Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Apa yang Anda lakukan?” tanya Luna. Tatapannya serius saat menyingkirkan tangan Mahesa dari mulutnya.
“Saya…saya minta maaf,” kata Mahesa dengan suara pelan dan penuh penyesalan. “Tadi saya hanya reflek saja.”
Hening.
Hanya ada kecanggungan diantara mereka. Saat Luna berpikir tentang sikap aneh pria asing yang ada di depannya saat ini, Mahesa justru masih terus memikirkan mengenai cincin pernikahan yang tadi sempat disebutkan oleh Luna.
Cincin itu. Awalnya Mahesa ingin membiarkan benda itu hilang begitu saja. Tapi sekarang, muncul seorang wanita yang mengatakan jika cincin itu berada di tangannya. Sebenarnya ini bukan sebuah masalah besar, karena Mahesa hanya cukup mengambil benda terkutuk itu lalu menyimpan atau langsung membuangnya.
Melihat gerak-gerik Mahesa yang sedikit aneh, Luna perlahan mengambil langkah mundur satu langkah kebelakang. Pria ini, masih tampak tenang dan berwibawa seperti saat mereka pertama bertemu. Hanya saja, saat ini ekspresi cemas dan gelisah sangat jelas kentara di wajahnya.
Saat mulut Mahesa hendak terbuka untuk kembali mengatakan sesuatu, matanya kembali membulat, melihat seseorang yang muncul begitu saja di tengah keramaian pasar, tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.
Orang itu adalah wanita penjual ayam potong yang tadi. Tapi kali ini ia tidak sendirian, tampak seorang wanita muda yang datang bersamanya.
Mahesa berusaha menyipitkan matanya, mencoba memastikan sesuatu. Dan wajah wanita muda itu tampak sedikit familiar meski dirinya tidak begitu yakin. Mahesa tidak terlalu ingat dengan teman-temannya waktu masih sekolah dulu, tapi dari cara mereka bersikap, sepertinya dia memang adalah Santi. Putri dari penjual ayam tadi.
Wanita penjual itu menoleh, diikuti oleh sang putri. Akhirnya mata mereka saling bertemu dengan Mahesa.
“Gawat,” gumam Mahesa.
Tanpa berpikir panjang, Mahesa langsung menarik tangan Luna begitu saja, mengajaknya segera pergi dari tempat itu.
“Ayo pergi!” katanya buru-buru.
“Eh, ada apa ini?” Luna yang tidak mengerti mengenai apa yang terjadi hanya bisa memasang wajah bingung. Tangannya ditarik oleh Mahesa untuk mengikutinya, keranjang belanjaannya bahkan hampir kembali terjatuh.
Keduanya menghilang di tengah keramaian orang yang ada di pasar. Membelah kerumunan, untuk bisa menjauh secepat mungkin.
Sementara itu, dari kejauhan, wanita penjual ayam tadi masih memperhatikan kepergian Mahesa dengan penuh antusias. Bukannya sadar akan sikap Mahesa yang berusaha menghindar, ia justru berpikir jika saat ini pria itu tengah merasa malu karena akan bertemu dengan Santi.
“Kamu lihat itu, Santi? Itu teman lamamu yang namanya Mahesa,” serunya pada sang putri.
Santi, wanita yang baru menyandang status janda itu mengernyitkan dahinya. “Mahesa? Apakah dia yang dulu badannya gemuk itu?” tanyanya dengan ragu.
“Iya! Tapi sekarang dia sudah banyak berubah. Lihatlah…tubuhnya sangat bagus, wajahnya juga tampan,” puji sang Ibu tersenyum lebar.
Santi kini juga turut memperhatikan ke arah Mahesa. Meski sudah jauh, tapi Santi langsung merekam jelas wajah tampan itu dalam ingatannya.
“Ibu benar…dia memang tampan,” senyuman licik muncul di wajah Santi.
“Makanya cari cara agar kamu bisa dekat dengannya,” Ibunya memberikan ide yang menurutnya sangat cemerlang. “Siapa tahu jika kamu bisa ikut dia dan hidup di kota, kan lumayan banget.”
Santi tertawa kecil, membayangkan jika hal itu memang benar bisa terjadi. Maka, kehidupannya pasti akan berubah drastis.
“Hidup di kota? Berarti aku akan menjadi seorang nyonya, seperti di sinetron-sinetron itu ya, Bu?”
“Iya,” jawab si Ibu tak kalah heboh.
Mimpi untuk bisa hidup di kota membuatnya memiliki semangat yang sangat besar. Tentunya jika semua itu terjadi, maka ia bisa jalan-jalan ke mall setiap hari, tinggal di rumah besar dan tidak terjebak di tempat kecil seperti ini lagi seumur hidupnya.
“Aku akan mencari tahu dulu tentang dirinya,” kata Santi dengan semangat.
Ibunya tampak tersenyum puas, tangannya menepuk pundak putrinya sangat bangga. “Itu baru semangat.”
***
Langkah kaki Maria terhenti saat dirinya baru saja keluar dari sebuah kios kecil yang menjual berbagai macam alat kecantikan. Maria masih memegang kantong plastik di tangan kanannya, berisi sebuah bedak yang baru dibelinya.
Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri dan sama sekali tak mendapati sosok adik iparnya, yaitu Luna, dimanapun.
“Dasar merepotkan,” gumam Maria. Ia mengeratkan gigi karena merasa kesal.
Hari ini suasana pasar memang sangat ramai. Bau tanah yang becek bercampur dengan berbagai aroma keringat manusia memenuhi udara. Mungkin akan sedikit sulit dan sangat melelahkan untuk mencari keberadaan Luna di tengah banyaknya orang saat ini.
“Padahal bahan makanan itu harus segera dimasak untuk makan siang,” Maria menggerutu, tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menemukan keberadaan Luna.
Tapi saat dirinya masih berpikir, sebuah ide jahat kembali muncul.
“Jika Luna menghilang di pasar, maka dia bisa memanfaatkan hal itu dan kembali mengarang cerita untuk membuatnya terlihat semakin buruk di mata keluarganya.”
Batin Maria dalam hati. Bibirnya mengulas senyum licik, tak menyangka jika dirinya akan diberikan kesempatan untuk bisa membalas rasa kesalnya pada Luna.
Tanpa banyak berpikir, Maria langsung bergegas menuju ke arah tempat parkir, mengambil sepeda motornya dan langsung tancap gas meninggalkan keramaian pasar serta meninggalkan Luna yang entah sedang dimana.
Sesampainya di rumah, Maria masih merasa ragu apakah Luna benar-benar menghilang di pasar atau justru wanita itu telah kembali lebih dulu ke rumah. Akan tetapi, David tampak muncul dari arah dalam, dahinya berkerut saat melihat kedatangan Maria yang sendirian.
“Mbak…dimana Luna?” tanya David.
Mata Maria berbinar. Berarti memang benar jika Luna belum kembali ke rumah. Dan inilah saatnya untuk membuat keadaan menjadi semakin panas, pikir Maria.
“Entahlah. Padahal aku sudah bilang agar berjalan tidak terlalu jauh dariku. Tapi istrimu itu…ya, kamu tahu sendiri lah jika dia sangat susah diatur,” kata Maria berpura-pura kesal.
David melangkah mendekat, wajahnya hampir memerah padam.
“Susah diatur? Apa maksudmu, Mbak?”
Maria menahan senyum. Berpikir jika telah berhasil menciptakan suatu kegaduhan, dan ia tentu saja harus melanjutkan semua ini agar menjadi lebih menarik.
“Istrimu itu, tadi malah keluyuran sendiri di pasar, mungkin ingin cari perhatian. Dia bahkan memakai riasan sesaat setelah sampai pasar, memangnya mau pamer sama siapa sih?” ucap Maria. Ia memang sangat pandai untuk membuat keributan dengan bersandiwara.
Wajah David berubah tegang. Rahangnya mengeras menahan amarah.
“Untuk apa dia berdandan hanya untuk pergi ke pasar?” gumam David, suaranya pelan tapi terdengar berat.
Maria yang melihat kemarahan David merasa sangat puas. Ia bahkan berpura-pura untuk menenangkan David meski di dalam hatinya ia tengah bersorak penuh kegembiraan. Segala kemarahannya pada Luna, akan segera terbayar lewat David.
“Luna pasti akan kena marah saat pulang nanti. Rasakan ini Luna, siapa suruh main-main denganku.”
Maria melangkah masuk ke dalam rumah, sedangkan David masih berdiri di depan pintu, hendak menunggu kedatangan Luna dengan kedua tangan yang berkacak pinggang, menunjukkan rasa kesalnya.
BERSAMBUNG