NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:248
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memilih Untuk Bertahan

Kevin mengetuk pintu ruang kerja Rizal dengan ragu.

“Pak, saya sudah ketemu bu bos…”

Rizal mengangkat alis tanpa menghentikan tangannya yang sibuk menandatangani dokumen.

“Oh, ya?” Nadanya datar.

Kevin mulai menceritakan pertemuan di rooftop, tentang masa lalu Yuna yang pernah dirundung hanya karena dianggap dekat dengan seseorang ketika masih sekolah. Rizal berhenti menulis, matanya menatap Kevin sesaat, tapi hanya sebentar.

“Begitu, ya…” Gumamnya, lalu kembali memandang berkas di hadapannya seolah informasi itu hanya sekadar catatan tambahan.

Padahal, dalam hatinya, setiap kata Kevin menancap dalam.

Dia tidak ingin menanggapi lebih jauh. Tidak sekarang. Dia ingin Yuna sendiri yang mengatakannya, dari bibirnya, dengan matanya yang menatap jujur ke arah Rizal.

Sore itu, Rizal mengantar Yuna pulang. Mobil melaju tenang, tapi sebelum sampai ke rumah, Rizal memutar arah.

“Kita mampir sebentar.” Katanya singkat.

Yuna mengerutkan kening ketika mobil berhenti di depan sebuah bangunan yang sudah lama tak ia masuki, sekolah lamanya. Pagar dan gedungnya masih sama, bahkan bau rumput lapangan yang tercium dari jauh pun sama.

“Pak… ini…” suaranya pelan, hampir tercekat.

“Tempat penuh kenangan, kan?” Rizal tersenyum tipis, lalu menariknya masuk.

Lapangan basket sore itu kosong. Bola basket sudah ada di tangan Rizal, entah darimana ia mendapatkannya.

“Main sebentar?” tanyanya.

Yuna tertawa kecil, separuh malu.

“Saya udah lama banget nggak...”

Sebelum kalimatnya selesai, Rizal sudah melilitkan jas kerjanya ke pinggang Yuna.

“Biar bebas gerak.” Katanya, lalu melemparkan bola pelan ke arahnya.

Yuna menangkap bola itu, dan dalam hitungan detik, mereka mulai bermain, lempar, tangkap, dribble, tertawa. Seakan waktu mundur ke masa lalu. Seakan tak ada beban, tak ada gosip, tak ada jarak yang dibuat-buat.

Tawa Yuna pecah ketika Rizal pura-pura kalah, lalu menyentuh lututnya sendiri sambil berkata,

“Waduh, kalah sama mantan murid…”

Yuna menggeleng sambil menahan senyum, tapi di hatinya, kenangan lama dan rasa yang ia simpan rapat kembali menghangat.

Angin sore semakin lembut, membelai rambut Yuna yang sedikit berantakan karena permainan tadi. Lapangan sepi, hanya suara dedaunan dan dengung jauh lalu lintas yang terdengar.

Rizal menatapnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tangannya terulur merapikan anak rambut yang menjuntai di sekitar telinga Yuna. Ada sesuatu di matanya, bukan sekadar rasa khawatir, tapi perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Yuna menelan ludah, merasa seluruh udara di sekitarnya jadi tebal.

“Kamu nggak perlu takut sama masa lalu, Yun.” Bisik Rizal, suaranya nyaris seperti janji.

“Kalau kamu mau… biarin aku jadi alasan kenapa kamu nggak mundur lagi.”

Yuna ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Tatapan mereka bertaut lebih lama dari yang seharusnya. Rizal sedikit mendekat, menurunkan nada suaranya.

“Dulu aku cuma bisa jaga kamu sebagai guru. Sekarang… aku nggak mau cuma diam.”

Yuna merasa jantungnya berdentum kencang. Tangannya yang dingin karena gugup kini hangat saat Rizal menyentuh jemarinya, menggenggamnya perlahan, hati-hati, seakan takut dia akan menghilang jika terlalu keras.

Jarak mereka kian menyempit. Nafas Rizal terasa di wajahnya, hangat dan stabil.

“Kalau kamu nggak mau… bilang, aku akan berhenti...” Ucapnya, memberi pilihan.

Tapi Yuna tak berkata apa-apa. Antara gugup dan juga tidak tahu caranya menolak pesona laki-laki yang namanya selalu terpatri dalam hatinya. Dia hanya menutup mata, mendengar degup dengan telinganya sendiri. Itu sudah cukup bagi Rizal.

Dengan lembut, bibirnya menyentuh bibir Yuna. Bukan ciuman terburu-buru, tapi perlahan, hati-hati, seperti ia ingin memberi waktu bagi Yuna untuk merasakan setiap detiknya. Yuna merasakan dunia di sekelilingnya lenyap. Hanya ada mereka berdua, di lapangan yang dulu menyimpan banyak kenangan.

Saat mereka akhirnya saling melepaskan, Yuna membuka mata, wajahnya memerah. Rizal tersenyum kecil, menatapnya seakan baru saja memastikan sesuatu yang selama ini ia yakini.

“Sekarang kamu tahu… kenapa aku nggak akan biarin kamu pergi.” Ucapnya pelan.

Yuna hanya tersenyum, tapi di hatinya, ia tahu, ketakutan yang ia bawa bertahun-tahun mulai runtuh.

Malam mulai turun, lampu-lampu jalan menari di kaca jendela mobil yang melaju tenang.

Yuna duduk di kursi penumpang, memandangi pemandangan luar yang bergerak cepat. Tapi pikirannya masih tertinggal di lapangan basket tadi, di tatapan Rizal, di genggaman tangannya, di ciuman yang membuat lututnya serasa lemas.

Rizal tidak banyak bicara. Tangan kirinya mantap di setir, sementara tangan kanannya sesekali mengetuk pelan di kemudi mengikuti irama musik instrumental yang mengalun pelan dari radio. Sesekali ia melirik Yuna, lalu tersenyum kecil tanpa kata.

Keheningan itu bukan hening yang canggung, melainkan tenang, hangat. Seolah kata-kata tak lagi diperlukan karena keduanya sudah saling mengerti.

Di lampu merah, Rizal sempat menoleh lebih lama.

“Kamu nggak ngomong apa-apa dari tadi.” Ujarnya lembut.

Yuna menghela napas, mencoba menyembunyikan gugupnya.

“A-aku… nggak tahu harus ngomong apa.” Gugup Yuna.

Rizal terkekeh pelan, meski terbata-bata. Yuna mau mengubah bahasanya mengikuti dirinya.

Suara Rizal tetap hangat.

“Nggak apa-apa. Kadang… perasaan nggak perlu dijelasin, cukup dirasain.”

Yuna melirik sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya lagi. Pipinya masih panas.

Ketika mobil berhenti di depan rumahnya, Rizal tidak langsung mematikan mesin. Ia menoleh, menatap Yuna dengan mata yang sama dengan mata yang tadi membuat Yuna sulit bernapas.

“Aku serius, Yun. Apa pun yang bikin kamu takut… mulai sekarang, kita hadepin bareng.”

Yuna hanya mengangguk, menatapnya sebentar sebelum membuka pintu. Saat ia turun, Rizal menunggu sampai Yuna benar-benar masuk rumah, lalu baru ia pergi. Tapi senyum tipis masih menempel di wajahnya, senyum yang sama dengan yang Yuna bawa saat melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Yuna baru saja selesai mandi setelah pulang dari bermain basket bersama Rizal. Rambutnya masih basah, dan ia baru saja hendak mengoleskan salep ke lututnya yang sedikit lecet saat pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan.

Nadine berdiri di ambang pintu, bersedekap dengan wajah penuh emosi.

“Kita perlu bicara.” Ucapnya dingin.

Yuna menghela napas, mencoba tetap tenang.

“Kalau mau bicara, ketuk pintu dulu.”

“Aku nggak punya waktu untuk sopan santun.” Balas Nadine ketus sambil melangkah masuk.

“Aku mau kamu mundur dari perjodohan ini.”

Yuna terdiam sesaat, menatap Nadine yang berdiri seperti ratu yang menganggap dirinya berhak mengatur segalanya.

“Kenapa? Supaya Kak Nadine yang menikah dengan pak Rizal yang menurut rumor laki-laki yang tidak baik?” Tanya Yuna, suaranya kali ini tidak selemah biasanya.

Sorot mata Nadine langsung tajam.

“Kamu pikir kamu pantas berdampingan dengan laki-laki seperti dia?”

“Cukup, Kak!” Potong Yuna dengan suara yang sedikit bergetar, tapi matanya teguh menatap kakak tirinya.

“Aku sudah diam dan mengalah selama ini. Tapi kali ini, aku nggak akan mundur hanya karena Kak Nadine mau. Aku juga punya hak untuk memilih dan aku… memilih untuk bertahan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!