sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 13
Melati diam di teras sesuai arahan Ibu Mega. Tak lama kemudian, sebuah mobil Pajero putih berhenti di depan rumah.
Risma, usia 25 tahun, turun bersama suaminya Anton yang berusia 45 tahun—hampir seusia Ibu Mega. Demi harta Anton, Risma rela menikah dengannya. Ia berpikir realistis: menikah harus menghasilkan, bukan malah membuat hidup belangsak.
Anton, pria buncit berkacamata metal tebal dengan baju ketat yang tampak sesak menahan tubuhnya, turun lebih dulu. Disusul Risma yang memakai rok selutut dan kacamata hitam. Gayanya pongah, seolah menjadi anak Ibu Mega paling sukses. Kesombongannya kadang membuat orang muak; bahkan untuk menunjuk sesuatu, ia lebih suka menggunakan kaki.
“Melati, sudah siap kamu?” ucap Risma pongah, padahal Melati adalah kakak iparnya.
“Ya,” jawab Melati singkat.
“Ayo ikut aku,” perintah Risma datar.
“Tidak mampir dulu, Nak?” tanya Ibu Mega.
“Masih banyak yang harus aku urus, Bu,” jawab Risma ketus.
Risma berbalik badan tanpa cium tangan, tanpa salam. Anehnya, hal itu tidak pernah dipermasalahkan Ibu Mega. Mobil Pajero dan suami kaya raya sudah cukup menutupi semua ketidaksopanan Risma di mata sang ibu.
Melati menyeret kakinya menuju mobil Pajero itu dengan pikiran yang penuh beban. Ia terus bertanya-tanya siapa sebenarnya perempuan yang bersama Arga, suaminya. Sudah tidak dianggap di keluarga suami, ditambah dengan bukti perselingkuhan, tekad Melati semakin bulat: cerai.
Namun, semua harus jelas lebih dulu.
Melati duduk di belakang, sementara Risma dan Anton di depan. Sesekali Anton melirik ke arah Melati lewat kaca spion.
“Andai anak ini dirias sedikit pasti cantik. Apalagi kalau pakai hijab… pasti sensasi luar biasa bisa tidur dengan wanita berhijab,” pikir Anton mesum dalam hati. Tentu saja, itu tidak pernah ia ucapkan.
Tak lama, mobil berhenti di sebuah rumah dua lantai dengan garasi cukup untuk dua mobil. Ya, sebenarnya tidak mewah-mewah amat.
“Langsung ke dapur,” ucap Risma, memerintah hanya dengan sorot matanya.
Melati beringsut turun dari mobil. Sebenarnya ia sama sekali tidak fokus. Pikirannya masih terpaku pada bayangan Arga bersama perempuan cantik. Ingin sekali ia melawan, tapi bibirnya tetap terkunci.
Sampai di dapur, Melati disambut cucian menumpuk. Di sudut, Bi Surti—ART dadakan sekaligus tetangga rumah—sedang mencuci baju.
“Eh, Melati,” sapa Bi Surti.
“Ya, Bi… biasa ya,” jawab Melati lemah.
“Ya begitulah, Melati. Jadi orang bodoh kayak saya, nasibnya ya begini. Dapur–kasur, dapur lagi, kasur lagi,” keluh Bi Surti.
Melati menatapnya sambil memilah-milah baju yang akan dicuci.
“Ya padahal itu tugas mulia para wanita, Bi, yang sering diabaikan. Soekarno tidak akan lahir kalau ibunya tidak jago di dapur dan kasur. Dianggap pekerjaan rendahan, padahal… bisa apa mereka kalau tanpa Ibu rumah tangga?, mungkin makan saja susah, Bisa apa mereka kalau tidak pandai di kasur? Bisa-bisa sewa PSK terus, kena penyakit!” cerocos Melati, suaranya berapi-api bak orator demo di depan gedung DPR.
“Melati…”
“Apa?”
“Kamu kesurupan siapa? Soekarno, Soeharto, apa Gus Dur?” tanya Bi Surti, mulutnya menganga mendengar orasi mendadak itu.
“Aku kesurupan Firaun,” ketus Melati.
Bi surti tertawa terbahak-bahak sampai memegang perutnya
Suasana dapur jadi gaduh, membuat Risma tersulut amarah dengan langkah besar dia menuju dapur.
“bukannya kerja malah bercanda” bentak risma matanya nyalang giginya gemeretak
“Melati habis nyuci, bersihkan karpet. Jam empat sore harus sudah selesai, tamu akan mulai datang jam tiga sore,” ucap Risma bertolak pinggang seperti mandor kompeni.
Tidak ada jawaban dari Melati, hanya anggukan kepala saja.
Suasana hening sementara masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.
“Repot banget ya jadi orang bodoh, tertawa saja susah,” keluh Surti.
“Yang pinternya aja bloon, orang tertawa saja marah,” jawab Melati.
“Kamu pandai banget sih menjawab,” kekeh Surti.
“Ya lah, walau tak sekolah jangan mau direndahkan. Sekolah itu hanya tanda dia mengejar ijazah, bukan tanda dia berfikir Maka teruslah berpikir walau kita tidak sekolah tinggi,” ucap Melati.
“Baik, Bu Ustazah,” ucap Surti.
Melati mengambil cokelat dari balik bajunya. Sedari tadi Risma tidak menawari dia makan, sedangkan pesan dokter, ia tidak boleh telat makan. ironis memang Risma baik sama para tetangga tapi tidak pada melati.
Melati dan Surti menyiapkan berkat berisi makanan ringan, minuman, serta minyak dua liter. Tangan mereka cekatan menyusun berkat.
“Jarang loh, Mel, anak muda yang bisa kaya kamu,” puji Surti.
“Maaf, aku ga ada receh, jadi jangan muji aku,” ucap Melati
Surti hanya terkekeh, bekerja dengan melati selalu membuat surti bahagia candaan-candaan melati selalu diluar prediksi BMKG.
“Melati, kamu dibayar berapa sama Bu Risma?”
“Kamu berapa?” Melati balik tanya.
“Aku seratus lima puluh ribu,” ucap Surti.
“Kalau kamu?”
“Kalau aku sekian dan terima kasih,” jawab Melati.
“Ha… hanya terima kasih saja? Padahal kamu sudah cuci baju, bersihin karpet, nurunin air mineral sepuluh dus. Kamu hanya dibayar terima kasih,” ucap Surti heran.
“Apakah kamu sedang memanasi aku?” tanya Melati.
“Ih, kalau orang tua nanya itu dijawab dengan serius, Mel.”
“Aku juga serius. Mungkin aku kakak iparnya, makanya aku ga dibayar.”
“Walah, harusnya sama saudara itu lebih besar bayarannya.”
“Ya, ke orang luar dong harus lebih besar. Biar orang luar itu menggembor-gemborkan kebaikan,” ucap Melati.
“Ih, itu sih namanya ria.”
“Kalian ini dari tadi ngobrol terus,” bentak Risa yang sekarang sudah berganti baju, memakai gamis warna abu-abu dengan tetap menampilkan lekuk tubuh.
“Pekerjaan kamu sudah hampir selesai. Kami juga ngobrol sambil kerja,” jawab Melati.
“Diamlah, siapa juga yang nanya sama kamu,” ucap Risma. “Ingat ya, kamu jangan sampai ke ruang tengah apalagi kamu mengaku jadi iparku.”
“Ok, aku kan memang diakui tenaganya saja, ga pernah diakui orangnya,” jawab Melati datar.
Risa mengernyitkan dahi, bertanya dalam hati, “Sejak kapan Melati berani melawan?”
Keluarga Ibu Mega sudah datang. Ibu Mega dandan cetar membahana, gamis putih jilbab pink, lipstik menor—lebih mirip ondel-ondel ketimbang ibu-ibu mau pengajian.
Irma tampak tidak hadir. Kartika tampil dengan baju terbaiknya, memakai abaya yang ia pesan di butik mewah. Mereka menyalami keluarga Anton dan tetangga, tidak ada yang menghampiri Melati.
Semua cari muka, ingin dipandang hormat oleh banyak orang padahal tidak berbuat apa-apa, tinggal duduk diam dan makan.
Kemudian Arga datang. Tampak Arga duduk dekat Anton. Arga sama sekali tidak menanyakan keberadaan Melati, membuat Melati sedikit dongkol.
“Arga bisa bantu aku kan?” ucap Anton.
“Bantu apa, Bang?” tanya Arga. Usia Anton empat puluh lima tahun, Arga dua puluh tujuh tahun. Anton suami Risma, adiknya. Harusnya Arga memanggil Anton dengan sebutan adik ipar.
“Ayah Mawar itu dekat dengan keluarga Sukmana. Bantu aku agar dekat keluarga Sukmana.”
“Oh, tenang saja. Dia juga datang sebentar lagi,” ucap Arga.
Melati mendengar dari dapur pembicaraan mereka.
“Mawar? Siapa itu?” gumamnya.
“Kenapa Mas Arga tidak mencariku? Apakah dia sudah lupa denganku?”
Pikiran Melati bergulung-gulung memikirkan Arga.
Suasana mendadak riuh. Melati mengintip dari dapur.
Seorang wanita memakai hijab hijau, gamis motif modern seperti Syiren Sungkar.
Melati tersentak saat mengamati lebih jelas.
“Bukankah itu wanita yang bersama Mas Arga,” gumamnya.