Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEDIKIT RASA PERDULI YANG SIA-SIA
Hari ini, Mateo tengah terjebak dalam pertemuan bisnis yang panjang. Pria itu duduk dengan sikap tegap, mendengarkan setiap ucapan pria di sampingnya yang terus menjelaskan rincian proyek yang sedang dikerjakan. Meskipun penjelasan itu jelas dan terstruktur, pikiran Mateo tak sepenuhnya berada di ruang rapat.
Ia berusaha keras untuk fokus, mencoba menyelesaikan proyek besar yang harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun, bayangan wajah Livia sesekali muncul di kepalanya. Wajahnya yang lelah dan sendirian di rumah, terus bekerja tanpa henti, seakan menjadi bayang-bayang yang sulit untuk diabaikan.
Namun, Mateo mengusir pikiran itu secepat mungkin, kembali menatap meja rapat dan berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut rekan kerjanya. Ia tahu, jika proyek ini selesai tepat waktu, akan ada keuntungan besar yang bisa diperoleh. Dan itulah yang harus ia fokuskan sekarang.
Tepat saat istirahat berakhir, Mateo memutuskan untuk meninggalkan ruangan rapat. Ia merasa perlu sedikit menyegarkan pikiran, agar bisa kembali fokus dan produktif. Dengan langkah santai, ia menuju kafe di mall yang terletak di samping gedung kantornya.
Udara luar yang segar dan suasana di luar yang lebih tenang memberikan ketenangan sementara bagi Mateo. Ia memasuki kafe dengan langkah ringan, menyapa beberapa orang yang ia kenal di dalam. Aroma kopi yang kuat dan suara musik yang lembut menciptakan suasana yang nyaman.
Di sini, jauh dari tekanan pekerjaan, ia merasa sedikit lebih bebas, meskipun hanya untuk beberapa menit. Mateo memesan secangkir kopi hitam dan memilih duduk di sudut yang lebih sepi, berharap momen ini bisa memberikan ketenangan yang ia butuhkan sebelum kembali menghadapi tugas-tugas besar di kantor.
Saat kopi yang ia pesan tiba, Mateo mengangkat cangkir itu perlahan, menyeruputnya sambil memandang keluar jendela kaca kafe. Di luar, hiruk-pikuk pusat perbelanjaan terasa biasa saja orang-orang berlalu lalang, sebagian keluar masuk toko sambil membawa paper bag, sebagian lagi sekadar berjalan sambil mengobrol.
Namun pandangannya terpaku pada satu sosok seorang wanita bertubuh gemuk yang tengah mendorong kereta bayi. Gerak-geriknya tenang, ekspresi wajahnya teduh. Entah kenapa, bayangan itu menyeret pikirannya pada sosok Livia. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang serupa, dan pemandangan itu membuat imajinasinya berkelana jauh membayangkan bagaimana Livia nanti saat melahirkan. Akankah dia menangis? Akankah ia tersenyum saat melihat anak mereka lahir ke dunia?
Mateo menarik napas pelan, merasa asing dengan pikirannya sendiri. Ia tak mengerti, mengapa tiba-tiba memikirkan hal itu. Ia tak pernah peduli... bukan?
"Sial," gumam Mateo sambil mendesis pelan, meletakkan cangkir kopinya dengan kasar ke atas meja. "Mengapa aku memikirkan gadis gemuk itu?" lanjutnya, kesal pada dirinya sendiri.
Ia mengusap wajahnya, mencoba menepis bayangan Livia yang terus mengganggu pikirannya. Kenangan wajah polos wanita itu, tubuhnya yang kelelahan, dan perutnya yang mulai membesar terus menghantui benaknya. Mateo mendengus.
"Aku sudah cukup gila dibuat wanita itu... dia menghancurkan segalanya karirku, hidupku," ucapnya dalam hati, mencoba menegaskan bahwa kepeduliannya hanyalah sesaat, tidak lebih dari kelemahan sesaat yang harus segera dibuang jauh-jauh.
Ia meraih jasnya, berdiri dari kursi, dan melangkah pergi dari kafe, seolah melarikan diri dari pikirannya sendiri.
Mateo melangkah cepat keluar dari kafe, berniat kembali ke kantor. Namun saat melewati sebuah mini market di sisi koridor mall, langkahnya terhenti. Ia menoleh, menatap ke dalam etalase kaca yang memajang aneka buah segar. Entah dorongan dari mana, pria itu mendorong pintu masuk dan berjalan ke arah rak buah tanpa pikir panjang.
Tangannya mengambil beberapa apel merah. Buah itu tidak begitu sering ia beli, namun kali ini rasanya ingin. Tak hanya itu, ia juga mengambil satu kotak stroberi segar buah kesukaannya sejak kecil.
Saat membayar di kasir, ia sendiri tidak mengerti apa yang sedang ia lakukan. Hanya saja, ada bagian dari dirinya yang merasa... tenang. Dan itu membuatnya semakin bingung.
Malam itu, Mateo tiba di rumah dengan wajah lelah dan ekspresi datar. Tanpa melepas jasnya, ia langsung melangkah menuju area belakang rumah menuju kamar kecil yang kini ditempati Livia. Di tangannya masih tergenggam kantung belanja berisi buah-buahan yang tadi dibelinya.
Namun begitu membuka pintu kamar dengan kasar, napasnya tercekat. Di hadapannya, Livia duduk di tepi ranjang dengan Nano, salah satu penjaga rumah. Keduanya terlihat tengah bercakap, dengan jarak yang terlalu dekat di mata Mateo.
Mata Mateo menyala marah. Nafasnya memburu.
"Apa yang kalian lakukan?" suaranya tajam seperti pisau, menebas udara malam yang tadinya hening.
Livia dan Nano tampak tergagap saat Mateo berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam. Ketegangan langsung menyelimuti ruangan kecil itu.
“Maaf, Tuan… saya hanya ingin memastikan keadaan Nona Livia. Tadi dia sempat pingsan, saya tidak berniat macam-macam,” ucap Nano gugup, menunduk dalam ketakutan.
Mateo melangkah masuk perlahan, suaranya tajam dan dingin. “Sudah kubilang, kau dibayar untuk bekerja, bukan mencampuri urusan yang bukan milikmu.”
Nano menelan ludah, tangannya mengepal canggung. “Saya mengerti, Tuan. Saya minta maaf.”
Mateo berdiri begitu dekat hingga Nano nyaris tak berani menatap. “Kalau aku melihatmu dekat-dekat lagi dengan wanita ini, kau tak akan betah lama tinggal di rumah ini. Aku tidak suka orang yang tidak tahu tempatnya.”
Ancaman halus itu cukup untuk membuat Nano gemetar. Ia buru-buru menunduk dan melangkah mundur keluar ruangan dengan wajah pucat.
Setelah kepergian Nano, Mateo menatap Livia dengan pandangan sulit diartikan, Mateo melangkah mendekati Livia yang kini tertunduk. Tubuh wanita itu tampak gemetar, entah karena takut atau lelah.
“Kau nikmati perhatian dari pria lain, ya?” ucap Mateo dengan nada sinis, matanya menatap tajam seolah ingin menusuk hati Livia.
Livia tak mampu membalas. Air matanya jatuh satu per satu, menandakan betapa dalam luka yang ia rasakan. Kata-kata Mateo kembali menghujam harga dirinya, membuatnya merasa begitu terhina padahal yang ia butuhkan hanya sedikit kepedulian.
"Nano hanya membantu saya saat saya pingsan karena kelelahan," ucap Livia pelan, kepalanya tertunduk, takut menatap pria di hadapannya.
Mateo terkekeh sinis. Ia menarik dagu Livia paksa agar wanita itu menatapnya.
"Lama-lama kau pandai juga bersandiwara. Apa ini caramu menarik perhatian?" ucap Mateo menyindir, suaranya dingin dan tajam.
Livia akhirnya menatap balik, matanya basah namun tetap tegar. "Saya memang tidak punya apa-apa, Tuan. Tapi saya masih punya harga diri."
Jawaban itu membuat Mateo mengangkat alis. Ia tertawa kecil, kali ini bukan karena lucu, melainkan meremehkan.
"Berani sekali sekarang kau menjawab, ya? Baiklah. Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan."
Mateo berbalik, keluar dari kamar. Tak lama, suara kunci beradu terdengar. Ia menggembok pintu kamar dari luar.
"Nikmati waktumu untuk merenung," ucapnya dingin, sebelum pergi meninggalkan Livia yang kini terduduk lemas di balik pintu yang terkunci.
Mateo membuka kantong belanjaan dan menatap buah-buahan yang sempat ia beli tadi siang. Dengan gerakan kesal, pria itu melempar apel dan stroberi ke tempat sampah tanpa pikir panjang.
Rasa jengkel menguasainya, bukan pada orang lain, tapi pada dirinya sendiri.
"Apa yang ada di kepalamu, Mateo? Kenapa harus repot-repot memikirkan perempuan itu?" gumamnya tajam sambil memukul dahinya sendiri pelan, kesal.
Ia duduk, menunduk sejenak, lalu mendesis, "Kau bodoh, Mateo. Jangan biarkan rasa kasihan menguasaimu."
Di kamarnya yang sempit dan gelap, Livia duduk memeluk lututnya sendiri. Tubuhnya yang dulu berisi kini mulai tampak mengurus, bukan karena diet, tapi karena tekanan yang menghimpit batinnya setiap hari.
Matanya menerawang kosong. Di dalam sunyi, pikirannya melayang jauh, mengingat sosok Ratih, satu-satunya orang yang pernah memeluknya tanpa syarat. Walau mereka hidup dalam keterbatasan, Ratih selalu memberinya pelukan hangat, bukan penghakiman.
"Apa ada yang salah denganku, Bu?" bisiknya lirih, menatap tembok seolah itu adalah ibunya. "Kenapa semua orang selalu membenciku?"
Air mata jatuh perlahan, tanpa isak. Sunyi kembali menguasai ruangan, menyelimuti Livia dalam kesepian yang dingin dan tak bersuara.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/