"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dara Oh Dara
Bermandikan cahaya rembulan dan lampu kota, titik nol Jogja menjadi tujuan mereka. Berkeliling kota setelah hari yang penat seperti ini sebenarnya adalah hal yang biasa. Tapi, akan menjadi istimewa jika melakukannya dengan orang tersayang.
Aroma buah persik berpadu dengan pahit jeruk yang sudah lama tak menyapa hidungnya, kini kembali tercium saat dirinya bergelayut di lengan kekasihnya. Dara bersikap tidak ada yang terjadi di pertemuan terakhir mereka.
Meski begitu, tetap saja Wisnu tak dapat menyembunyikan canggung yang muncul dalam dirinya. Tubuhnya menegang, seolah sikap Dara menjadi sesuatu yang asing hari ini.
Setelah menepikan mobilnya, pria itu melepaskan pelukan Dara. Dia menatap cukup lama pada wanita itu sebelum akhirnya berkata, “Maaf.”
“Maaf soal omongan aku yang nyakitin kamu kemarin,” Wisnu masih menatap mata cantik itu, “Maaf aku buru-buru soal hubungan kita kemarin.”
“Maaf, karena semuanya malah ngerusak hari ulang tahun kamu.”
Setelah mengatakan rentetan kata maaf itu, Wisnu dapat melihat ulasan senyum hangat dari wajah cantik di hadapannya. Dara tampak begitu tenang kali ini.
Wanita itu mengangkat tangannya dan mengusap rahang Wisnu pelan. “Aku juga minta maaf. Setelah dipikir-pikir lagi, aku juga terlalu kebawa emosi kemarin.”
Entah mendapat dorongan dari mana, wanita itu mendekat dan membubuhkan satu kecupan di pipi kekasihnya. Hanya sekilas sebelum akhirnya dia kembali menarik dirinya.
Dalam jarak yang tersisa lima jari itu, tatapan Wisnu bergantian dari kedua mata Dara dan bibir merah muda di depannya. Semua yang ada pada Dara tampak begitu cantik dan lembut.
“Boleh?” tanya Wisnu setelah menghentikan tatapannya pada bibir Dara.
Matanya kini menatap dalam retina cantik di depannya. Tampak setitik ragu dalam mata itu saat Wisnu meminta ijin barusan.
Dara mengatupkan bibirnya lembut. Pandangannya berlarian — asal tak bertemu pandang dengan Wisnu yang menatapnya cukup dalam saat ini.
Setelah berdiam di posisi itu cukup lama, akhirnya Wisnu menjauhkan tubuh Dara yang masih condong ke arahnya. Begitu pula dengan posisinya yang kembali menghadap ke jalanan di depan sana.
Deham rendah terdengar canggung dari Wisnu yang kini melepas seat belt. Reaksi Dara sudah dia tangkap dengan cepat tanpa wanita itu berbicara.
“Boleh,” ucap Dara tiba-tiba. Dia kini sedang meremas seat belt miliknya.
Wisnu sontak menoleh cepat. Alisnya naik tinggi dengan pandangan yang kembali mengarah pada Dara. “Yakin?”
“Mau aku berubah pikiran lagi?” timpal Dara.
Tanpa menunggu lama lagi, Wisnu kembali mengikis jarak di antara mereka. Kali ini dia yang mendekatkan diri pada perempuannya. Dara hanya perlu duduk diam dan menerima.
Untuk pertama kalinya, ranum keduanya saling bertemu dengan lembut. Tak ada pergerakan apa pun dari satu sama lain. Hanya saling menempel, namun cukup lama.
Berbeda dengan Wisnu yang memejamkan matanya, Dara membiarkan matanya terbuka sayu. Melihat wajah kekasihnya dari jarak sedekat ini. Dadanya berdesir, memanas hingga pipinya.
Baik Wisnu maupun Dara, keduanya menunduk begitu ciuman itu terlepas. Mereka melepas ciuman pertama mereka malam ini.
Dara mengusap pelan sisa pewarna bibir miliknya yang tertinggal di bibir Wisnu. “Itu tadi ciuman pertamaku,” katanya.
Mendengar itu, Wisnu lantas mendongak. Dia tersenyum lembut dan mengangguk. Yang tadi itu juga ciuman pertamanya. “Makasih.”
“Buat?” tanya Dara keheranan.
“Makasih udah jadikan aku yang pertama buat kamu,” lanjut Wisnu masih dengan senyumannya.
Dara ikut tersenyum. Kedua tangannya menangkup kedua sisi wajah pria di hadapannya. Dia juga melepaskan kacamata yang menghalangi pandangannya untuk langsung bertemu dengan mata Wisnu.
Lalu, dia kembali mendaratkan ciuman di bibir kekasihnya itu. Berkali-kali hingga menimbulkan suara kecupan pelan.
“Kedua, ketiga dan seterusnya. Aku yakin semuanya memang punya kamu.”
Senyuman Wisnu semakin mengembang di wajah tampannya. Untuk menutup hari mereka, dia memegang rahang kekasihnya dengan lembut. Ranum mereka kembali bertemu, kali ini cukup lama dan begitu dalam.
Bulan sabit di atas sana tampaknya ikut tersenyum, bergelayut di langit. Malam itu menjadi malam yang hangat bagi sepasang kekasih yang baru menghadapi retak dalam hubungan mereka.
Permintaan maaf yang keluar dari bibir masing-masing, juga lumatan kecil yang menari manis di antara mereka. Semuanya mengakhiri perang dingin tempo hari.
“I love you.”
Kalimat cinta itu keluar dari kedua insan yang sedang dimabuk asmara. Tanpa tahu apa yang akan kembali mereka hadapi esok hari.
...****************...
Seperti biasanya, Bunda akan selalu berdiam di ruang keluarga. Bersama layar televisi yang menayangkan acara komedi malam hari, Bunda menunggu kedatangan suaminya yang biasanya akan tiba sebelum jam 12 malam.
Namun, berbeda dengan hari ini. Ayah sempat mengirimkan pesan bahwa dia akan pulang lebih awal dari biasanya. Maka dari itu, Bunda sudah berada di sana lebih awal dari biasanya.
Suara pintu yang terbuka menarik perhatiannya. “Dari mana saja, Nu?”
Wisnu yang baru tiba, sontak melongok ke arah ruang keluarga. Dia menyunggingkan senyum pada Bunda. “Jalan-jalan, Bunda.”
Wanita dengan daster kuning dan roll rambut yang memenuhi kepalanya itu berkerut bingung. Padahal baru pagi tadi dia masih melihat wajah murung anak satu-satunya itu.
“Sama siapa?” tanya Bunda penasaran. “Raka? Pacarmu?”
Pria itu menaikkan dua jarinya, memilih opsi kedua yang disebutkan Bunda. Wisnu – masih bersama senyum tipisnya, duduk di sofa yang sedikit jauh dari Bunda. Tangannya bergerak mengirimkan pesan di ponselnya.
“Halah, gayamu! Kayak beneran punya pacar aja!”
Wisnu mendongak tak terima. “Emang beneran punya, Bun.”
“Terus, mana? Katanya mau dikenalin, kok lama sekali, Nu? Setahun loh kamu jawabannya nanti-nanti terus.”
Bunda bergerak mendekat pada Wisnu yang masih fokus pada ponselnya. “Nu.”
Mata Bunda memincing pada anaknya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, tubuhnya perlahan condong pada Wisnu. “Jangan-jangan ….”
Wisnu kembali menyimpan ponselnya, menunggu lanjutan ucapan Bunda yang menggantung. “Jangan-jangan, apa?”
“Jangan-jangan, pacarmu lanang ya, Nu? Makanya kamu nggak bisa bawa dia ke sini!?”
Bunda memegangi dadanya dengan raut pongah atas argumennya sendiri. Kepalanya menggeleng pelan, seolah tak menyangka dengan jalan hidup anaknya.
“Wes! Nggak bisa kalau begini terus, kamu memang harus menikah, Nu! Bunda nggak mau kamu berbelok ke jalan yang salah.”
Wanita itu berdiri dari duduknya, memegangi kepalanya agar belasan roll rambut yang ada di sana tidak terjatuh. Langkahnya buru-buru pergi dari sana, meninggalkan Wisnu bersama acara komedi di televisi.
“Wisnu masih normal, Bunda! Masih suka perempuan! Pacar Wisnu juga perempuan!” seru Wisnu pada Bunda yang berada di pertengahan anak tangga.
Wanita itu kembali menoleh. "Dia menolak ajakanmu buat bertemu Bunda, toh?"
Wisnu sontak terdiam. Bagaimana bisa Bunda mengetahui hal itu?
"Cincin di kamarmu itu juga karena dia menolak ajakanmu untuk ke hubungan yang lebih serius kan?"
Bunda kembali berderap turun menghampiri anaknya. Dia memegang lengan Wisnu yang kini memandang padanya.
"Kalau dia saja nggak yakin, jangan dilanjutkan, Nu."
Wisnu menggeleng. "Dia cuma butuh waktu, Bun. Dia cuma butuh untuk merasa siap untuk bertemu Bunda dan Ayah."
Bunda terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Katamu enam tahun, Nu. Enam tahun itu bukan waktu yang singkat untuk memutuskan kalian akan lanjut atau berpisah."
Suara langkah kaki terdengar dari arah pintu rumah. Ayah sudah tiba di sana dan mendengar semuanya.
Sambil melepas kancing teratasnya, dia berkata, "Minggu depan kita ke Malang."
"Menikahlah dengan pilihan Ayah dan Bunda, Nu. Kami yakin, kamu akan lebih bahagia daripada dengan pasanganmu yang sekarang."