Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. The Darmastawa's Family
Anggi
Masih ada waktu dua hari sebelum mereka harus terbang ke Jakarta untuk mulai petualangan around the world. Dan siang ini, usai mengantarkan rombongan keluarga besarnya ke bandara untuk bertolak ke Jogja, Rendra mengajaknya berkeliling ke seluruh anggota keluarga Darmastawa.
Rendra mulai bertandang sesuai dengan urutan senioritas. Pertama, mereka pergi ke rumah Mama Dina. Rumah megah bak istana yang terletak di cluster elite itu sudah dipenuhi oleh anak cucu, demi menyambut si anak hilang yang telah kembali, yaitu Rendra.
Mama Dina, di usianya yang hampir 60 tahun, masih terlihat segar dan cantik. Kebayang kan secantik apa beliau waktu muda. Namun dari tatapan mata dan cara bicara jelas tertangkap luka batin yang sengaja ditekan dan disembunyikan.
Mama Dina memiliki lima orang anak, yaitu Delvin, Dinda, Daris, Dara, dan Dikta. Semuanya sudah berkeluarga. Khusus untuk anak laki-laki, semuanya memiliki istri lebih dari dua. Hmm, definisi nyata like father like son.
Anak-anak Mama Dina berkecimpung di dunia bisnis sektor hulu dan dunia politik. Ada yang melesat, ada yang masih tertatih, ada juga yang sedang berkubang masalah. So far sambutan dan atensi terhadap mereka berdua tergolong baik dan lumayan menyenangkan. Hanya saja, selama setengah jam terakhir ia dibiarkan menunggu sendirian di ruang tengah, bersama sekumpulan bocah yang sedang asyik bermain, sementara orangtua mereka dan Rendra berkumpul di ruang makan. Entah sedang membicarakan apa, yang pasti serius dan sedikit menegangkan, karena beberapa kali terdengar nada suara tinggi yang saling bersahutan.
Rendra langsung mengelus puncak kepalanya begitu keluar dari ruang makan. "Sori, kamu jadi dicuekin," sambil mendudukkan diri di sebelahnya yang sedang duduk di karpet sambil mengepang rambut Zeva, putri sulung Dinda.
Ia hanya tersenyum sambil terus mengepang rambut Zeva, "Efek dari tanda tangan kamu kemarin?" tebaknya miris. Dan Rendra hanya mengangguk dengan wajah letih.
Destinasi kedua adalah kediaman Mama Evi. Tak jauh berbeda dengan rumah Mama Dina, tempat tinggal Mama Evi juga bak istana. Namun kata Rendra, "Rumah Mama Evi di Samarinda. Kejauhan kalau kita kesana. Jadi, kita ke rumah Kak Elia aja, mumpung Mama Evi lagi disini."
Jadi ini adalah rumah Elia, anak Mama Evi yang pertama. Disini mereka juga disambut full team oleh Mama Evi, Elia, Erika, Evin, dan pasangan masing-masing.
Tak jauh berbeda dengan Mama Dina, Mama Evi juga masih sangat cantik dan fresh, definisi dari tak lekang oleh waktu. Sayangnya ia kembali menangkap sorot amarah yang terpendam di mata Mama Evi. Entah, mungkin ia yang terlalu sotoy.
Sama seperti sebelumnya, suasana mulai memanas ketika masuk ke topik sensitif. Bahkan, meski ketiga anak Mama Evi perempuan semua, namun kengototan mereka tak perlu diragukan lagi. Ia sampai harus berbisik ke telinga Rendra, meminta ijin untuk mencari udara segar di luar, saking telinganya sudah tak sanggup lagi mendengar kalimat buruk penuh amarah, sekaligus umpatan dan makian yang bersahutan.
Begini rupanya, makna dari mengejar ***** dunia itu ibarat meminum air laut. Semakin banyak diminum, semakin bertambah haus. Semakin dikejar, semakin terasa kurang. Semakin banyak yang dimiliki, masih saja tak pernah cukup.
Ia akhirnya memilih duduk di ruang bermain anak-anak. Dimana dua anak perempuan Erika yang masih SD sedang bermain boneka barbie. Lalu anak Evin yang baru berusia 9 bulan sejak tadi merangkak kesana kemari diikuti oleh baby sitternya. Sementara anak-anak lain yang lebih besar sedang bermain game di ponsel masing-masing.
Ia pun tertarik untuk mendekati anak bungsu Elia yang masih berusia 5 tahun, yang duduk menyendiri di sudut ruangan.
"Halo....Tante boleh ikut main nggak?" tanyanya meminta ijin, sambil memasang wajah ceria. Mempraktekkan kembali pengalaman menjadi volunteer anak-anak di daerah terdampak bencana saat semester 4 dulu.
Anak berkulit putih itu mengangguk sambil lalu. Dan 15 menit kemudian, ia sudah bisa mengambil hati Rigel. Kini mereka sedang berlomba menyusun lego, ketika tiba-tiba sebuah suara mampir di telinganya.
"Tak kusangka Rendra pilih cewek macam kamu jadi istri."
Sontak membuatnya terkejut, dan ketika menoleh ke arah suara, dilihatnya Jimmy, suami Elia, sedang tersenyum miring.
"Terlalu biasa untuk orang macam Rendra."
Jujur saja, pendapat penuh tendensi seperti ini sudah sering ia dengar. Bahkan sejak pertama kali mereka jalan bersama, jauh sebelum hatinya mulai terbuka untuk Rendra. Namun tetap saja, saat mendengar orang berkata demikian, jiwa insecurenya akan muncul.
"Kita lihat bisa bertahan berapa lama sama Rendra."
Otaknya masih memproses kalimat Jimmy untuk memutuskan reaksi yang paling tepat. Apakah diam saja, menjawab sambil menunjukkan emosi, atau anggap angin lalu? Ketika Rigel menarik-narik tangannya,
"Tante kok berhenti mainnya, kita kan lagi balap nyusun lego."
"Wah, iya...Tante lupa...," ia pura-pura terkekeh sambil mulai menyusun Lego kembali.
"Papi jangan ganggu! Jangan ajak ngomong! Tante Anggi lagi main sama aku!" teriakan Rigel langsung mengusir keberadaan Jimmy diantara mereka. Meski bernapas lega, ia mengernyit,
"Rigel, kenapa bicara sama Papi teriak-teriak kayak orang lagi marah?" baru kali ini ia menyaksikan anak usia 5 tahun berteriak dengan ekspresi penuh kebencian pada ayahnya sendiri.
"Rigel tahu kan kalau kita harus sopan sama orang yang lebih tua. Apalagi itu Papi Rigel sendiri. Nggak boleh teriak-teriak begitu."
"Kenapa enggak boleh? Papi juga kalau ngomong sama Mami teriak-teriak!" jawab Rigel polos.
"Kalau Mami jawab teriakan Papi, nanti pasti dipukul Papi," lanjut Rigel lagi. "Jadi kalau tadi Papi jawab lagi, nanti aku pukul Papi kayak Papi mukul Mami!"
Ia buru-buru meraih Rigel ke dalam pelukan. "Rigel sayang..."
"Ih, Tante, ngapain peluk-peluk?! Aku nggak suka dipeluk!" Rigel melepaskan pelukan dengan gerakan kasar. Membuatnya hampir terjengkang karena tak siap.
"Kenapa Rigel nggak suka dipeluk?" tanyanya hati-hati sambil membelai kepala Rigel. Yang langsung dikibaskannya. "Aku juga nggak suka disentuh-sentuh!"
Ia menghela napas panjang. Pr di keluarga Rendra sudah lah banyak, susah, pelik lagi. Tapi yang mengherankan, kenapa Rendra bisa punya basic manner se sweet itu, padahal lingkungan keluarganya tidak kondusif.
"Tante...tante...tante masih lama disini kan?"
"Tante tidur di rumah aku kan?"
"Kenapa Rigel nanya begitu?" tanpa sadar ia kembali membelai rambut Rigel, yang langsung dikibaskannya lagi.
"Aku suka main sama Tante," jawab Rigel sambil memamerkan gigi depannya yang gerigis dan menghitam.
"Tante juga suka main sama Rigel," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Sukaaa banget..."
"Balap lagi yok Tan," Rigel mengobrak abrik legonya yang telah tersusun.
"Ayo!" ia ikut mengacak legonya agar berantakan.
"Yang kalah harus kasih hadiah!" pekik Rigel girang.
"Siapa takut!" jawabnya percaya diri.
"Kita sekarang mau buaaat...," Rigel mencoba berpikir.
"Mobil?" tebaknya.
Rigel menggeleng.
"Kereta?"
"No..."
"Rumah?"
"Pesawat!" jawab Rigel yakin. "Kita buat pesawat tempur. Yang kalah harus kasih hadiah!"
Ya, sudah bisa ditebak, Rigel memilih pesawat tempur pasti karena itu spesialisasinya. Ditambah dengan kemampuan otak fotografisnya yang tak terlalu moncer, niat ingin membuat pesawat tempur, justru hasilnya terlihat seperti kupu-kupu.
"Tante kalaaaah!" pekik Rigel. "Hadiah! Hadiah! Hadiah! Aku mau hadiah!" pekik Rigel lagi sambil melompat-lompat kegirangan.
"Wah, apa ya?" ia mesti berpikir keras. Mereka tadi hanya membawa oleh-oleh cinderamata berupa kain batik dan kerajinan perak khas Jogja untuk orang-orang dewasa. Tak membawa kado spesial lain untuk anak-anak.
"Hadiah?" Rigel tersenyum lebar dari telinga ke telinga menunggu hadiah darinya.
"Rigel udah bisa baca belum?" mendadak ia teringat sesuatu yang tersimpan di sling bagnya.
Rigel menggeleng.
"Oh," ia menjentikkan jari sambil beranjak ke sofa dimana ia tadi menyimpan sling bag. Sementara Rigel mengekorinya di belakang dengan antusias.
Ia mengambil diary kecil dan bolpen yang memang selalu tersimpan di dalam sling bagnya. Entah seperti sudah ada yang mengatur, saat ini ia membawa diary yang masih utuh dan kosong, belum dipakai sama sekali. Padahal biasanya ia membawa diary yang hampir penuh.
"Maaf ya Rigel, Tante Anggi nggak bawa apa-apa," ia berlutut di depan Rigel sambil menyerahkan diary dan bolpen. "Tante cuma bawa ini."
"Buku?" Rigel mengernyit dengan wajah kurang tertarik.
"Eits, ini bukan sembarang buku," ia berucap seolah marketing handal yang ingin menjaring prospekan baru.
"Ini buku rahasia Rigel," bisiknya sok misterius. "Jangan sampai ada orang lain yang tahu."
"Oh," ia meralat ucapannya. "Kecuali Rigel, Mami, dan guru yang paling Rigel sukai. Boleh lihat buku ini. Yang lain," ia menggeleng. "No!"
"Aku kan belum bisa nulis. Belum bisa baca!" wajah Rigel masih mencemooh. "Nggak seru ah."
"Eh, iyaa...," ia kembali bersikap meyakinkan. "Justru karena Rigel belum bisa baca, Rigel harus punya buku ini. Kan jadi bikin Rigel semangat belajar baca nantinya. Karena pingin cepet-cepet nulis di buku ini...."
Wajah Rigel terlihat mulai berpikir.
"Sama ini...," sambil mengangsurkan bolpen Doraemon miliknya. "Bonus bolpen."
"Aku nggak suka Doraemon," Rigel makin mengernyit. "Aku sukanya Superhero!"
Ia menghembuskan napas. "Doraemon juga superheronya Nobita loh."
Rigel menggeleng keras-keras. "Nggak mau bolpen. Nggak mau buku! Maunya hadiah superhero!" Lalu berjalan dengan menghentakkan dua kaki keras-keras ke lantai menuju sofa.
"Tante asyik diajak main," gerutu Rigel sambil melemparkan diri ke sofa. "Tapi hadiahnya nggak asyik! Nggak seru!"
Ia masih meringis sambil mengamalkan jurus inhale exhale seperti saat menghadapi situasi pelik, ketika Rendra muncul dari ruang dalam sambil menggelengkan kepala dan mulut memberi kode, "Enough."
"Maaf sayang, jadi lama nunggu," bisik Rendra sambil mencium puncak kepalanya sekilas, lalu mendudukkan diri di sofa di sebelah Rigel yang masih saja cemberut.
Ia menggeleng sambil tersenyum dengan kode menunjuk ke arah Rigel.
Mulut Rendra bergerak tanpa suara,"Kenapa?"
Membuatnya harus menarik tangan Rendra agar menjauh, lalu membisikkan sesuatu yang membuat Rendra mengangguk-angguk sambil tertawa.
Mereka sempat ngobrol basa-basi lagi dengan Mama Evi sebelum akhirnya Rendra pamit pulang. "Masih harus ke rumah Mama Amy, keburu kesorean," begitu alasan Rendra.
Namun sebelum benar-benar pulang, Rendra mendekati Elia lebih dulu untuk berkata, "Aku pinjam Rigel dulu lah Kak. Kubawa ke depan sebentar. Nanti kukembalikan lagi."
Elia mengangguk setuju.
"Ayooo, Amang mau pulang ini!" Rendra berpamitan dengan keras kepada semua anak-anak. "Siapa yang mau ikut??"
Semua menggeleng kecuali Rigel, yang dengan malu-malu berjalan mendekati mereka berdua.
"Ndak ada orang mau ikut kah?!" Rendra pura-pura tak melihat Rigel dan terus berteriak.
"Aku lah!" Rigel menarik-narik ujung kaos Rendra sambil cemberut. "Aku ikut sama Amang."
Rigel melompat-lompat kegirangan dipangkuannya ketika mobil yang dikemudikan Rendra mulai bergerak menjauh dari rumah Elia.
"Benar orang ikut Amang?" Rendra pura-pura mengernyit.
"Iyalah," Rigel menjawab senang.
"Kenapa mau ikut? Kemarin-kemarin Amang kesini orang cuek kaa ke Amang?!" tuduh Rendra tak percaya.
"Aku memang ndak mau ikut sama Amang. Aku mau ikutnya sama Tante," jawab Rigel sambil tertawa girang.
"Hih, dasar anak orang!" tangan Rendra pura-pura terulur ingin menjitak kepala Rigel, namun malah nyasar mengelus kepalanya.
"Wah, udah pantes jadi Mama nih," kerling Rendra sambil tersenyum miring. "Anak orang aja nempel, gimana aku sebagai suaminya....pasti pingin neeem....Aduh!" Rendra mengaduh karena ia keburu menjewer telinganya.
"Nggak usah sepik sepik," gerutunya. "Ada anak dibawah umur," sambil menunjuk Rigel yang masih duduk melompat-lompat di pangkuannya.
Rendra terkekeh sambil kembali mengelus kepalanya. "High quality calon Mama...."
Rendra membawa mereka ke sebuah Mall yang terletak tak jauh dari rumah Elia. Lalu mengajak mereka ke Toys Kingdom, surganya mainan anak-anak.
"Rigel," Rendra berlutut di depan Rigel.
Hmm, high quality calon Papa juga nih, batinnya sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Rigel cuma bisa ikut Amang sama Tante sampai sini, terus pulang lagi."
"Kenapa?" Rigel mengernyit. "Aku mau sama Tante terus."
Rendra menepuk bahu Rigel. "Besok, Tante harus ikut Amang ke Jakarta."
"Kenapa?" Rigel makin mengernyit. "Kalau gitu orang ikut ke Jakarta juga."
Rendra terlihat mulai menarik napas panjang. Membuatnya tertawa, hmm, patut ditunggu, seberapa jago Rendra menyepik anak kecil, apakah selihai seperti saat menyepik cewek-cewek? We'll see.
"Rigel kan harus sekolah."
"Aku nggak suka sekolah!"
"Nanti Mami sedih kalau Rigel pergi ikut Amang."
Kali ini Rigel terdiam. Sepertinya Mami adalah sosok yang paling disayangi oleh Rigel. Dan diamnya Rigel membuat Rendra seolah mendapat angin segar.
"Kasihan Mami nanti kangen sama Rigel."
"....."
"Sekarang...gimana kalau Amang sama Tante kasih hadiah spesial buat Rigel. Boleh pilih mainan apa aja yang Rigel mau. Tapi abis itu kita pulang ke rumah. Karena besok Amang sama Tante mau ke Jakarta. Gimana?"
Rigel sempat terdiam beberapa saat sambil menimbang-nimbang. Membuat mereka berdua saling berpandangan. Apakah negosiasi yang dilakukan Rendra akan mengalami kesuksesan atau justru kegagalan?
"Mau mainan!" Rigel mengangguk-angguk. Membuat mereka bernapas lega.
"Nah, ini baru jagoan Amang!" Rendra mengangkat Rigel tinggi-tinggi lalu menggendongnya masuk ke dalam area Toys Kingdom yang sore itu ramai pengunjung.
Setelah Rigel memilih satu mainan yang paling disukai, lalu mereka juga ikut memilihkan mainan lain untuk kakak-kakak dan sepupunya, barulah mereka kemudian mengantar Rigel kembali ke rumah Elia.
"Tante Anggi besok kesini lagi ya," Rigel mendadak menghambur ke dalam pelukannya saat mereka berpamitan. Ia yang tak siap sampai hampir terjengkang karena terjangan Rigel, untung Rendra berhasil merengkuh punggungnya lebih dulu.
"Iyaa... kapan-kapan Tante Anggi main kesini lagi...," ujarnya sambil berlutut dan membalas pelukan Rigel.
"Kok kapan kapan??" protes Rigel dari balik lehernya.
"Kan besok Tante harus ikut Amang ke Jakarta," jawabnya sambil mengelus punggung Rigel.
"Kapan-kapan kalau Amang kesini pasti ajak Tante Anggi juga," ujar Rendra ikut berlutut.
"Janji ya," Rigel melepaskan pelukan hanya untuk mengacungkan jari kelingking, tanda kesepakatan.
"Janji," Rendra saling menautkan kelingking dengan Rigel.
Begitu mobil yang dikemudikan Rendra keluar dari gerbang rumah Elia, matanya mendadak memanas dan berkaca-kaca.
"Kenapa nangis?" tanya Rendra heran, sambil mengarahkan kemudi keluar kompleks.
"Sweetie....," Rendra meraih dagunya dengan sebelah tangan.
Ia harus menyusut sudut mata lebih dulu sebelum berkata, "Anak sekecil itu udah tahu Maminya suka dipukul Papinya."
Rendra mendecak, "Si Jimmy emang brengsek! Udahlah malas, mokondo, player pula!"
Membuatnya mencibir, "Kamu bukannya player juga!"
Rendra terkekeh.
"Masa player ngomongin player sih!" gerutunya kesal.
"Mantan...mantan...," seloroh Rendra. "Ex player...ex sinner...," lalu terkekeh. "Sekarang udah tobat. Serius."
Ia hanya mencibir.
"Makin sayang deh sama istriku ini," Rendra kembali mengelus kepalanya. "Sama anak orang lain aja segitu adore nya....nggak kebayang gimana sama anak sendiri nanti...."
"Jangan sampai ada lagi Rendra old version jilid 2, Bang," gumamnya sungguh-sungguh sambil membayangkan wajah lucu Rigel. Kasihan anak sekecil itu sudah membenci ayahnya sendiri.
Namun Rendra punya pemikiran lain, "Kita langsung ke hotel."
"Kenapa?" ia mengernyit. "Kita kan belum ke rumah Mama Amy. Terus, bukannya Abang mau ngajak aku ke pantai ketemu temen-temen sekolah Abang dulu. Gimana sih kok malah ke hotel?"
"Ke rumah Mama Amy besok aja deh, masih ada waktu," Rendra buru-buru memutar balik kemudi dan mengarahkannya ke jalan menuju hotel.
"Ketemu teman-teman juga cancel dulu lah. Besok aja," Rendra kini menyetir seperti orang kesetanan. Salip sana salip sini.
"Kok...mendadak gini?" ia masih mengernyit.
"Kita punya hal lebih penting yang harus dikerjakan dalam tempo secepatnya," ujar Rendra yakin dengan nafas memburu.
"Apa?" ia tambah mengernyit tak mengerti.
"Bikin mini me."
***
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu