NovelToon NovelToon
Spiritus

Spiritus

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Tamat
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sayakulo

Jam tiga pagi, seorang lelaki dilempar ke kursi taman atas dosa yang bukan salahnya, seorang gadis telah jatuh hati dan sang pengagum iri.

Tinju melayang dan darah mengalir, sang lelaki hampir mati...

Namun!

Muncul iblis. Hitam emas. Sekali pukul dan sang pengagum terjatuh.

Siapakah sosok ini?

*mengandung kekerasan
*update setiap Senin & Kamis (20.00 WIB)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sayakulo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagai Pinang Dibelah Terbalik

Sebab Dhien dan Godai sudah menghilang dari pandangannya.

...----------------...

Di koridor sana ialah seorang pangeran kecil yang berambisi, yang akan dilupakan oleh waktu tak lama lagi.

Sedang di sini, di ruangan meja terbelah ialah seorang lelaki dan gadis yang katanya mengarah ke UKS, tapi mereka tak pernah ke sana, justru mereka kembali ke tempat mereka pertama kali bertemu.

Narasi itu, kuakui, terdengar seperti kisah cinta yang akan bersemi lama, tapi kujamin bahwa cinta jauh dari kisah ini, tetapi ada rasa lain yang menggebu.

Bukanlah rasa ingin bersama, bukan juga rasa tenang akan kehadiran pasangan, tidak, rasa seperti itu tak ada di sini, hanyalah panas, tajam, dan keinginan untuk menghancurkan.

“Godai,” panggil sebuah suara.

Lelaki itu melihat, dan pandangan sinis tajam penuh fokus memandangnya kembali.

“Kenapa lu gak ngelawan?”

“Karena gue gak bisa.”

“Enggak bisa…?”

“Iya,” senyumnya.

“Lu yang matahin meja… enggak bisa ngelawan…?”

“Iya,” angguknya.

“Bodoh.”

Godai tersenyum sendu beserta tatapan kosong yang dibuangnya ke lantai.

“Bodoh,” ulang sang gadis, “padahal kalau lu ngelawan mereka enggak mungkin ngeganggu.”

“Dhien.”

Kira-kira kalau gue mau ngelawan mereka, mereka bakal masih hidup kah?

Gadis itu mendengar jawabannya.

“Lu udah liat sendiri kan, meja itu, meja kayak begitu,” jawabnya pelan, “ini baru meja yang kupukul sekali, sekali.

“Dan inipun baru meja, benda mati, yang gue tau pasti enggak bakal kesakitan kalau gue hancurin, tapi ini mereka manusia, manusia bisa teriak, nangis. Anak kecil kalau sakit pasti nangis, kenceng.

“Yah, bisa aja sih lehernya gue hantam dulu biar mereka diem, tapi buat apa? Yang ada kalau mereka mati nanti gue yang disalahin, gue korban sekaligus kambing hitam. Daripada jadi dua-duanya mending gue jadi satu aja.”

“Lu udah coba ngomong ke guru?”

“Buat apa?” ia perlihatkan upaya itu melalui sorotan matanya, “biarpun gue bilang guru, yakin guru nggak bakal bisa ngurus mereka, terlebih lagi, Kasa…” Godai terdiam sejenak.

“…Anak artis yang bahkan waktu gue dipanggil ke ruang kepsek, kepseknya tunduk ke mereka.”

Kepseknya aja tunduk, Dhien, apalagi guru.

“Belum lagi orangtuanya Indra, sama Raider, yang satu bajunya hijau berbintang, yang satu lagi…” Godai melihat ke atas, mencoba untuk mengingat karakteristik dari ayahanda si tiang listrik, “tau deh, yang gue liat cuma dia pakai baju kerja aja.”

“Raider bapaknya penyelidik.”

Godai terheran.

“Bareskrim. Polisi.”

Godai senyum, entah senyum apa, senyumnya sedikit sekali, lalu tertawa.

“Jadi tentara, polisi, sama anak artis…” jawabnya lesu, “lu tau darimana bapaknya itu polisi, Dhien?”

“Bokap gue juga sama.”

“Di Bareskrim juga?”

“Bukan.”

“Jadi lu juga anak polisi…”

Godai tiba-tiba pesimis.

“Terus,” lanjutnya, “lu enggak mau jeruk makan jeruk kan ya?”

“Maksud lu apa?”

Godai kaget akan jawabannya, lebih lagi dengan muka Dhien yang penuh api.

Amarah.

“Jadi maksud lu, karena gue keluarga polisi, gue jadi ngelindungin Raider karena sama-sama anggota?”

“Bukannya memang begitu?”

Dhien marah.

Kerah Godai ditarik.

“gue enggak dibesarkan jadi polisi khianat, Godai,” gadis itu berbisik ke dalam kuping sang lelaki. Tidak, bukan bisikan, itu interogasi.

Mengayomi, melindungi, melayani.

“gue diajar begitu.”

Ngerti?

Dhien kemudian mundur.

Lalu keduanya diam.

Diam cukup lama.

Memang, situasi yang begitu membingungkan.

Di satu sisi, Dhien, yang baru mengetahui bahwa Godai dirundung, tetapi tak melakukan apa-apa meskipun ia bisa mematahkan meja dengan satu pukulan.

Yang lain, Godai, yang baru mengetahui bahwa Dhien adalah anak seorang polisi, kubu yang sama dengan orang-orang yang melukainya, yang di dalam benaknya tersimpan konsep—juga kenyataan—bahwa jeruk tidak mungkin makan jeruk, sehingga ia tak mungkin langsung mempercayai Dhien, apalagi setelah ia tahu kenyataan itu.

Jadi.

Seorang pemenang bela diri tingkat provinsi yang tidak mengamalkan pengetahuannya meskipun ia di dalam kasus marabahaya.

Seorang polisi, yang semestinya menjadi pengayom, pelindung, juga pelayan rakyat, sama sekali tidak dipercaya.

Bukankah hal yang aneh, kasus ini?

Mengapa bisa, kira-kira?

Hal itu sejenak kupikirkan.

Sebuah misteri, kalau bisa dibilang.

Semacam kesalahan sistem?

Atau memang ada hal lain yang tak kuketahui?

Yah, pengetahuanku terbatas dari kereta lintas dunia.

Juga dari pengalamanku sebagai mantan manusia, ya dahulu kala diriku ini seorang manusia.

Hal yang janggal juga, bukan?

Seseorang yang dapat menjadi mantan manusia.

Seorang ahli bela diri yang tak melawan.

Seorang polisi yang tidak dapat dipercaya.

Hmm…

Kalau dilihat lagi, mungkin hal demikian sama sekali tak aneh.

Sedikit tidak aneh dibandingkan kasusku.

Tetapi, kembali lagi, sebuah keanehan pada umumnya akan menjadi normal.

Sebagaimana diriku yang merasa bahwa menjadi mantan manusia adalah hal yang aneh, tapi itu dahulu kala, ketika masih transisi.

Mungkin juga bagi Godai, melalui alasan bahwa kalau ia melawan, maka ketiga orang itu tak akan pernah bernapas kembali dan ia harus menjadi kambing hitam atas perlakuannya. Mungkin baginya, opsi tidak melawan itulah hal yang lumrah.

Namun, mungkin bagi Dhien, kenyataan bahwa dirinya yang keluarga polisi tidak dapat dipercaya itu adalah suatu konsep yang aneh dan masih aneh, jelas terlihat dari reaksinya yang begitu kontras dan reaktif terhadap asumsi Godai mengenai tindakan yang akan diambilnya.

Mengayomi, melindungi, melayani.

Itulah baginya, tugas seorang polisi.

Dan itulah sebagaimana mestinya seorang polisi.

Baginya, polisi manapun yang melakukan kebalikan darinya, adalah seorang khianat.

Biarpun ia senilai kepala, atau hanya patroli jalanan, semuanya sama.

“Godai…” anak polisi itu memanggil.

Godai melirik kepadanya.

“Gue—”

Kemana coba itu bocah?

Sebuah suara menarik perhatian mereka.

“Gara-gara lu sih, Kas, kita jadi begini kan!”

“Bacot, lu berdua juga mukulin.”

“Misalkan lu kagak ngedorong terus mau mukulin itu anak, kita gabakal begini.”

“Bacot!”

Tang!

“Lu daripada ‘nga-ho-nga-ho gara-gara Kasa kita jadi begini’ mending lu bantu cari solusi, ini salah lu juga karena gak ngejaga pintu.”

“Lu mau berantem hah!?”

“Udah!” sebuah teriakan dan kedua orang itu diam.

“Kas, udah kita tau emang blunder, sekarang kita harus cari solusi, lu juga Ndra, jangan komplain, kita tau kejadiannya begitu. Kalau kita malah berantem yang ada solusinya enggak ketemu.”

“Lu kalem banget, Der, lu sama sekali gak takut apa?” tanya Kasa.

“Santai sih.”

“Kenapa emangnya?”

“Itu cewek polisi juga soalnya. Mana mungkin mau ikut campur.”

Suara itu melewati ruangan tempat diriku berada, tetapi kini tempat itu sudah gelap, lampunya dimatikan, sehingga ketiga orang itu tak masuk dan langsung lewat, bagus.

Karena di dalam salah satu lemari besi ruangan itu, tersimpan dua orang yang semenjak kedatangannya tengah bermediasi, tengah mencari jalan keluar, sama halnya dengan tiga orang tadi yang menghiraukan tempat mereka berada.

Setelah sunyi, pintu lemari itu terbuka, dan keluarlah seorang lelaki dan perempuan yang sudah pasti, bilamana terlihat oleh seorang guru pasti akan langsung ditanyakan, dan apabila terlihat oleh tiga orang setan itu, pasti langsung di entah-apakan.

Syukur, ketika mereka keluar, tak ada satupun orang yang melihat.

“Godai,” panggil Dhien yang sudah tenang dan kini duduk di kursi.

“Ya?” Godai menjawab dengan posisi sama ketika mereka pertama kali bertemu.

“Gimanapun caranya…”

Mereka bakal tanggung jawab.

Dan gue bakal ngebantu lu sampai tuntas.

1
laesposadehoseok💅
Terperangkap di dalamnya
87K: betul kak, dianya ditelan sama tiang listrik.

Makanya kata mama, jangan main keluar di jam tiga pagi(⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠).
total 1 replies
Nurqaireen Zayani
Makin penasaran! 🤔
87K: Makasih kak, semoga kakak makin kepo sama ceritanya(⁠・⁠∀⁠・⁠)
total 1 replies
∠?oq╄uetry┆
Ngakak parah!
87K: Halo kakk, semoga kakak terhibur, kalau boleh tau bagian mana ya yang bikin kakak ngakak◉⁠‿⁠◉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!