NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: Kau Jahat Kak (Arka)

"Mau kemana, Mah? Kenapa pagi-pagi begini sudah rapi?!" tanya Cantika penasaran sambil memandang ibunya yang terlihat sibuk sejak tadi.

"Melihat gadis itu," jawab Liu dengan senyuman tipis di wajahnya. Cantika hanya menghela napas panjang, merasa aneh dengan tingkah laku ibunya.

"Lagi? Untuk apa?" tanyanya sambil menyipitkan mata, berusaha mencari jawaban di balik ekspresi ibunya.

"Hanya ingin bertemu saja. Mama sangat senang mengobrol dengan dia. Dia baik dan cantik," ujar Liu santai sambil memasukkan sesuatu ke dalam tas kecilnya.

"Mama tidak sedang merencanakan sesuatu, kan?" Cantika semakin curiga. Liu berhenti sejenak dan menatap putrinya, lalu tersenyum kecil.

"Rencana apa lah kamu ini, Cantik. Mama hanya ingin menemui dia saja, salahnya di mana?" Ujar Liu sembari menatap putri nya itu.

"There's nothing wrong, but to be honest, I'm suspicious that Mama's behavior is not normal. (Tidak ada yang salah, tapi jujur saja aku curiga dengan tingkah Mama yang tidak seperti biasanya)," ujar Cantika, sambil mengangkat bahu.

"Astaga, apalah kamu ini, Cantika. Selalu saja terlalu imajinatif!" Liu tertawa kecil mendengar ucapan anaknya itu. Percakapan mereka terputus saat Rudianto, ayah Cantika, keluar dari kamar mandi. Ia melirik ke arah istri dan anaknya yang terlihat sedang asyik bercanda.

"What happened? You guys look so happy? (Apa yang terjadi? Kalian terlihat bahagia sekali?)" tanya Rudianto bingung sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Papa! Good morning," ujar Cantika ceria, lalu berlari memeluk ayahnya.

"Morning too. Ada apa sebenarnya? Kenapa kalian cekikikan begitu?" Rudianto mengerutkan dahi, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.

"Kita lagi bahas tentang sahabat Mama. Sepertinya Mama suka sama dia, Pah!" celetuk Cantika tanpa berpikir panjang.

"What did you say? (Apa yang kamu katakan?)" tanya Rudianto, matanya menyipit bingung.

"Papa... Mama mau cari Papa baru buat Cantik dan Kak Raden," lanjut Cantika, kali ini dengan nada menggoda. Rudianto dan Liu langsung saling pandang. Ekspresi mereka sulit diartikan, antara bingung dan terkejut.

"Apa?" tanya Rudianto, kini nada suaranya terdengar serius. Ia melepaskan pelukan Cantika dan menatap Liu penuh tanda tanya.

"Papa baru? Maksudnya apa ini?" tanyanya lagi, wajahnya berubah serius. Cantika hanya tersenyum lebar, senang melihat ayahnya kebingungan.

"UMM... memangnya Papa nggak sadar? Mama udah rapi sepagi ini, mau kemana coba? Lihat tuh, Mama udah dandan secantik itu. Tidak mungkin cuma mau di rumah, kan?" Ujar Cantika, makin menikmati situasi ini.

"Liu?" suara Rudianto terdengar lebih dalam saat ia menatap istrinya. Pandangannya seolah menuntut penjelasan.

Cantika hanya tertawa terpingkal-pingkal melihat situasi di ruangan tersebut tiba-tiba menjadi panas. Dia sangat tahu sifat sang ayah yang merupakan pencemburu akut terhadap sang ibu, terutama kalau ada orang lain yang mencoba mendekati Liu.

Sementara itu, Liu yang sudah terbiasa menghadapi keisengan putrinya itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Usia Cantika yang sudah beranjak dewasa ternyata tidak membuatnya menjaga jarak dari kedua orang tuanya, seperti remaja-remaja lain yang sudah memiliki privasi sendiri. Cantika lebih suka bermanja-manja dengan kedua orang tuanya dan sesekali mengerjai dua orang yang paling dia sayang itu, membuat suasana rumah jadi lebih hidup.

Berbeda 180° dengan Ryan, anak pertama mereka. Sedari kecil, Ryan memang tidak suka bermanja-manja seperti itu. Ryan termasuk anak pendiam dan kurang terbuka kepada kedua orang tuanya. Mungkin hal itu juga dampak dari didikan Rudianto yang cenderung mengajarkan Ryan untuk berpikir rasional tentang segala hal. Terkadang, Liu sedikit merasa kecewa dengan sikap Ryan yang terkesan kaku, namun dia tidak pernah memaksa anaknya untuk berubah. Ryan tetap menjadi dirinya sendiri, meskipun Liu sering berharap dia bisa lebih ekspresif.

"Apalah kamu ini, Mas, percaya kamu dengan ucapan putrimu itu?" ujar Liu yang ikut tertawa melihat kelakuan suaminya yang tampak cemas.

"Ini serius loh, sayang, " jawab Rudianto, suaranya sedikit mengendur, meskipun masih ada ketegangan yang tersisa.

"Tidak ada serius-seriusnya, ini masih pagi. Dan kamu, Cantik, mulutmu itu asal jeplak saja. Sudah tahu ayahmu pencemburu akut, " ujar Liu, sambil menatap putrinya yang masih berdiri memeluk tubuh sang suami yang baru saja selesai mandi.

"Lagipula, Mama bikin curiga sih." Cantika hanya tersenyum nakal.

"Mama kamu kenapa?," Rudianto menoleh ke Cantika, merasa curiga. Cantika tersenyum lebar, tampak seperti anak nakal yang baru saja menemukan 'senjata' yang sangat ampuh.

"Mama ingin menemui kak Raya," Jawab nya sembari tersenyum.

"Siapa itu Raya?" tanya Rudianto, penasaran.

"Orang yang aku selamatkan," jawab Liu sambil menyela ucapan putrinya.

"Yang bunuh diri itu?. Untuk apa?," tanya Rudianto lagi, nada suaranya berubah lebih serius.

"Aku hanya senang saja bisa bicara lebih banyak dengannya. Dia wanita yang baik," ujar Liu dengan senyuman tulus. Ada kehangatan di wajahnya, seperti sebuah rahasia kecil yang dia nikmati.

"Pantas saja Cantika curiga padamu, ini bukan sifatmu," ujar Rudianto sambil beranjak dari kursi dan berlalu untuk memakai pakaiannya.

"Betul kan apa yang aku katakan?" ujar Cantika dengan wajah penuh kemenangan.

"Apalah kalian ini, aneh-aneh saja. Lagipula, apa salahnya jika kita senang dengan seseorang?, " Liu hanya menggelengkan kepala.

"Tidak ada yang salah sih, Ma... tapi aku penasaran dengan rencana Mama," ujar Cantika, tetap senang menggoda ibunya yang sedang berusaha menjaga ketenangannya.

"Ya sudah, terserah kamu saja," jawab Liu sambil mengakhiri percakapan itu dan mulai berjalan menuju pintu.

" Boleh aku ikut, ma? " Tanya Cantika.

"Baiklah, ayo!" Jawab Liu sembari menahan senyum saat putrinya mengikuti langkahnya.

Sementara itu, seorang wanita cantik tengah menyapu lantai rumahnya dengan perasaan yang gembira. Setiap gerakan sapuannya terasa ringan, seolah hidupnya mulai membaik setelah segala peristiwa kelam yang menimpa. Namun, kebahagiaan kecil itu harus terhenti tiba-tiba saat suara yang familiar memanggil namanya.

"Raya..."

Seketika Raya mematung, hatinya berdebar. Suara itu, suara yang sudah lama tidak didengarnya, terdengar begitu dekat. Tak lama, sosok pria itu pun muncul, melangkah dengan cepat ke arahnya. Raya yang terkejut langsung refleks berjalan mundur, merasa tubuhnya mendadak lemas.

"Kak Arka?" ujar Raya, suaranya sedikit bergetar, masih kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana Arka bisa tiba-tiba tahu di mana dia tinggal, padahal dia sama sekali tidak pernah memberitahu siapapun tentang alamatnya. Arka menatapnya dengan tatapan serius, tanpa senyuman di wajahnya.

"Gue mau bicara sama lo," ujar Arka dengan suara yang datar, namun ada ketegangan yang terasa dalam setiap kata-katanya. Raya menelan ludah, mata sesekali melirik ke arah pintu rumahnya, ingin segera mencari cara untuk mengusir pria itu.

"Kumohon, kali ini saja jangan ganggu aku. Aku lelah diperlakukan layaknya hewan oleh kalian," jawab Raya dengan suara yang gemetar, merasa terbebani dengan semua yang terjadi.

"Dengarin gue, Raya!" *Arka mendekat, nada suaranya mulai meninggi* "Hutang nyawa lo pada gue belum selesai. Lo gak bisa lari dari tanggung jawab lo sendiri. Dua hari lo nggak masuk kampus, lo sengaja, kan? LO SENGAJA MAU NGEHINDARIN GUE?" Bentak Arka dengan emosi yang mulai meluap.

"Ngehindarin apa sih, Kak? Aku sedang sakit, jadi aku tidak masuk kampus," jawab Raya, mencoba menjelaskan dengan sejujurnya, meskipun hatinya sangat kesal.

"Lo pikir gue bakal percaya sama omong kosong lo itu?" jawab Arka, nada suaranya semakin tajam, kesal dengan penjelasan Raya yang menurutnya tidak masuk akal.

"Kalau Kakak datang cuma buat nyari masalah, lebih baik Kakak pergi aja. Aku mohon!" ujar Raya, suaranya tegas, meskipun hatinya bergejolak menahan rasa kesal. Sedangkan Arka menatapnya dengan mata yang semakin menyala.

"Lo berani ngusir gue sekarang?" ujarnya dengan nada yang kasar, kesal dengan ucapan Raya yang menurutnya tidak seharusnya dia dengar. Padahal, niat awalnya datang ke sana adalah untuk melihat kondisi Raya, setelah mendengar kabar bahwa Raya hampir saja mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh seseorang. Tetapi, niat baiknya berubah menjadi emosi karena ucapan Raya yang terasa menyakitkan baginya.

Sebenarnya, Arka menyadari bahwa teman-temannya masih sering memerintah Raya, memperlakukannya dengan cara yang kasar. Tapi dia sama sekali tidak pernah ikut campur dalam hal itu , walaupun dia tahu hal itu tidak sepenuhnya benar. Tapi menurut nya dirinya memang tidak bersalah.

Arka menghela napas, merasakan kontradiksi dalam dirinya. Di satu sisi, dia merasa perlu bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Raya, tetapi di sisi lain, dia juga merasa frustasi dengan sikapnya yang begitu sulit dipahami.

"Iya, tolong pergilah. Aku sangat menghormati kakak, jadi dengan segala kerendahan hatiku, pergilah Kak. Jangan ganggu aku saat aku sedang di rumah... Biarkan aku bahagia walaupun hanya untuk sesaat saja. Cukup saat di kampus saja aku dijadikan budak oleh kalian, jangan ganggu ketenangan pribadiku saat aku sedang di rumah," ujar Raya dengan suara yang lembut, namun penuh emosi yang terpendam.

"Kurang ajar!!... Lo lupa kalau lo harus tunduk sama perintah gue? Lo lupa gue pernah nolongin nyawa lo dari teman-teman gue? Kalau bukan karena gue, lo nggak mungkin masih hidup sekarang. Dan sekarang lo ngomong kaya gitu sama gue?!" bentak Arka dengan wajah yang merah padam, jelas terlihat betapa marahnya dia.

Raya terdiam mendengar ucapan Arka. Sebagian dari apa yang Arka katakan memang ada benarnya. Jika bukan karena dia yang menyuruh teman-temannya untuk berhenti, mungkin dia sudah tidak ada lagi. Meskipun begitu, kenyataan bahwa Arka juga bagian dari mereka membuat hati Raya semakin berat.

"Apa tujuan kakak datang?" ujar Raya akhirnya, memilih mengalah, meskipun dalam hatinya penuh kekhawatiran.

"Ikut gue," ujar Arka tanpa basa-basi, langsung menarik tangan Raya dengan kasar.

Namun kali ini, Raya bukan wanita yang diam saja. Dia melepaskan genggaman tangan Arka dengan keras, membuat Arka menghentikan langkahnya dan menatap Raya yang kini menunduk, berusaha mengendalikan emosinya.

"Bisa katakan dulu padaku, kamu akan membawaku ke mana?" ujar Raya, suaranya sedikit gemetar, tetapi ada tekad dalam kata-katanya.

"Itu penting?" Arka menjawab dengan nada dingin, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih.

"Tentu saja penting, justru itu sangat penting bagiku. Aku trauma pergi bersamamu," ujar Raya, masih dengan suara yang bergetar, mengingat semua perlakuan Arka sebelumnya.

"Ciih... nggak sopan," ujar Arka dengan nada meremehkan, berdecih kesal.

"Aku tidak mau kejadian yang sama terulang kembali, aku trauma dengan kejadian di rumah sakit itu. Aku tidak suka saat bersama kamu," ujar Raya dengan tegas, mencoba menyampaikan perasaannya yang sudah lama terpendam.

"Kejadian apa? Jangan mengada-ada. Udah syukur-syukur gue masih mau ngurusin dan nganterin lo ke rumah sakit. Lo nggak inget saat lo pingsan, gue yang nolongin lo? Jadi jangan merasa paling tersakiti, itu pilihan lo sendiri yang memilih untuk membersihkan kolam renang. Padahal gue udah kasih pilihan yang bagus dengan ngajak lo kerja sama, tapi lo nolak. Lo tahu di luar sana cewek-cewek pada ngantri di depan pintu masuk, hanya untuk melihat gue lewat!" ujar Arka dengan nada penuh penekanan, suaranya penuh kekesalan dan kebanggaan.

"Dokter itu hampir melecehkan aku, Kak, dan kamu pergi begitu saja. Aku melakukan semua itu karena aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kalian. Aku ingin hidup tanpa terbelenggu oleh bayang-bayang kalian lagi," ujar Raya, yang suara dan wajahnya kini serius. Ucapan itu keluar begitu saja, tak bisa ia tahan lagi.

Namun, ucapan Raya hanya disambut dengan kekehan dari Arka.

"Sejak lo gue tolong, itu artinya lo udah terlibat dengan dunia kita, Raya. Lo pikir ada dokter semurah itu yang apa katamu? Heemmm... melecehkan begitu? Hahaha..." ujar Arka sambil tertawa mengejek, tak menganggap ucapan Raya serius.

"Aku tahu kakak tidak akan percaya padaku. Sekarang aku hanya ingin bertanya, aku akan dibawa ke mana?" ujar Raya dengan suara lebih tegas, meskipun pandangannya menghindari mata Arka, ia hanya menatap sembarangan.

"Tidak perlu tahu... tugas lo cuma nurut sama perintah gue aja," ujar Arka sambil melangkah maju, matanya menatap dengan tajam.

"Kalau begitu, aku tidak ingin ikut. Maafkan aku," ujar Raya, tegas namun hatinya dipenuhi rasa cemas.

"Lo yakin? Gue bisa aja buat lo diusir dari university saat ini juga. Dan satu hal yang perlu lo ingat, sekolah itu milik keluarga gue, dan lo masuk ke sana cuma bermodalkan prestasi gue. Tinggal menjentikkan jari, nama lo nggak akan ada lagi di sana," ujar Arka dengan senyum jahat yang terukir di wajahnya.

"Kenapa harus aku, Kak? Salahku apa sehingga kalian selalu menggangguku?" ujar Raya dengan suara yang terdengar lemah, hatinya terasa seperti terhimpit oleh beban yang berat.

"Gak mungkin ada asap kalau gak ada api. Andai saja hari itu lo nggak ketemu sama gue dan teman-teman gue, mungkin gue nggak akan ganggu lo. Dan kesalahan terbesar lo adalah dengan ketemu orang-orang kaya seperti kita," ujar Arka dengan nada datar, seolah-olah hanya dia yang benar.

"Itu bukanlah keinginan ku, aku sama sekali tidak pernah mengusik kalian, tapi kalian lah yang memulai semuanya," ujar Raya dengan nada yang mulai lemah, merasa terpojok oleh kata-kata Arka.

"Salah lo muncul di hadapan kita. Kalau seandainya lo nggak ketemu kita, semuanya nggak akan terjadi, bukan?" ujar Arka, seolah dia yang paling benar di dunia ini.

"Kau jahat, Kak!" ujar Raya, merasa tak berdaya. Mengakui bahwa kata-kata Arka memang benar, namun hatinya tetap dipenuhi perasaan marah dan sakit.

"Lo tahu gue nggak pernah baik. Jangan banyak omong dan ikut sama gue sekarang!" ujar Arka, kembali menggenggam tangan Raya dengan kuat. Raya hanya bisa menatapnya dengan wajah kosong, tak bisa melawan. Dia hanya meminta izin untuk mengunci pintu rumahnya. Setelah itu, dia mengikuti langkah Arka, tanpa ada pilihan lain.

" Ya tuhan akhirnya kita sampai juga , mama  udah gak sabar mau ketemu sama dia " ujar Liu dengan antusias , sedangkan Cantika hanya diam menatap sekeliling rumah itu .

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!