Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. I Can Do Nothing
Alex. Alex tahu-tahu sudah berdiri beberapa meter di belakangku.
Aku tidak gila. Aku ... benar-benar tidak gila kan? Atau ... ini hanya permainan cahaya saja? Ilusi yang diciptakan oleh mata karenaa hati terlalu menginginkan kedatangannya dan pikiran yang selalu saja dipenuhi oleh sosok itu sehingga menjelmakan dia di sini, sekarang ini?
Ya Tuhan. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Pun pada kaki yang tetiba saja mengambil langkah, meski ragu-ragu, perlahan-lahan menelan jarak di antara kami. Setiap sentimeter yang berkurang membawaku pada aroma cologne dari campuran wangi citrus-y dari jeruk, tumbuhan-tumbuhan seperti nilam, fig leaf, violet leaf, dan biji tonka yang semakin kuat dan mendominasi udara ketika hanya ada kurang lebih satu atau dua meter yang memisahkan kami. Di sanalah aku berhenti.
Dan ... Alex tidak menghilang. Dia masih berdiri di sana dengan segala ke-glory-annya; rambut yang rapi, wajah yang bebas dari rambut-rambut halus, setelan jas mahal yang membungkus tubuhnya dengan sangat pas. Namun, ekspresi yang ditampilkan masih saja seperti saat kami bertemu tadi.
Inilah yang menjadi sumber kebekuan di udara, aku rasa.
Kuberanikan diri untuk memandangnya tepat di titik mata. Matanya kini sangat ... tertutup, seakan-akan Alex sudah menurunkan tirai yang ada di jendela itu sehingga aku tidak dapat melihat ke dalam hatinya lagi dari sana, sinar-sinar yang ada di dalamnya yang selalu kulihat dulu kini telah sirna. Ah, dulu. Dulu. “You’re here,” bisikku dengan penuh ... rasa tidak percaya. Aku masih tidak percaya bahwa dia berdiri di depanku sekarang.
“Leaving already?”
Ah, dia ternyata lebih memilih mengabaikan kalimatku dan mengeluarkan kata-kata miliknya sendiri. Baiklah kalau begitu.
“I was wrong. Ternyata di Jakarta orang-orang juga bisa menikmati pemandangan langit malam yang indah. Enggak cuma ada di tempat kamu aja.” Alex menengadah sebentar sebelum menolehkan wajahnya ke arahku dan tersenyum.
Ah, dia tidak ingin mendengarkan jawaban dariku. Dia masih punya pendapat yang ingin dibagikannya. Baiklah kalau begitu, akan kudengarkan. Meski dari awal saja kalimat-kalimat itu sudah terasa seperti pisau yang menghantam perasaan.
Senyum itu bukan senyum sembarang senyum dan bukan pula senyumnya yang biasa. Di balik senyum itu tersirat makna yang menguatkan apa yang ingin diungkapkan secara halus oleh Alex melalui kata-katanya tadi. Makna tersirat yang harus kuakui perlahan-lahan mulai memudarkan harapanku. Alex sudah benar-benar tidak peduli padaku lagi.
“Katanya kamu mau ngomong, ngomong aja. Atau ... aku yang ngomong duluan nih.” Alex boleh jadi terdengar santai, nada bicaranya dibuat ringan, akan tetapi aku tidak tertipu oleh topeng itu. Aku lebih percaya pada tangannya yang bersilangan di depan dada dan menggambarkan sikap defensif itu.
Lebih baik mendengarkan apa yang mau dia sampaikan dulu, Kay. Setelah itu baru kamu katakan apa yang ingin kamu katakan. Batinku memberi tahu. Aku otomatis setuju. “Kamu aja yang ngomong duluan,” ungkapku dengan suara yang bergetar. Getaran yang kemudian merambat ke seluruh tubuh. Kukepalkan tangan di samping paha agar goncangannya tidak terlalu kentara.
“Stop ngirim chat-chat yang gak berguna itu. Aku masih simpan kontak kamu karena alasan kerjaan, ya. Tapi, kalau kamu gak bisa menahan diri untuk gak mengganggu aku dengan hal-hal yang jelas tidak ingin aku ketahui itu, aku akan blokir nomor kamu. Ngerti?”
Jantungku rasanya tertusuk trisula raksasa, napasku seketika saja tercekat. Aku dapat merasakan bola mataku mulai memanas. Tahan, Kay. Tahan. Kamu kuat. Kamu harus kuat. Kamu bisa untuk menghadapi semua ini. Just ... hold on.
Terus dan terus kuulangi mantra itu di dalam kepala hingga sampai di mana aku akhirnya "agak" yakin kalau aku tidak akan tersungkur sebab hati ini sudah benar-benar ingin runtuh. Kubersihkan tenggorokan dan kucoba untuk menemukan suaraku kembali. “I’m sorry.” Meskipun begitu, suara yang keluar tetap saja terdengar seperti bunyi cakaran di atas kertas pengamplas. "I am really sorry." Meskipun demikian, aku tidak bisa menyetop permintaan maafku.
Dia tergelak. Aku mendengar dia tergelak dengan pahit. "Yeah, right. Emang lah, ya, gampang banget bilang maaf.” Aku mendengar dia tergelak dengan pahit dan kalimatnya semakin tajam menusuk segala aku.
Ya Tuhan.
Kamu harus kuat, Kay. Ingat apa yang Bang Rian bilang. Kamu harus menjelaskan semua yang lerlu dijelaskan dan membuktikan kalau kamu juga merasakan hal yang sama dengan yang Alex rasakan. Kamu harus berusaha semaksimal mungkin. Tidak ada kata menyerah. Tidak boleh ada kata kalah sebelum berperang. Kamu harus paham bahwa Alex juga sedang terluka, oleh karena itu dia bersikap seperti ini. Kalau tidak, kalau tidak ada apa-apa, mana mungkin dia terus-terusan melemparkan pisau melalui lidah dan matanya ke arah kamu seperti sekarang.
Benarkah seperti itu adanya?
Tidak. Aku tidak ingin menerka-nerka lagi.
Kayra, manfaatkan kesempatan ini untuk menjelaskan semuanya, tidak peduli dengan apa pun keputusan Alex nanti.
Suara Bang Rian kini juga ikut-ikutan terngiang di dalam benak. Walau saat ini aku sudah bisa melihat apa keputusan Alex, setidaknya aku harus tetap menyelesaikan bagianku. Kuangkat kepala yang tertunduk untuk pertama kalinya setelah Alex memerintahkanku untuk berhenti mengirimi dia pesan-pesan bodoh dan tidak berguna di awal percakapan tadi. “Jadi, aku harus melakukan apa biar kamu percaya kalau aku benar-benar menyesal, Lex?”
Alex lantas membuang pandangannya dariku.
Entah mendapatkan keberanian dan kekuatan dari mana, di kalakian aku melangkah lebih dekat, cukup dekat untuk bisa memegang lengannya dan memaksa Alex untuk menatapku lagi. “Tell me what I should do, Lex. Bilang sama aku, Lex, kamu mau aku melakukan apa biar kamu bisa memaafkan aku.”
Lalu, pada akhirnya, mata kami kembali bertemu. Kutantang tatapan itu. Tatapan yang membuat aku beku hingga ke dalam sumsum tulang.
“Nothing,” ucapnya sambil menepis tanganku.
Satu kata dan satu aksi. Satu kata dan saru aksi yang boleh disamakan dengan sebuah peluru yang ditembakkan ke arah kepalaku dari jarak dekat.
Nothing.
Dor! Headshot.
Nothing.
Dor! Kepalaku, aku, pun ... hancur berkeping-keping.
Nothing.
Aku tidak bisa berpura-pura lagi. Tubuhku kini bergetar dengan hebat. Bibirku bergetar. Tahu-tahu, air mata sudah melimpah ruah ke pipi. Aku masih terus berusaha untuk menajgankontak mata kami dari balik genangan air mata karena kemungkinan besar kali ini adalah kesempatan terakhirku menatap langsung mata yang indah itu, merasakan kehadiran lelaki itu. Kemungkinan besar saat ini adalah kali terakhir yang aku punya untuk bisa membagi tempat dan waktu bersama dengannya. Setelah ini, tidak akan ada lagi cerita. “I know." Aku di kalakian mengangguk, setuju pada pernyataan dia. "Aku gak bisa apa-apa.” Alex memang benar, aku tidak bisa apa-apa. Bahkan memegang janji yang sudah kubuat sendiri pun aku tak sanggup.
Bersambung ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️