“Cukup memuaskan,” ucapnya pelan, suaranya tenang namun berat, bergema di ruangan yang masih hening total. Ia lalu berbalik dan menatap Elizabeth. “Jadi, berapa harganya?”
Tidak ada jawaban. Semua masih sibuk menatapnya.
Alis Jinwoo sedikit terangkat. Ia melirik ke arah Elizabeth yang justru mematung, wajahnya terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Jinwoo lalu berdeham keras.
Khhem!
Sekejap, semua tersadar dari lamunan. Elizabeth hampir tersentak, lalu buru-buru menyilangkan tangan di dadanya, mencoba menutupi wajah yang memerah. “Li-lima juta dollar saja,” ucapnya cepat.
Jinwoo menatapnya tanpa ekspresi. “Kenapa mahal sekali?”
Elizabeth mendengus, mencoba mengembalikan sikap dinginnya. “Itu bahkan belum termasuk pelayanan pribadi olehku dan kerusakan tokoku yang kau sebabkan.”
Jinwoo mengerutkan kening tipis. “Kerusakan tokomu? Itu kan masalah yang kau buat sendiri. Kenapa malah dilimpahkan kepadaku?”
“Karena TANPAMU aku tidak akan repot seperti ini!” Elizabeth spontan membentak. Suaranya lantang, penuh emosi, seakan ia lupa siapa yang sedang dihadapinya. “Tangan indahku ini sekarang penuh rambutmu, pakaianku kusut, wajahku berkeringat gara-gara potong rambut monster sepertimu! Kau pikir aku tidak punya harga diri, hah?”
Semua orang yang mendengar omelannya terkejut. Mereka menahan napas, menunggu reaksi pria itu.
Namun Jinwoo hanya menghela napas panjang, matanya memandang Elizabeth dengan dingin namun ada kilatan samar di sana.
“Wanita memang makhluk yang merepotkan,” katanya datar. Lalu ia menunduk sedikit, suaranya lebih lirih. “...kecuali dia.”
Kata-kata terakhir itu terdengar bagai bisikan, namun cukup untuk menusuk ke dalam hati Elizabeth. Ada sedikit jeda hening yang berat, membuat dada Elizabeth terasa sesak entah karena apa.
Ia menggertakkan gigi, lalu buru-buru memalingkan wajah. “Tsk! Dasar pria menyebalkan.”
Para bawahan menunduk, pura-pura sibuk, berusaha tidak terlihat terpengaruh oleh suasana canggung yang mendadak tegang namun intim itu.
Jinwoo, dengan ketenangan yang menakutkan, melangkah pelan ke arah Elizabeth. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kayu, membuat jantung semua orang berdetak kencang.
Ia berhenti tepat di depannya, menatap mata Elizabeth dalam-dalam. Tidak ada ancaman, tidak ada amarah. Hanya tatapan yang terlalu dalam, membuat Elizabeth tanpa sadar menahan napas.
“Hitung ulang harganya,” ucap Jinwoo singkat. “Aku tidak punya waktu untuk permainan kecilmu.”
Elizabeth ingin membalas, ingin meledak dengan emosi seperti tadi. Namun suaranya tertelan. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa merasakan hawa panas merayap di wajahnya.
Jinwoo lalu merogoh saku dan meletakkan emerald card di meja kaca. “Ambil sesuai yang wajar. Selebihnya... anggap hadiah untuk kerepotanmu.”
Setelah semuanya selesai Ia berbalik tanpa menunggu jawaban, berjalan keluar dengan wibawa tenang yang membuat semua orang refleks menunduk.
Elizabeth menatap punggungnya yang menjauh, dadanya masih berdegup kencang. Ia menggenggam tangannya, berusaha menenangkan diri.
“Monster...” bisiknya, suaranya gemetar. “Tapi... kenapa aku...”