Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.
Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kekalahan Telak
Hari Academic Decathlon tiba. Aula sekolah yang biasanya digunakan untuk upacara kini telah berubah menjadi panggung kompetisi yang megah. Lampu sorot yang terang benderang, meja-meja yang dilengkapi laptop dan monitor sentuh untuk setiap tim, dan ratusan pasang mata siswa dan guru yang menonton dari tribun menciptakan atmosfer yang menegangkan.
Edward, Felix, dan Sarah duduk di meja mereka di sisi kiri panggung. Mereka adalah pilar ketenangan di lautan kegembiraan. Felix mengecek konektivitas jaringan untuk terakhir kalinya, Sarah menutup matanya seolah-olah melakukan meditasi, dan Edward hanya menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi.
Di seberang mereka, Bara dan timnya duduk dengan angkuh. Bara sengaja meletakkan kacamata hitam di meja, sebuah arogansi yang tidak perlu. Dia sesekali melirik ke arah Edward, dan tersenyum sinis, dia yakin akan kemenangan yang akan diraihnya dengan cara kotor.
Dari barisan depan tribun, Aurora duduk dengan anggun. Dia tidak datang untuk bersorak. Dia datang untuk mengamati. Matanya yang tajam tidak fokus pada panggung secara keseluruhan, tapi secara spesifik pada satu meja yaitu meja Edward.
"Selamat datang di Academic Decathlon tahunan!" suara pembawa acara menggelegar di seluruh aula. "Babak pertama akan dimulai sekarang! Babak ini adalah 'Rapid Fire Knowledge'! Setiap tim akan mendapatkan serangkaian pertanyaan dari berbagai bidang. Waktu jawaban hanya 10 detik per soal. Tim dengan skor tertinggi akan memimpin!"
Para peserta memasang headphone. Layar besar di belakang panggung menampilkan timer dan skor.
"Pertanyaan pertama untuk tim dari kelas 12 IPA 1!"
Kompetisi dimulai. Tim-tim lain menjawab dengan bervariasi, ada yang benar, ada yang salah. Suara tepuk tangan dan desahan kekecewaan bergantian.
"Sekarang, giliran tim dari kelas 12 IPA 3! Tim Bara Setiawan!"
Bara tersenyum percaya diri. Pertanyaannya tentang sejarah seni. "Siapa pelukis yang terkenal dengan karya 'The Starry Night'?"
"Vincent van Gogh!" jawab Bara dengan cepat. "Benar!" teriak pembawa acara. Skor mereka bertambah. Bara melirik Edward dengan pandangan menantang.
Beberapa soal kemudian, giliran tiba pada tim Edward.
"Tim Christian Edward! Pertanyaan untuk kalian: Dalam bidang astrofisika, apa nama lubang hitam supermasif yang berada di pusat galaksi Bima Sakti?"
Felix, yang bertugas sebagai operator, langsung mengetik di laptop. Tiba-tiba, layarnya sedikit macet. Kursor berhenti bergerak selama satu, dua detik. "Aduh, kenapa jadi lambat?" bisiknya panik.
Itu adalah gangguan yang diatur Bara. Tidak terlihat oleh juri atau penonton, tapi sangat fatal bagi tim yang bermain melawan waktu.
Sarah mengerutkan kening. "Cepat, Felix!"
Tapi Edward sudah membuka mulutnya, suaranya tenang dan jelas terdengar melalui headphone mereka. "Sagittarius A."
Felix, dengan panik, langsung mengetik jawaban itu dan mengirimkannya tepat saat timer menunjukkan angka 1.
"Benar! Dan tepat pada waktunya!" seru pembawa acara.
Penonton bertepuk tangan, tapi sedikit lebih ragu. Mereka melihat sedikit keterlambatan dari tim Edward.
Di tribun, Aurora mengerutkan kening. Dia melihat ekspresi Edward. Tidak ada kepanikan disana. Dia hanya terlihat fokus. Lalu mata Aurora beralih ke Felix yang tampak gelisah.
'Sudah di mulai yah...'
Pertanyaan kedua untuk tim Edward. "Dalam kimia organik, apa nama reaksi yang mengubah alkuna menjadi alkana dengan adanya hidrogen dan katalis nikel?"
Lagi, laptop Felix sedikit lag. Kali ini, Edward tidak menunggu. "Reaksi hidrogenasi," jawabnya sebelum Felix sempat panik. Felix mengetik, mengirim, dan jawaban benar kembali.
Bara, yang mengamati dari kejauhan, mengerutkan kening. Kenapa mereka masih bisa jawab? Programnya seharusnya membuat mereka gagal total.
"Tim Bara! Pertanyaan berikutnya: Siapa penemu metode penulisan notasi musik modern yang menggunakan lima garis?"
Bara terdiam. Dia tidak tahu. Temannya mencoba bisik-bisik, tapi waktu habis. "Salah!" teriak pembawa acara.
Kerumunan mendesis.
Sementara itu, tim Edward terus mendapat serangkaian pertanyaan sulit. Setiap kali, laptop Felix sedikit terganggu, tapi Edward selalu punya jawaban siap di ujung lidah. Skill `Pemrosesan Data Super Cepat` memungkinkannya menganalisis pertanyaan dalam sepersekian detik, dan `Memori Asosiatif` langsung menarik jawaban dari database raksasa yang kini ada di otaknya.
Dia tidak hanya menjawab, dia melawan gangguan itu dengan kecepatan berpikir yang melampaui batas manusia normal.
Aurora menyilangkan tangannya di dada. Senyum kecil menghiasi bibirnya. Sekarang dia mengerti. Edward tidak sedang berjuang melawan laptopnya. Dia sedang... bermain. Dia tahu ada yang tidak beres, dan dia menggunakan gangguan itu sebagai pemanasan. Dia menunjukkan bahwa kecepatan otaknya jauh melampaui kecepatan teknologi.
'rupanya mau nakut nakutin bara yah'
Babak pertama berakhir. Skor di layar besar menunjukkan hasilnya.
**Tim Bara Setiawan: 85 poin**
**Tim Christian Edward: 80 poin**
Tim Bara memimpin, tapi hanya dengan selisih tipis. Bara merayakan kemenangannya dengan angkuh, mengangkat tangannya ke penonton. Tapi di dalam hatinya, dia jengkel. Rencananya gagal. Edward seharusnya mendapat nol atau skor yang memalukan.
Edward dan timnya hanya diam. Felix menghela napas lega. Sarah mengangguk puas. Edward menatap layar laptopnya, lalu melirik ke arah Bara.
Tidak ada kekecewaan di wajahnya. Hanya sebuah tatapan dingin dan penuh arti. Seolah-olah dia berkata, "Permainan lucu. Tapi sekarang adalah giliran ku."
Dia membuka notepad di laptopnya dan mengetik dengan cepat.
`Felix, periksa log jaringan kita selama babak pertama. Aku butuh data paket yang hilang, latency spike, dan sumber IP-nya. Sarah, buat daftar semua pertanyaan yang kita terima dan bandingkan dengan tingkat kesulitan rata-rata. Aku curiga ada pola.`
Felix dan Sarah menatapnya, lalu mengangguk dengan penuh semangat. Mereka bukan lagi korban. Mereka sekarang menjadi penyelidik.
Aurora, yang dari kejauhan bisa membaca bibir Edward dengan samar-samar, tersenyum lebar. Perang baru saja dimulai. Dan Bara, sang penyerang, bahkan tidak menyadari bahwa dia baru saja membangunkan seorang analis yang jauh lebih berbahaya daripada dirinya.