Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Sudah, terimakasih.”
Ia menekan tombol kirim, lalu menutup ponsel. Tangannya gemetar sedikit.
Malam semakin larut. Nindya merebahkan diri, tapi matanya enggan terpejam.
Suara Andrew kembali terngiang Kata-kata itu seolah membelah dinding yang susah payah ia bangun selama bertahun-tahun.
Namun, di sisi lain, wajah Yudith muncul. Anak itu adalah pusat dunianya. Ia tidak bisa membiarkan siapa pun, bahkan Andrew sekalipun, merusak kestabilan yang sudah ia perjuangkan mati-matian.
Pagi menyusul dengan cepat. Sinar matahari masuk lewat tirai, membangunkan Nindya dari tidur yang dangkal. Yudith sudah duduk di meja, makan roti dengan ekspresi ceria.
Melihat senyum anaknya, Nindya merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu, apa pun yang terjadi, Yudith harus selalu jadi prioritas. Andrew boleh hadir dalam hidupnya, tapi ia tidak boleh menjadi alasan Yudith kehilangan rasa aman.
Dengan pikiran itu, Nindya berangkat kerja. Namun, jauh di dalam hati, ia sadar semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin besar pula dorongan untuk melangkah mendekat.
Hari itu kantor sibuk. Suara mesin fotokopi bergantian dengan dering telepon. Nindya tenggelam dalam laporan keuangan, matanya lelah menelusuri angka-angka. Ia mencoba fokus, tapi pikirannya beberapa kali melayang pada pesan singkat Andrew semalam.
Sekitar pukul tiga sore, ponselnya bergetar. Sebuah nama muncul di layar: Andrew.
Nindya menatap sejenak, ragu apakah harus mengangkat. Tapi akhirnya ia menekan tombol hijau.
“Halo, Pak.”
Suara Andrew terdengar rendah, sedikit serak. “Kamu sibuk?.”
“Cukup ada laporan yang harus diselesaikan.”
“Kalau begitu saya tidak akan mengganggu, saya sudah senang dengan mendengar suara saja”
Nindya terdiam. Perhatian itu membuat hatinya hangat, tapi ia berusaha menjaga nada suaranya tetap netral.
“Saya baik, tidak perlu khawatir.”
Andrew tersenyum di seberang sana, meski Nindya tidak bisa melihat.
“Syukurlah kalau begitu, selamat bekerja tapi jangan memforsir diri.”
Nindya ingin berteriak,
"Tolong jangan beri saya perhatian seperti ini" Tapi entah kenapa, disisi lain hatinya merasa hangat.
Sore itu mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat pelabuhan. Tempatnya tidak ramai, hanya deru ombak dari kejauhan menemani. Nindya datang dengan kemeja putih sederhana, wajahnya masih lelah setelah seharian bekerja.
Andrew sudah duduk di pojok, secangkir kopi hitam di depannya. Begitu Nindya duduk, ia menatapnya serius. Tidak ada basa-basi kali ini.
“Nindya,” ucapnya perlahan,
“Ada sesuatu yang seharusnya kamu tahu.”
Nindya mengerutkan kening.
“Tentang apa?”
Andrew menghela napas panjang.
“Tentang masa lalu saya.”
Hening sejenak. Nindya menunggu, jantungnya berdetak lebih cepat.
“Saya pernah menikah,” lanjut Andrew, suaranya tenang tapi sarat penekanan. “Dan dari pernikahan itu, saya punya seorang anak laki laki namanya Alex kamu saat ini masih dalam proses bercerai."
Nindya terpaku. Kata-kata itu terasa seperti ombak yang menghantam dadanya.
“Anak itu tinggal bersama ibunya, ,” tambah Andrew.
“Pernikahan kami tidak berhasil. Ada banyak hal yang… tidak bisa saya perbaiki.
Nindya menelan ludah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari dirinya merasa lega karena Andrew jujur. Tapi ada juga bagian yang terkejut—pria itu menyimpan kenyataan sebesar ini, dan kini menyerahkannya begitu saja kepadanya.
Saat rumah tangga saya hancur karena pengkhianatan dan saya terpuruk saat itu bertemu seorang gadis asal vietnam.
Namanya Michelle, saya fikir dia gadis yang polos nyatanya manipulative, hingga akhirnya kami punya seorang Putri yang usianya selisih dua tahun dengan Yudith ."
Andrew menunduk, tangannya menggenggam cangkir kopi.
“Saya tidak mengatakannya untuk membuatmu kasihan, saya hanya ingin tahu latar belakang saya.”
Nindya menarik napas panjang.
“Jadi kamu menikah dua kali?”
Andrew mengangkat pandangan, menatapnya lurus.
“Saya hanya menikah resmi satu kalu dengan Cintya, dengan Michelle status kami hanya pacaran tapi...”
"Tapi apa?."
"Bisa di katakan saya di jebak, oleh ambisi Michelle hingga lahirlah putri kami."
Ucapan itu membuat hati Nindya bergetar. Inilah pertama kalinya Andrew benar-benar melepaskan topeng percaya dirinya, memperlihatkan sisi rapuh yang tersembunyi.
Nindya menunduk, mencoba menyembunyikan gejolak di dadanya.
“Sekarang apa kamu masih berhubungan dengan Michelle?.”
Andrew mengangguk pelan.
“Masih tapi hanya sebatas menjalankan tanggung jawab saya sebagai Ayah dari putri kami.”
Malam semakin pekat di luar kafe, lampu-lampu pelabuhan berkilau di kejauhan. Dan di meja kecil itu, ada dua orang yang mulai membuka pintu ke arah yang lebih dalam, meski mereka tahu risiko di baliknya begitu besar.
Malam itu, setelah pertemuan mereka di kafe, Nindya sulit memejamkan mata. Kata-kata Andrew berputar-putar di kepalanya.
Ia punya kesimpulan bahwa sesungguhnya Andrew masih terikat dengan Michelle terlepas alasan apapun di belakangnya.
Dan ia tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan siapapun, karena ia tahu betapa sakitnya hubungan yang di nodai kehadiran ornag ketiga.
Di satu sisi, ia mengapresiasi kejujuran itu. Di sisi lain, hatinya dicekam rasa waswas. Ia tidak mau, lagi-lagi, masuk ke dalam lingkaran hubungan yang berantakan.
Keesokan harinya Andrew kembali menghubunginya. Kali ini bukan lewat pesan singkat, melainkan panggilan langsung.
“Nindya, kita bisa bertemu sebentar malam ini? Ada hal yang belum selesai saya ceritakan.”
Nada suaranya tenang tapi ada ketegasan yang sulit ditolak. Nindya sempat ingin mencari alasan,untuk menolak bertemu tapi rasa penasaran mendorongnya untuk mengiyakan.
Mereka bertemu di sebuah restoran yang lebih sepi dari biasanya. Andrew terlihat berbeda malam itu—lebih kalem, bahkan sedikit tegang. Setelah pelayan pergi meninggalkan meja, ia langsung membuka percakapan.
“Nindya, saya tahu mungkin kamu merasa ragu. Kamu takut jadi orang ketiga dalam hidup saya.”
Ucapan itu membuat Nindya menatapnya dengan mata lebar.
“Bukankah itu kenyataannya, Andrew?apapun alasannya yang jelas ada hati yang mungkin masih menunggu.”
Andrew menggeleng pelan.
“Tidak.kami tidak ada hubungan apa apa selain alasan Putri kami”
Nindya terdiam. Kata-kata itu menimbulkan kelegaan, tapi juga rasa bersalah karena selama ini ia sudah lebih dulu menghakimi.
“Jadi kamu bukan orang ketiga Nindya” lanjut Andrew, suaranya lembut,
Nindya menunduk, jarinya menggenggam erat gelas minuman.
“Tapi Andrew… ini kan versi kamu saya tidak tahu versi perempuan itu dan tidak mungkin konfrontasi bukan?", sela Nindya seolah ragu demgan semua ucapan Andrew
Andrew terdiam sejenak, lalu meraih tangan Nindya di atas meja.
“Saya tidak memaksa kamu untuk percaya atas apa yang saya katakan, tapi itulah faktnya."
Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat Nindya sulit menyangkal. Namun hatinya tetap bergolak. Ia ingat betapa perihnya gagal dalam rumah tangga. Ia tidak ingin Yudith tumbuh melihat ibunya terseret dalam kisah rumit lagi.
Andrew seakan membaca kegelisahannya. “Kamu berhak ragu.tapi beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya serius.”
Nindya menarik napas panjang. Bagian dirinya ingin mundur, menjaga jarak, melindungi dirinya dan Yudith. Namun bagian lain… bagian yang sudah lama haus akan ketulusan, perlahan mulai luluh.
Malam itu mereka tidak membicarakan cinta atau janji. Hanya percakapan panjang yang berisi kejujuran—dan dari sana, untuk pertama kalinya, Nindya mulai melihat Andrew bukan sekadar pria asing yang hadir tiba-tiba, melainkan seseorang yang mungkin bisa mengisi ruang kosong dalam hidupnya.